Masa pendaftaran murid baru di sekolah-sekolah kini sedang berlangsung. Dari catatan yang dihimpun Indonesian Corruption Wacth (ICW) selama tahun lalu, para murid baru kadang dipungut biaya yang kurang jelas fungsinya alias pungutan liar. Demi anak sekolah, orangtua terpaksa melayani pungutan seperti itu.
PUNGUTAN itu banyak jenisnya. Mulai dari uang pembangunan, penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah, seragam, buku-buku dan lain-lain. Itu sebabnya, sebagaimana tahun yang sudah-sudah, tahun ini ICW juga membuka sejumlah posko pengaduan di beberapa daerah.
Anggota Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Siti Juliantari, menuturkan bahwa posko-posko itu akan menyediakan bantuan advokasi untuk orangtua siswa, yang kesulitan memasukan anaknya ke sekolah karena kesulitan membayar dan pengaduan pungutan liar.
“Kadang ada sekolah, baik SD, SMP, maupun SMA, yang menjadikan penerimaan siswa baru sebagai momen menarik pungli dari orangtua,” kata Siti Juliantari. Karena adanya pungutan seperti itu, maka orang tua murid perlu dibantu menghadapi pihak sekolah.
Pungutan liar yang hadir dengan berbagai modus itu, kata Tari, kemungkinan tidak terlihat di awal saat calon murid masuk. Tapi sekitar 3 hingga 4 minggu kemudian, pungutan itu sudah mulai tampak. Modusnya, mengajak orangtua rapat untuk sosialisasi sumbangan pengadaan fasilitas sekolah. Misalnya pengadaan pendingin atau AC di ruang kelas. Diharapkan, lanjut Tari, dengan menyebarkan posko tadi, banyak orangtua yang melapor.
Para orangtua bisa melapor kepada posko-posko yang disebarkan ke sejumlah daerah. Posko-posko itu akan berjejaring, bekerjasama satu sama lain. Semua laporan yang masuk akan dikumpulkan di ICW. Nanti dianalisa dan ditelusuri, untuk kemudian diproses. Bersama jaringan kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang pendidikan di 12 provinsi, ICW sudah membuka posko PSB.
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri mengatakan bahwa kuatnya otoritas sekolah untuk menyeleksi calon siswa membuka peluang masuknya berbagai pungutan di luar ketentuan resmi.
Selama masa penerimaan siswa baru tahun ajaran 2010/2011, misalnya, ICW dan masyarakat sipil lain telah menerima 46 pengaduan soal pungutan itu. Mayoritas diantaranya adalah pungutan liar. Sekolah dengan berbagai dalih, kata Febri, telah menggunakan momen penerimaan siswa baru untuk menarik pungutan dalam berbagai bentuk.
ICW menemukan 61 sekolah dari 11 provinsi ditemukan rawan pungli. “11 Provinsi itu antara lain di Jabodetabek,” ujar Koordinator bidang monitoring pelayanan publik ICW Ade Irawan.
“Semakin tinggi standar sekolah, semakin mahal pungutannya. Di kota lebih mahal ketimbang di desa,” jelas Ade.
Ade menuturkan ada tiga modus pungli yakni ketika pendaftaran dimulai sekolah meminta biaya tes, tes IQ dan lain-lain. Kedua, ketika sudah masuk berkaitan dengan anggaran pendapatan sekolah. Ketiga, sekolah memaksa untuk bisa masuk dengan membeli kursi.
Ade menuturkan, akibat pungli tersebut, ada empat kerugian yang didapat. Pertama, uang negara hilang. Kedua, uang orangtua siswa hilang. Ketiga, menghambat akses keluarga miskin untuk memperoleh pendidikan, dan keempat institusi pendidikan menjadi tempat belajar korupsi.
“Padahal dalam UU Sisdiknas menyebutkan di tingkat dasar tidak boleh ada pungutan terhadap orangtua siswa, apapun alasannya,” cetus Ade.
Dari catatan ICW, besar nilai pungutan dalam penerimaan siswa baru cukup beragam. Di tingkat SD/MI, pungutan berkisar antara Rp 350-Rp500 ribu, SMP/MTs sebesar Rp 750 ribu-Rp 1 juta. Dan ditingkat SMA/SMK/MA berkisar antara Rp 2,5-Rp 5 juta.
Pemerintah sesungguhnya sudah menerbitkan peraturan yang melarang pungutan terhadap para siswa itu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan di Tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Peraturan itu diterbitkan 2 Januari 2012.
