Bukan perkara mudah bagi para siswa sekolah menengah atas (SMA) yang akan lulus dalam menentukan perguruan tinggi mana dan jurusan apa yang harus mereka pilih. Apa pun keputusan yang diambil, hal itu menjadi titian awal yang akan menentukan nasib dan masa depan mereka.
Persaingan masuk ke perguruan tinggi yang kian ketat, serta biaya yang sangat mahal bagi sebagian siswa menjadi persoalan yang mempersempit peluang melanjutkan pendidikan. Banyak faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam memilih perguruan tinggi, terutama jurusan yang akan diambil.
Hasil survei mencatat, tiga perguruan tinggi negeri yang paling diminati adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Di Sumut PTN favorit ialah Universitas Sumatera Utara (USU). Bagi sebagian lulusan SMA, keputusan yang diambil tidak hanya berhenti pada perkara akan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya atau tidak. Lebih jauh, hal itu terkait pada keputusan untuk memilih jurusan yang akan mereka ambil.
Program studi yang mereka pilih pada akhimya menjadi pijakan karier yang akan mereka geluti di masa depan. Jurusan yang paling banyak dipilih calon mahasiswa adalah program yang berada pada kelompok studi non-eksakta (sosial dan ekonomi). Jurusan non-eksakta rupanya banyak diminati tak hanya oleh siswa dari jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, tetapi juga siswa dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Tercatat, sedikitnya 30 persen dari responden yang berasal dari jurusan IPA berniat untuk beralih mendalami program studi non-eksakta saat kuliah nanti.
Jurusan ekonomi (akuntansi, manajemen, dan bisnis) menjadi bidang studi yang paling banyak diminati di kelompok ilmu non-eksakta Adapun di kelompok ilmu eksakta, jurusan teknik yang paling banyak dipilih oleh siswa eksakta. Sebagian besar responden mengaku memilih bidang studi berdasarkan passion atau minat yang sesuai dengan kemampuan mereka, sebagian lainnya memilih jurusan berdasarkan pertimbangan bidang studi yang mereka pilih memiliki prospek karier yang cerah bagi masa depan mereka.
Meskipun demikian, ada juga sebagian kecil responden (6 persen) mengaku memilih jurusan tertentu atas permintaan atau anjuran orangtua mereka.
Jika melihat data statistik nasional yang dikelola Kementerian Pendidikan Nasional, tampak peningkatan jumlah pendaftar di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Demikian juga mahasiswa baru dan lulusan yang jumlahnya juga terus meningkat.
Fakta semakin besarnya jumlah lulusan perguruan tinggi tentu berarti pula persaingan di dunia kerja menjadi semakin ketat. Kesadaran pelajar atas realitas tersebut tecermin dari besarnya jumlah siswa dan orangtua yang melakukan persiapan secara serius agar siswa bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi idaman.
Hasil survei menunjukkan, sebagian terbesar siswa merasa tidak cukup dengan bertumpu dan mengandalkan materi pelajaran yang telah diterima dari sekolah. Ini tecermin dari fakta, bahwa sebagian terbesar responden merasa perlu mengikuti bimbingan belajar atau kursus privat untuk mengejar materi tes masuk perguruan tinggi. Padahal, siswa-siswa tersebut sebagian berasal dari sekolah unggulan. Bahkan, sebagian berasal dari sekolah berstandar internasional yang memiliki fasilitas dan kurikulum yang lebih progresif.
Biaya yang dikeluarkan untuk persiapan ini pun tidak sedikit. Setiap siswa mengeluarkan biaya Rp300.000 hingga Rp 1 juta per bulan untuk bimbingan belajar atau les privat. Bahkan, ada sejumlah siswa yang sudah melakukan persiapan secara intensif sejak menginjak kelas II SMA.
Hasil survei memang menunjukkan, mayoritas (84 persen) responden berencana melanjutkan kuliah. Namun, pada sisi lain, tercatat 16 persen responden menyatakan diri tidak akan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Beragam alasan dikemukakan. Sebagian terbesar mengaku berniat langsung bekerja atau berwirausaha.
Sementara itu, tak kurang dari 15 persen responden dengan jujur mengaku tidak punya rencana kuliah karena kendala biaya. Responden yang tidak berencana melanjutkan kuliah mayoritas berasal dari sekolah menengah, kejuruan (SMK). Tercatat sedikitnya 46 persen responden siswa SMK yang menyatakan demikian.
Boleh jadi, ini menunjukkan sekolah kejuruan memang dipersiapkan untuk menelurkan lulusan yang siap bekerja sesuai keahlian mereka. Dengan demikian, paradigma ini yang kemudian menancap di benak para siswa SMK.
Siswa sekolah kejuruan sejak awal dipersiapkan untuk memiliki keahlian dan siap untuk bekerja setelah lulus. Meskipun demikian, sebagian mengaku memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan, tetapi terkendala masalah biaya. Untuk itu, setelah lulus SMK, mereka memutuskan langsung bekerja atau membuka usaha sendiri. (net/bbs)