25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Berebut Kamar Hotel Sabtu Pagi

Sabtu pukul setengah delapan. Listrik di rumah saya yang sejak pukul sepuluh malam padam belum juga menyala. Saya mati bakat; tak tahu harus berbuat apa.

Jujur, ketergantungan saya terhadap listrik telah begitu parah. Saking parahnya, bisa mengalahkan ketergantungan saya terhadap bahan bakar minyak. Contohnya, ketika si Lena (sepeda motor saya) kehabisan bensin dan saya tak punya uang untuk membeli bahan bakar itu, saya tidak begitu suntuk. Ya, saya masih bisa jalan kaki dan kalau jaraknya jauh, saya masih bisa numpang kendaraan kawan.

Nah, soal listrik cukup mengerikan. Buktinya, Sabtu pagi kemarin. Suntuk di kepala sedemikian hebat. Televisi tidak bisa dinyalakan. Telepon seluler minim daya. Dan, air di bak kamar mandi hanya cukup untuk cuci muka dan sikat gigi (saya tidak berlangganan air dari perusahaan daerah itu, tapi mengandalkan air tanah yang disedot oleh mesin bertenaga listrik). Parahnya lagi, saya pun tak bisa minum kopi di pagi hari! Tak ada persediaan air, listrik telah padam sejak pukul sepuluh malam.

Ya, daripada suntuk makin jadi, saya ajak istri yang bermimik putus asa gara-gara listrik, untuk pindah rumah sementara ke hotel. Nah, di sinilah cerita baru dimulai…, fiuh.

Berangkat dari Jalan Panglima Denai, kami memilih untuk menjajal Jalan Sisingamangaraja. Di jalan itu, setahu saya banyak hotel dengan harga bervariasi, terutama di seputaran Masjid Raya Medan. Namun, belum sampai ke kawasan itu, di dekat Stadion Teladan ada hotel bertingkat, menawarkan harga yang menggoda. Pada spanduk di depan hotel itu, tertulis Rp250 ribu untuk satu malam. Ya sudah, kami berbelok.

Usai memarkir si Lena di belakang hotel, saya dan istri langsung ke resepsionis. Hm, kakak-kakak yang bertugas tersenyum. Wajar. Tapi, saya merasa senyumnya dipaksakan. Pasalnya, dia kelihatan bingung melihat saya dan istri. Bagaimana tidak, muka kami lucu. Muka baru bangun tidur yang tentunya tidak seperti tamu hotel kebanyakan.

Sudahlah, tanpa basa-basi, saya langsung memesan kamar seharga tulisan di spanduk tadi.
“Habis, Pak. Yang ada cuma deluxe, itupun tinggal satu,” kata si resepsionis.

Saya intip harganya. Saya lirik sang istri. Tanpa kata, kami berdua balik kanan. Harga kamar seperti di spanduk tak ada, bagus cari yang lain.

Kembali ke parkiran. Nyalakan si Lena, kami pun berangkat menuju kawasan seputaran Masjid Raya. Lucunya, karena jalanan masih sepi, kami malah tergoda untuk mencoba hotel-hotel lain. Maka, kami berbelok ke kanan usai pusat perbelanjaan di seberang Masjid Raya itu. Di jalan itu, setahu kami, juga banyak hotel dan penginapan. Dan, berhentilah kami di sebuah hotel yang hanya berjarak paling jauh seratus lima puluh meter dari perempatan pusat perbelanjaan itu. Hotel itu berada di sisi kiri jalan dia bertingkat. Tampilannya juga cukup menjanjikan.
“Kelas standar dan superior habis,” kata resepsionis.

“Lux  jadilah,” sahut saya percaya diri karena melihat harga yang masih terjangkau. Pun, tarif untuk kamar super lux, siapa takut?

