25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Aktor Politik Uang

Pilgubsu sebentar lagi akan berlangsung. Para kandidat pun sudah bersiap-siap mengatur strategi dan memilih perahu. Para calon berduyun-duyun melamar begitu partai politik membuka lowongan calon yang bakal diusung.

Semua warga Sumut masih menerka-nerka siapa kira-kira yang diusung partai besar. Meskipun belum jelas siapa nama calon yang diusung oleh partai besar namun warga sudah berani memprediksi siapa yang bakal menang di Pilgubsu mendatang. Rata-rata prediksi warga sama. Apa itu? Yang pasti yang memiliki uang.

Dari hasil survei kecil-kecilan, rata-rata memang warga memprediksi calon yang banyak uanglah yang bakal menang.
“Sekarang ini uangnya semua itu,” kata seorang warga.

Ada lagi warga yang menyebutkan, kalau dia ditanya pilihannya tetap calon yang banyak uang. Apalagi uangnya langsung sampai di tangan tidak melalui perantara.

“Kalau saya dimintai tanggapan siapa calon yang langsung memberikan uang kepada saya pasti saya coblos. Boro-boro mikiran calon yang idealis. Tak ada itu semua. Selagi ada kesempatan sikat aja,” kata warga lainnya.

Jangankan warga, teman saya sendiri juga sama seperti warga itu. “Udahlah, kau cari aja siapa yang mau beli suaraku. Tapi, uangnya cash ya. Aku jamin pasti kucoblos calon itu,” katanya.

Nah, dari hasil survei kecil-kecilan itu, saya jadi teringat dengan pendapat peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermote.
Berarti benar juga yang dikatakannya, bahwa penyelenggaran pemilu ataupun pemilukada selalu tidak terlepas dari praktik politik uang.
Menurut dia, ada 3 aktor besar pelaku politik uang dalam setiap kali perhelatan akbar pesta politik, dengan melakukan 3 modus.

Mereka adalah peserta pemilu, penyelenggara, dan pemilih. Ketiga aktor tersebut tidak bisa dipisahkan perannya. Hanya, Philips menyayangkan terkadang analisis politik uang hanya terjadi di salah satu atau dua elemen saja.

Jika analisis hanya satu atau dua aktor, maka yang dilihat alasan pemilih menerima (uang) adalah masalah ekonomi. Padahal kan (politik uang) irasional dari sisi pemilih. Kalau semua orang dikasih uang, dari semua calon misalnya kasih Rp25.000 kepada pemilih, akhirnya, pemilih memilih berdasarkan pilihannya.

Peneliti dari Perludem Veri Junaedi juga menjelaskan ada tiga macam bentuk politik uang yaitu pascabayar, tunai, dan menjadikan pemilih sebagai relawan. Ketiganya bisa hadir karena kelonggaran aturan.

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Muhammad juga menekankan masih longgarnya aturan mengenai politik uang di Indonesia. Pada pemilukada di beberapa daerah, banyak terjadi kecurangan dengan mengakali Undang-Undang yang ada, yang termaktub dalam UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah no 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Muhammad menerangkan bahwa definisi mengenai politik uang mesti dipertegas. Saat ini banyak sekali area abu-abu dalam suatu UU, yang menjadi celah kecurangan.

Jika dilihat dalam Undang-Undang, yang diatur adalah pasangan calon atau tim kampanye. Ada yang namanya tim kerabat, keluarga, relawan, fans dan sebagainya. Ini yang bergerilya. Tidak mungkin menemukan pasangan calon bagi duit, tim kampanye bagi duit.
Yang perlu diingatkan, politik uang di Pilgubsu itu pasti mendominasi. Dan, itu bakal tak bisa diendus oleh Panwaslu karena aktornya juga jauh hari sudah menyusun strategi.

Jadi, bagi calon yang tidak punya uang atau banyak uang, tapi tak mau keluar uang, untuk sementara ini sulit untuk menang. Entah kalau manusia dunia ini tiba-tiba berubah tak butuh uang. Baru calon yang benar-benar tak ada uang mungkin baru bisa menang. (*)

Pilgubsu sebentar lagi akan berlangsung. Para kandidat pun sudah bersiap-siap mengatur strategi dan memilih perahu. Para calon berduyun-duyun melamar begitu partai politik membuka lowongan calon yang bakal diusung.