Peraturan itu berlaku untuk semua jenis sekolah di semua daerah. Dari kategori Sekolah Berstandar Internasional (SBI), Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), maupun sekolah-sekolah berkategori lain di bawahnya. Dengan peraturan yang serinci itu, mestinya tidak ada celah bagi pungutan liar.
Terbitnya peraturan itu karena dilatarbelakangi maraknya pungutan terhadap peserta didik pada tahun sebelumnya. Kementerian mengimbau, agar sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, dapat menaati peraturan itu.
“Selain itu, sekolah-sekolah juga diminta agar mematuhi Peraturan Pemerintah Nomor 17 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,” ujar Kepala Informasi dan Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad, Kamis (7/6). Peraturan ini juga mengatur soal penggelolaan sekolah.
Selain melarang lewat sejumlah peraturan itu, Kementerian juga telah berkali-kali mengimbau lewat media massa. Sayangnya, Kementerian tak bisa mengawasi secara langsung ke sekolah-sekolah, terutama yang berada di daerah-daerah. Kementerian hanya berkoordinasi dengan dinas-dinas tingkat kabupaten dan kota.
Karena ada saja yang melanggar, maka kementerian melalui Inspektorat Jenderal juga membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa telah dipungut biaya yang tak wajar itu. Setiap tahun selalu dibuka dan menerima laporan-laporan masyarakat. Khususnya saat masa Penerimaan Peserta Didik Baru. Sejauh itu faktual, maka Inspektorat Jenderal akan menerjunkan auditornya ke lapangan. Setiap tahun seperti itu.
Jika ada yang melanggar, maka akan diberi sanksi. Sanksi itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 60. Jenis sanksi banyak. “Yang pertama adalah pungutan itu harus dikembalikan penuh. Akan ada sanksi teguran tertulis sampai mutasi, dan tindakan administrasi lainnya,” kata Ibnu.
Sementara itu, Dinas pendidikan Kota Medan menegaskan, tidak akan ada pungutan saat pendaftaran siswa baru di sekolah negeri karena semua biaya sudah ditanggung oleh negara.
“Jika ada yang melakukan kutipan biaya masuk dalam penerimaan siswa baru, akan kami tindak tegas karena itu merupakan pungutan liar,” kata Kepada Dinas Pendidikan Kota Medan, M. Rajab Lubis, kepada wartawan, belum lama ini.
Ia mengatakan, penerimaan siswa baru sekolah negeri untuk SMP sederajat dan SMA sederajat nanti dilakukan dengan sistem seleksi nilai dan disesuaikan dengan daya tampung sekolah.
Jika siswa memiliki nilai kelulusan tinggi, bisa bersaing ke sekolah negeri favorit seperti SMA 1, 2 dan 3. Namun itu hanya berlaku di sekolah negeri, tidak untuk sekolah swasta.
“Ini hanya bisa dilakukan sekolah negeri sebab kalau sekolah swasta itu beda. Dalam undang-undang yayasan, tertera bahasan yang menyatakan kutipan masyarakat dibutuhkan dalam menunjang proses kelancaran pembelajaran di sekolah,” katanya.
Para pengelola pendidikan swasta ini masih bergantung dari pembiayaan siswa dalam mendukung kegiatan operasional sekolah yang mencakup tiga, yakni biaya investasi, operasional dan personal.
“Orang tua yang bisa menilai itu, apakah persentase pembiayaan rasional dengan kualitasnya. Kalau tidak, bisa pilih yang lain sebab pilihan itu kembali kepada orang tua dan siswanya,” katanya.
Namun, Rajab tetap meminta para pengelola sekolah swasta untuk menetapkan biaya masuk yang proporsional. Saat ini biaya hidup masyarakat semakin tinggi seiring harga bahan bakar minyak.
Terpisah, anggota DPRD Kota Medan, Roma Simare-mare, mengingatkan, Dinas Pendidikan Kota Medan harus segera mengeluarkan petunjuk teknis (juknis) sistem penerimaan siswa baru tingkat SMAN/SMKN dan SMPN 2012. Bahkan, sistem PSB dimaksud disarankan agar menggunakan nilai murni seratus persen sesuai hasil ujian nasional (UN).
‘’Meminimalisirnya harus menggunakan nilai murni keseluruhan, tidak perlu tes,’’ katanya.
Dengan sistem nilai UN murni, menurut Roma, Dinas Pendidikan harus transparan soal kuota (daya tampung) terkait jumlah siswa yang diterima pihak sekolah.