Sayangnya, ketika mengecek kamar, ada suasana yang tak nyaman. Aroma tak sedap langsung menyergap hidung. Kamar mandi, waduh, ampun.
Istri saya langsung inisiatif, mengajak untuk melihat kamar super lux. Hasilnya kamar itu memang lebih luas. Sekali lagi sayang, kondisinya sama saja. Fiuh.
Ya sudah, sambil berusaha senyum, kami permisi. Tidak jadi.

Lalu, sekian hotel kami jajali lagi. Sebagian besar hotel yang memang sudah bernama di Medan; tentunya masih di seputaran Masjid Raya Medan. Dan, rata-rata kamar habis. Hotel yang sering menjadi tempat artis ibu kota hingga tempat pemain bola juga kami coba. Sayangnya, penuh.

Badan makin gerah. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Perut lapar. Kami pun singgah di sebuah rumah makan yang terkenal di kawasan itu. Rumah makan Padang. Kami memesan lontong; maklum sarapan. Dua gelas teh manis panas pun kami pesan. Sial, harganya tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah. Tapi, kesialan itu ternyata berbuah nikmat. Rumah makan itu bergabung dengan hotel. Berlabel hotel keluarga, kami melihat suasananya cukup nyaman. Ya sudah, kami datangi resepsionis. Tebak apa jawaban resepsionis? Ya, kamar penuh.

Tapi, sang resepsionis tiba-tiba bicara, katanya akan ada yang keluar satu jam lagi. Kamarnya kelas suite. Jadi, kalau kami mau sabar, dipersilahkan menunggu.
Saya pandangi istri yang sedang memandang saya. Dan, melalui tatapan, kami sepakat untuk menunggu. Ya, sudah capek berburu kamar hotel di akhir pekan.
Akhirnya, pukul setengah sepuluh  kami langsung masuk. Begitu pintu dibuka room boy, kami tersenyum. Kamar cukup menyenangkan. Pantas saja, suite!
Terserahlah, masalah harga urusan belakang. Begitu room boy pergi, saya dan istri langsung suntuk. Pasalnya, kami berdua berebut untuk mandi dan juga berebut untuk menambah daya telepon seluler kami. Ealah…. (*)

Sabtu pukul setengah delapan. Listrik di rumah saya yang sejak pukul sepuluh malam padam belum juga menyala. Saya mati bakat; tak tahu harus berbuat apa.

Jujur, ketergantungan saya terhadap listrik telah begitu parah. Saking parahnya, bisa mengalahkan ketergantungan saya terhadap bahan bakar minyak. Contohnya, ketika si Lena (sepeda motor saya) kehabisan bensin dan saya tak punya uang untuk membeli bahan bakar itu, saya tidak begitu suntuk. Ya, saya masih bisa jalan kaki dan kalau jaraknya jauh, saya masih bisa numpang kendaraan kawan.

Nah, soal listrik cukup mengerikan. Buktinya, Sabtu pagi kemarin. Suntuk di kepala sedemikian hebat. Televisi tidak bisa dinyalakan. Telepon seluler minim daya. Dan, air di bak kamar mandi hanya cukup untuk cuci muka dan sikat gigi (saya tidak berlangganan air dari perusahaan daerah itu, tapi mengandalkan air tanah yang disedot oleh mesin bertenaga listrik). Parahnya lagi, saya pun tak bisa minum kopi di pagi hari! Tak ada persediaan air, listrik telah padam sejak pukul sepuluh malam.

Ya, daripada suntuk makin jadi, saya ajak istri yang bermimik putus asa gara-gara listrik, untuk pindah rumah sementara ke hotel. Nah, di sinilah cerita baru dimulai…, fiuh.

Berangkat dari Jalan Panglima Denai, kami memilih untuk menjajal Jalan Sisingamangaraja. Di jalan itu, setahu saya banyak hotel dengan harga bervariasi, terutama di seputaran Masjid Raya Medan. Namun, belum sampai ke kawasan itu, di dekat Stadion Teladan ada hotel bertingkat, menawarkan harga yang menggoda. Pada spanduk di depan hotel itu, tertulis Rp250 ribu untuk satu malam. Ya sudah, kami berbelok.