Semua warga Sumut masih menerka-nerka siapa kira-kira yang diusung partai besar. Meskipun belum jelas siapa nama calon yang diusung oleh partai besar namun warga sudah berani memprediksi siapa yang bakal menang di Pilgubsu mendatang. Rata-rata prediksi warga sama. Apa itu? Yang pasti yang memiliki uang.

Dari hasil survei kecil-kecilan, rata-rata memang warga memprediksi calon yang banyak uanglah yang bakal menang.
“Sekarang ini uangnya semua itu,” kata seorang warga.

Ada lagi warga yang menyebutkan, kalau dia ditanya pilihannya tetap calon yang banyak uang. Apalagi uangnya langsung sampai di tangan tidak melalui perantara.

“Kalau saya dimintai tanggapan siapa calon yang langsung memberikan uang kepada saya pasti saya coblos. Boro-boro mikiran calon yang idealis. Tak ada itu semua. Selagi ada kesempatan sikat aja,” kata warga lainnya.

Jangankan warga, teman saya sendiri juga sama seperti warga itu. “Udahlah, kau cari aja siapa yang mau beli suaraku. Tapi, uangnya cash ya. Aku jamin pasti kucoblos calon itu,” katanya.

Nah, dari hasil survei kecil-kecilan itu, saya jadi teringat dengan pendapat peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips Vermote.
Berarti benar juga yang dikatakannya, bahwa penyelenggaran pemilu ataupun pemilukada selalu tidak terlepas dari praktik politik uang.
Menurut dia, ada 3 aktor besar pelaku politik uang dalam setiap kali perhelatan akbar pesta politik, dengan melakukan 3 modus.

Mereka adalah peserta pemilu, penyelenggara, dan pemilih. Ketiga aktor tersebut tidak bisa dipisahkan perannya. Hanya, Philips menyayangkan terkadang analisis politik uang hanya terjadi di salah satu atau dua elemen saja.

Jika analisis hanya satu atau dua aktor, maka yang dilihat alasan pemilih menerima (uang) adalah masalah ekonomi. Padahal kan (politik uang) irasional dari sisi pemilih. Kalau semua orang dikasih uang, dari semua calon misalnya kasih Rp25.000 kepada pemilih, akhirnya, pemilih memilih berdasarkan pilihannya.

Peneliti dari Perludem Veri Junaedi juga menjelaskan ada tiga macam bentuk politik uang yaitu pascabayar, tunai, dan menjadikan pemilih sebagai relawan. Ketiganya bisa hadir karena kelonggaran aturan.

Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Muhammad juga menekankan masih longgarnya aturan mengenai politik uang di Indonesia. Pada pemilukada di beberapa daerah, banyak terjadi kecurangan dengan mengakali Undang-Undang yang ada, yang termaktub dalam UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah no 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Muhammad menerangkan bahwa definisi mengenai politik uang mesti dipertegas. Saat ini banyak sekali area abu-abu dalam suatu UU, yang menjadi celah kecurangan.

Jika dilihat dalam Undang-Undang, yang diatur adalah pasangan calon atau tim kampanye. Ada yang namanya tim kerabat, keluarga, relawan, fans dan sebagainya. Ini yang bergerilya. Tidak mungkin menemukan pasangan calon bagi duit, tim kampanye bagi duit.
Yang perlu diingatkan, politik uang di Pilgubsu itu pasti mendominasi. Dan, itu bakal tak bisa diendus oleh Panwaslu karena aktornya juga jauh hari sudah menyusun strategi.

Jadi, bagi calon yang tidak punya uang atau banyak uang, tapi tak mau keluar uang, untuk sementara ini sulit untuk menang. Entah kalau manusia dunia ini tiba-tiba berubah tak butuh uang. Baru calon yang benar-benar tak ada uang mungkin baru bisa menang. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/