‘’Jangan seperti tahun yang lalu, memang sistem PSB-nya murni seratus persen sesuai nilai UN murni, namun daya tampung sekolah dimanipulasi. Ini tidak boleh lagi terjadi, pihak sekolah harus mengumumkan berapa jumlah siswa sebenarnya yang akan diterima,’’ dia menambahkan.
Roma menegaskan DPRD Kota Medan akan mendesak Dinas Pendidikan agar segera mengeluarkan sistem PSB yang baku. Hal itu dimaksud agar nilai sangat perlu guna memberikan sosialisasi kepada para siswa yang hendak melanjut kejenjang berikutnya. Sekaligus mempermudah pengawasan dari masyarakat yang selama ini menjadi persoalan serius.
DPRD Kota Medan juga berharap agar sistem PSB tahun ini digunakan pendaftaran sistem online. Sistem ini dinilai sangat tepat untuk menghindari rekayasa nilai dan mempermudah pendaftaran sehingga calon siswa tidak harus ke sekolah yang selama ini terkesan membeludak di satu sekolah.
‘’Sistem online menghindari rekayasa dan pungli, sistem ini juga membantu kinerja panitia PSB dan kecurangan soal nilai dan data pendukung lainnya seperti sertifikat atau piagam prestasi olahraga dan sains,’’ pungkasnya.
Menanggapi sinyalemen pungli siswa baru itu, salah seorang kepala sekolah SMA negeri di Medan, mengatakan, mereka mengikuti kebijakan yang ditetapkan dinas pendidikan Medan, namun di samping program reguler mereka juga memiliki satu kelas internasional yang pembiayaannya dikutip lebih mahal.
“Kalau reguler memang tidak ada pungutan, tetapi kami memiliki satu kelas internasional yang pembiayaannya dibebankan kepada siswa,” katanya.(net/bbs/jpnn)
Terbukti Pungli, Sanksi Menanti
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan mengimbau agar sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, menaati Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan di Tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Sanksi sudah disiapkan bagi yang terbukti melanggar.
“Tak hanya itu, Peraturan Pemerintah Nomor 17 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan juga harus ditaati,” ujar Kepala Informasi dan Humas Kemendikbud, Ibnu Hamad.
Kementerian, dalam berbagai kesempatan, telah menyampaikan hal itu kepada pihak sekolah. Namun, Kemendikbud tidak bisa mengawasi secara langsung ke sekolah-sekolah, terutama yang berada di daerah-daerah.
“Ini kan sudah otonom. Karena itu kami berkoordinasi dengan Dinas-Dinas Pendidikan di Provinsi dan Kabupaten/Kota,” kata Ibnu.
Kementerian melalui Inspektorat Jenderalnya juga selalu membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa telah dipungut bayaran-bayaran tak wajar. “Khususnya saat masa Penerimaan Peserta Didik Baru. Sejauh itu faktual, Inspektorat Jenderal akan menerjunkan auditornya ke lapangan,” kata dia.
Menurut Ibnu, dalam Permendikbud Nomor 60 itu juga tertuang sanksi bagi siapa saja yang melakukan pungli di sekolah. “Yang pertama itu, pungutan itu harus dikembalikan penuh. Akan ada sanksi teguran tertulis sampai mutasi, dan tindakan administrasi lainnya,” ujar Ibnu.
Permendikbud Nomor 60 itu adalah larangan pungli kepada sekolah-sekolah yang sudah mendapat Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), seperti SD dan SMP, baik negeri maupun swasta.
Lalu bagaimana dengan SMA yang belum mendapat Dana BOS? “Untuk itu, Kemendikbud mengimbau agar SMA-SMA mengedepankan keramahan sosial. Dalam arti harus menampung 20 persen siswa baru dr kalangan ekonomi tidak mampu. Dan itu sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 2011 antara Kemendikbud, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri,” kata Ibnu. (ren)
Sanksi Tegas Dinas Pendidikan
Pungutan liar berupa biaya pendaftaran, seakan menjadi rutinitas terjadi pada setiap awal tahun ajaran di banyak sekolah. Padahal pungutan apa pun sudah dilarang oleh Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), namun setiap tahun selalu saja ada pungutan liar tersebut.
Jika sudah menjadi rutinitas dan arahan Kemendiknas tak dihiraukan, maka pungutan liar ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Karenanya sanksi tidak hanya diberikan kepada kepala sekolah, namun juga kepada Dinas Pendidikan di setiap daerah Kabupaten dan Kotamadya. Selain surat edaran resmi dari Kemendiknas mengenai pelarangan pungutan liar, Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh juga di berbagai kesempatan selalu menyatakan.