Usai memarkir si Lena di belakang hotel, saya dan istri langsung ke resepsionis. Hm, kakak-kakak yang bertugas tersenyum. Wajar. Tapi, saya merasa senyumnya dipaksakan. Pasalnya, dia kelihatan bingung melihat saya dan istri. Bagaimana tidak, muka kami lucu. Muka baru bangun tidur yang tentunya tidak seperti tamu hotel kebanyakan.

Sudahlah, tanpa basa-basi, saya langsung memesan kamar seharga tulisan di spanduk tadi.
“Habis, Pak. Yang ada cuma deluxe, itupun tinggal satu,” kata si resepsionis.

Saya intip harganya. Saya lirik sang istri. Tanpa kata, kami berdua balik kanan. Harga kamar seperti di spanduk tak ada, bagus cari yang lain.

Kembali ke parkiran. Nyalakan si Lena, kami pun berangkat menuju kawasan seputaran Masjid Raya. Lucunya, karena jalanan masih sepi, kami malah tergoda untuk mencoba hotel-hotel lain. Maka, kami berbelok ke kanan usai pusat perbelanjaan di seberang Masjid Raya itu. Di jalan itu, setahu kami, juga banyak hotel dan penginapan. Dan, berhentilah kami di sebuah hotel yang hanya berjarak paling jauh seratus lima puluh meter dari perempatan pusat perbelanjaan itu. Hotel itu berada di sisi kiri jalan dia bertingkat. Tampilannya juga cukup menjanjikan.
“Kelas standar dan superior habis,” kata resepsionis.

“Lux  jadilah,” sahut saya percaya diri karena melihat harga yang masih terjangkau. Pun, tarif untuk kamar super lux, siapa takut?

Sayangnya, ketika mengecek kamar, ada suasana yang tak nyaman. Aroma tak sedap langsung menyergap hidung. Kamar mandi, waduh, ampun.
Istri saya langsung inisiatif, mengajak untuk melihat kamar super lux. Hasilnya kamar itu memang lebih luas. Sekali lagi sayang, kondisinya sama saja. Fiuh.
Ya sudah, sambil berusaha senyum, kami permisi. Tidak jadi.

Lalu, sekian hotel kami jajali lagi. Sebagian besar hotel yang memang sudah bernama di Medan; tentunya masih di seputaran Masjid Raya Medan. Dan, rata-rata kamar habis. Hotel yang sering menjadi tempat artis ibu kota hingga tempat pemain bola juga kami coba. Sayangnya, penuh.

Badan makin gerah. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Perut lapar. Kami pun singgah di sebuah rumah makan yang terkenal di kawasan itu. Rumah makan Padang. Kami memesan lontong; maklum sarapan. Dua gelas teh manis panas pun kami pesan. Sial, harganya tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah. Tapi, kesialan itu ternyata berbuah nikmat. Rumah makan itu bergabung dengan hotel. Berlabel hotel keluarga, kami melihat suasananya cukup nyaman. Ya sudah, kami datangi resepsionis. Tebak apa jawaban resepsionis? Ya, kamar penuh.

Tapi, sang resepsionis tiba-tiba bicara, katanya akan ada yang keluar satu jam lagi. Kamarnya kelas suite. Jadi, kalau kami mau sabar, dipersilahkan menunggu.
Saya pandangi istri yang sedang memandang saya. Dan, melalui tatapan, kami sepakat untuk menunggu. Ya, sudah capek berburu kamar hotel di akhir pekan.
Akhirnya, pukul setengah sepuluh  kami langsung masuk. Begitu pintu dibuka room boy, kami tersenyum. Kamar cukup menyenangkan. Pantas saja, suite!
Terserahlah, masalah harga urusan belakang. Begitu room boy pergi, saya dan istri langsung suntuk. Pasalnya, kami berdua berebut untuk mandi dan juga berebut untuk menambah daya telepon seluler kami. Ealah…. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/