28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Oh Danau Toba

Oleh: TOGA MH SIAHAAN
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Mengamati status, komen dan diskusi di jejaring sosial memang mengasyikkan. Di sana orang-orang bebas berpendapat. Menjadi tambah menarik, bagi saya, karena ada sangat banyak informasi. Dari info soal sosialisasi undang-undang pilkada yang baru, reunian, hingga status galau yang nggak penting. Tinggal dipilah.

Ada satu topik yang selalu diposting berulang, milik seorang penggiat budaya di Medan. Soal danau yang tercemarn
Postingannya menggambarkan kegusaran akan kondisi Danau Toba dan mengajak orang-orang yang punya perhatian pada wisata, budaya dan lingkungan untuk sama-sama galau.

Salah satu pihak yang dituding menjadi biangkerok kerusakan ekosistem danau terluas kesekian di dunia itu adalah PT Aquafarm. Perusahaan milik orang asing itu, diantaranya bergerak di bidang penangkaran ikan di rahim Danau Toba. Pelet, pakan yang digunakan untuk menggenjot pertumbuhan ikan, ditengarai menjadi penyebab perubahan keseimbangan ekosistem. Kerambanya pun disebut merusak wajah cantik alami danau vulkanik itu. Danau Toba sudah menjadi WC raksasa. Itulah kesimpulan yang diberikan sang pemposting.

Apa komentar kawan-kawan? Yang bersuara umumnya sepakat agar perusahaan itu dilarang beroperasi di danau itu. Perpanjangan surat izinnya diminta tidak diteruskan. Banyak juga yang hanya memberikan tanda setuju dengan simbol jempol. Sampai di situ. Tidak sampai di situ. Beberapa jurnalis yang menaruh perhatian pada nasib danau terbesar di Asia Tenggara ini mencoba menuliskannya di beberapa media massa terbitan Medan. Sampai di situ. Belum ada efek yang lebih besar buah ketergugahan pihak berwenang untuk memperbaiki situasi. Sementara postingan masih terus muncul. Semangat menggugah melalui tulisan masih terus disuarakan.

***
Jumat pagi-pagi sekali, Kompas digital menurunkan tulisan wisata alam dan budaya di Danau Toba dan sekitarnya. Walau singkat, tulisan perjalanan wisata itu tergambar dengan jelas. Kesalahan penulisan soal budaya tertutupi dengan kecermatan penulis memaparkan berbagai kelebihan wisata di Parapat hingga pulau Samosir. Me nutup berbagai kekurangan yang sebenarnya tampak nyata di depan mata.

Perjalanan wisata sehari dari Medan ke Danau Toba ini menggugah ingatan untuk menghubungkannya dengan postingan galau di jejaring sosial. Di balik keprihatinan akan ekosistem danau, tetap ada upaya mempromosikan salah satu destinasi wisata  di Sumut ini. Perhatian itu datang dari pemerhati wisata dari Jakarta. Itu artinya, Danau Toba masih sangat pantas diperjuangkan. Masih menjual. T inggal keseriusan takeholdernya saja, bagaimana mengemasnya. Kolaborasi antara pemangku kebijakan, pemerhati dan masyarakatnya akan sangat membantu. Dari lingkungan budaya dan pariwisata. Semoga saja, sebelum Danau Toba benar-benar menjadi WC raksasa.(*)

Oleh: TOGA MH SIAHAAN
Redaktur Pelaksana Sumut Pos

Mengamati status, komen dan diskusi di jejaring sosial memang mengasyikkan. Di sana orang-orang bebas berpendapat. Menjadi tambah menarik, bagi saya, karena ada sangat banyak informasi. Dari info soal sosialisasi undang-undang pilkada yang baru, reunian, hingga status galau yang nggak penting. Tinggal dipilah.

Ada satu topik yang selalu diposting berulang, milik seorang penggiat budaya di Medan. Soal danau yang tercemarn
Postingannya menggambarkan kegusaran akan kondisi Danau Toba dan mengajak orang-orang yang punya perhatian pada wisata, budaya dan lingkungan untuk sama-sama galau.

Salah satu pihak yang dituding menjadi biangkerok kerusakan ekosistem danau terluas kesekian di dunia itu adalah PT Aquafarm. Perusahaan milik orang asing itu, diantaranya bergerak di bidang penangkaran ikan di rahim Danau Toba. Pelet, pakan yang digunakan untuk menggenjot pertumbuhan ikan, ditengarai menjadi penyebab perubahan keseimbangan ekosistem. Kerambanya pun disebut merusak wajah cantik alami danau vulkanik itu. Danau Toba sudah menjadi WC raksasa. Itulah kesimpulan yang diberikan sang pemposting.

Apa komentar kawan-kawan? Yang bersuara umumnya sepakat agar perusahaan itu dilarang beroperasi di danau itu. Perpanjangan surat izinnya diminta tidak diteruskan. Banyak juga yang hanya memberikan tanda setuju dengan simbol jempol. Sampai di situ. Tidak sampai di situ. Beberapa jurnalis yang menaruh perhatian pada nasib danau terbesar di Asia Tenggara ini mencoba menuliskannya di beberapa media massa terbitan Medan. Sampai di situ. Belum ada efek yang lebih besar buah ketergugahan pihak berwenang untuk memperbaiki situasi. Sementara postingan masih terus muncul. Semangat menggugah melalui tulisan masih terus disuarakan.

***
Jumat pagi-pagi sekali, Kompas digital menurunkan tulisan wisata alam dan budaya di Danau Toba dan sekitarnya. Walau singkat, tulisan perjalanan wisata itu tergambar dengan jelas. Kesalahan penulisan soal budaya tertutupi dengan kecermatan penulis memaparkan berbagai kelebihan wisata di Parapat hingga pulau Samosir. Me nutup berbagai kekurangan yang sebenarnya tampak nyata di depan mata.

Perjalanan wisata sehari dari Medan ke Danau Toba ini menggugah ingatan untuk menghubungkannya dengan postingan galau di jejaring sosial. Di balik keprihatinan akan ekosistem danau, tetap ada upaya mempromosikan salah satu destinasi wisata  di Sumut ini. Perhatian itu datang dari pemerhati wisata dari Jakarta. Itu artinya, Danau Toba masih sangat pantas diperjuangkan. Masih menjual. T inggal keseriusan takeholdernya saja, bagaimana mengemasnya. Kolaborasi antara pemangku kebijakan, pemerhati dan masyarakatnya akan sangat membantu. Dari lingkungan budaya dan pariwisata. Semoga saja, sebelum Danau Toba benar-benar menjadi WC raksasa.(*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/