‘Penerimaan siswa baru di pendidikan dasar (SD dan SMP) tidak boleh ada pungutan biaya apapun, karena itu pendidikan wajib’. Lebih jauh, Menteri Pendidikan mengatakan, ‘akan dibuatkan posko pengaduan masyarakat dan akan menindak tegas kepala sekolah yang melakukan pungutan liar’. Arahan dan petunjuk dari Kemendiknas seakan berlalu bersama angin lalu. Pungutan liar tetap terjadi di berbagai daerah.
Seperti terekam dalam media massa pungutan liar terjadi di sejumlah daerah. Pungutan biaya tersebut biaya tersebut berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp3 juta. Hal ini bagi orangtua murid sangat memberatkan. Dalam rangka melaksanakan wajib belajar 9 tahun, pemerintah melalui program Biaya Operasional Sekolah (BOS) telah memberikan bantuan keuangan pada setiap sekolah, khususnya pada jenjang sekolah pendidikan dasar (SD dan SMP). Dengan adanya program bantuan BOS ini maka tidak ada lagi pungutan biaya apapun, sebab BOS sudah mencakup semua biaya operasional sekolah seperti biaya pendaftaran, seragam sekolah, buku pelajaran dan sebagainya.
Tindakan tegas yang akan dilakukan Kemendiknas seakan bertepuk sebelah tangan, karena pemerintah daerah seakan membiarkan bahkan terkesan membiarkan. Inilah pokok pangkal persoalan. Tak menutup kemungkinan pungutan liar juga tidak berdiri sendiri.
Dengan kata lain, pungutan liar dari siswa juga disetorkan ke Kepala Dinas Pendidikan di daerah baik Kabupaten atau Kotamadya, dan diserahkan lagi pada kepala daerahnya. Kondisi ini bukan sebuah tuduhan yang tanpa dasar, namun fakta di lapangan inilah yang terjadi.
Dengan demikian, menjadi logis kalau kepala sekolah di berbagai daerah sulit untuk dikenakan sanksi, sebab pungutan tersebut merupakan persekongkolan antara kepala sekolah dengan oknum dinas pendidikan di daerah tersebut. Hal ini merupakan implikasi dari decentralisasi pendidikan, dimana para guru di berbagai daerah selalu menjadi objek untuk dipolitisasi.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, terjadinya pungutan liar berupa biaya pendaftaran yang merupakan persekongkolan antara kepala sekolah dengan oknum dinas pendidikan, maka Kemendiknas harus melakukan tindakan tegas. Untuk mengintervensi kedudukan kepala dinas pendidikan merupakan suatu hal yang mustahil, karena itu merupakan kewenangan daerah. Namun Kemendiknas dapat memberikan pengurangan dan/atau penambahan biaya anggaran pendidikan.
Bagi sekolah yang melakukan pungutan liar dan dibiarkan oleh dinas pendidikan di kabupaten/kotamadya, maka Kemendiknas dapat memberikan sanksi tidak hanya kepada kepala sekolah, namun juga kepada kepala dinas pendidikan di kabupaten/ kotamadya. Sanksi yang bisa dilakukan Kemendiknas terhadap dinas kependidikan adalah dengan memberikan pengurangan anggaran pendidikan (disincentive budgeting) terhadap dinas pendidikan di kabupaten/ kota yang melakukan pungutan liar.
Di sisi lain, pemerintah juga seharusnya memberikan apresiasi dengan memberikan anggaran tambahan (incentive budgeting) bagi dinas pendidikan di kabupaten/ kota yang tidak melakukan pungutan liar dan mampu mengalokasikan APBD sekurang-kurangnya 20 persen. Bantuan ini merupakan stimulus bagi dinas pendidikan dalam memajukan pendidikan di daerah masing-masing. Selain itu, Kemendiknas dalam memberikan sanksi dan penghargaannya, harus berani mengumumkan ke media massa baik lokal maupun nasional. Dengan diumumkan di media maka akan terlihat kabupaten dan/atau kota mana saja yang serius dalam mengurus pendidikan.
Dengan demikin, meski berada dalam cengkraman otonomi daerah, namun dinas pendidikan akan tetap bekerja profesional dalam meningkatkan keberhasilan pendidikan. ‘Intervensi’ pemerintah pusat melalui Kemendiknas dengan penambahan dan pengurangan biaya pendidikan di setiap daerah, merupakan salah satu jalan keluar bagi kemelut politisasi terhadap guru di berbagai daerah. Selain itu, ‘intervensi’ ini merupakan warning kepada pemerintah daerah agar tidak berpikir bahwa pendidikan merupakan ‘industri’ untuk mendapatkan penghasilan. (*)
Hindari Pungli Siswa Baru
DINAS Pendidikan (Disdik) Kota Medan harus belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Pada 2012, mereka mengubah pola penerimaan siswa baru. Kalau sebelumnya program penerimaan peserta didik baru (PPDB) nonreguler atau ramah sosial dilaksanakan usai penerimaan online, tahun ini program yang dikenal dengan bina lingkungan tersebut digelar lebih dulu.
Rencananya, PPDB nonreguler itu dilaksanakan Disdik Kota Medan selama tiga hari, yakni 19-21 Juni 2012. Sedangkan program PPDB reguler dilaksanakan secara online mulai dibuka 28 Juni 2012. Penerimaan siswa baru reguler ini juga berlangsung selama tiga hari, yakni sampai 30 Juni 2012.
Ada beberapa tujuan Disdik Kota Medan mendahulukan PPDB nonreguler itu. Yakni, agar siswa yang sudah terdaftar lewat online tidak lari ke sekolah lain. Agar PPDB sesuai peruntukannya bahwa jalur tersebut untuk menjaring calon siswa yang tinggal di sekitar sekolah dan siswa dari kalangan ekonomi kurang mampu.
Yang penting lagi, dengan mendahulukan PPDB nonreguler ini disdik juga melakukan pembinaan terhadap sekolah-sekolah swasta. Melalui kebijakan ini, diharapkan sekolah swasta tidak sampai kekurangan siswa.
Bukan rahasia umum, pada penerimaan siswa baru tahun-tahun sebelumnya ada beberapa sekolah swasta merasa dianaktirikan. Mereka berteriak, karena tidak kebagian siswa. Kalau pun ada siswa mendaftar, siswa keburu hengkang ke sekolah negeri yang masih kosong.
Tidak kebagian siswa itu terjadi karena sistem penerimaan siswa baru tidak “berpihak” kepada sekolah swasta. Karena banyak siswa yang tidak lolos ke sekolah favorif masuk ke sekolah negeri lewat jalur bina lingkungan. Selain itu adanya perilaku dari orangtua yang memaksakan anaknya masuk ke sekolah favorit, walau nilainya tidak mencukupi.
Kita harapkan, kebijakan yang dibuat Disdik Kota Medan ini dipatuhi sekolah-sekolah yang ada di Medan. Malah kalau memang kebijakan itu baik, tidak salahnya kalau daerah-daerah lain di Kalsel juga mengikuti kebijakan Disdik Kota Medan tersebut.
Terlepas dari masalah PPDB di atas, ada masalah yang juga perlu dihindari oleh sekolah dan orangtua murid, yakni pungutan liar (pungli) terhadap siswa baru. Pungli ini dilakukan secara halus dan biasanya dikemas dalam berbagai bahasa, sebut saja uang pendaftaran ulang, uang seragam sekolah, uang buku, uang bangunan sekolah, sumbangan suka rela pembangun masjid, uang menembok halaman sekolah, dan uang-uang lainnya.
Sejatinya, uang-uang tersebut tidak ada atau tidak diwajiban. Itu hanya kebijakan yang dibuat oleh masing-masing sekolah. Para orang tua siswa sendiri mengetahui hal, tapi sayang tidak kuasa menolaknya karena sudah direstui pihak komite sekolah. Mereka hanya bisa menggerutu, saat diberitahu pihak sekolah bahwa harus membayar sekian ratus ribu rupiah atau jutaan rupiah.
Pemerintah mengeluarkan anggaran pendidikan teramat besar, yakni 20 persen APBN. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan dana BOS, Dana Alokasi Khusus bidang pendidikan, dan dana-dana lain sebagainya. Namun hal itu dianggap angin lalu oleh kepala sekolah dan guru yang tidak bertanggung jawab.
Kenyataan ini seharusnya mencemaskan kita semua, korps “Oemar Bakri” tercoreng oleh perbuatan sebagian kepala sekolah dan guru yang secara sengaja melakukan korupsi kecil-kecilan.
Memang uang yang dicatut tidak seberapa besarnya. Bahkan tidak membuat kaya orang yang melakukannya. Namun kegiatan itu secara tidak langsung sudah mengajarkan dan menyuburkan budaya tak jujur kepada siswa. Ibarat pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. (valdesz)