Buku adalah jendela dunia. Sebuah kalimat yang sudah klasik bukan? Tapi bukan itu masalahnya, yang wajib diperbincangkan adalah bagaimana caranya membeli sebuah buku di Kota Medan ini? Warga Medan pasti menjawab kalau pertanyaan itu tidaklah sulit. Ya, bukankah ada Pasar Buku di kota ini?
Begitulah, pertanyaan tadi akan mendapat jawaban yang lebih lengkap lagi. Yakni, mencari buku di Kota Medan adalah di Pasar Buku di Lapangan Merdeka. Warga yang lebih tua akan mengatakan: Titi Gantung!
Sejarah mencatat, Pasar Buku di Lapangan Merdeka memang berasal dari Titi Gantung. Adalah masa kepemimpinan Wali Kota Medan Abdillah yang merelokasi pedagang buku bekas di Titi Gantung ke kawasan lapangan yang sebelumnya bernama Lapangan Fukereido itu. Dan kini, di era Wali Kota Rahudman Harahap, Pasar Buku direncanakan direlokasi lagi. Tempat yang dipilih adalah Lapangan PJKA di Jalan Mandala By Pass.
Jika berbicara relokasi pertama, yakni perpindahan dari Titi Gantung ke Lapangan Merdeka, dianggap tidak begitu masalah oleh para pedagang. Pasalnya, dua lokasi itu memang berdekatan. Kasus ini mirip dengan perpindahan pasar buku Shopping Center Jogjakarta pada 2005 lalu. Sebelumnya salah satu ikon Jogjakarta itu berada di bagian belakang gedung Societet Militer atau Taman Budaya Jogjakarta. Nah, pasar buku itu kemudian dipindahkan sederet dengan gedung Taman Budaya itu. Jadi, perpindahannya tidak begitu tampak karena jaraknya memang tidak begitu jauh. Dia pun menjadi kawasan terpadu: Taman Budaya-Shopping Center-Taman Pintar.
Nah, kembali perpindahan Pasar Buku Medan ke Mandala tentunya berbeda. Kawasan Mandala tidaklah termasuk kawasan nol kilometer Medan seperti Lapangan Merdeka dan Titi Gantung. Tak pelak, para pedagang resah. Apalagi, Kota Medan tidak identik dengan kebutuhan baca yang kuat. Jadi, ada keraguan kalau pasar itu pindah dan tidak berada di tempat awal, maka keinginan warga untuk mengunjungi kawasan baru sangat meragukan. Ujung-ujungnya, buku pun bisa ditinggalkan.
Pemikiran ini bisa saja dianggap berlebihan. Namun, logika sederhananya, ketika Pasar Buku tidak tampak di mata, apakah ada warga Medan yang mencari. Belum lagi, bagi pecinta buku atau sekadar ingin tahu dengan buku, letak Pasar Buku di Lapangan Merdeka atau Titi Gantung sangat tepat. Dia di pusat kota. Dan, sejatinya ini telah dikenal para pelancong. Misalnya, ketika sang istri belanja di Pajak Ikan lama untuk membeli barang tekstil, maka sang suami akan menyingkir ke Pasar Buku. Dua tempat itu adalah berdekatan bukan? Lalu, ketika sekeluarga bertamasya ke Lapangan Merdeka sambil menikmati jajanan di Merdeka Walk, maka sang ayah dan ibu bisa memberikan nuansa baru pada sang anak dengan berburu buku di Pasar Buku tadi.
Tapi sudahlah, atas nama City Cek In -kemajuan di bidang transportasi Medan-Pasar Buku bisa saja harus mengalah. Seperti kata orang bijak: buku adalah jendela dunia. Jadi, ketika orang sangat butuh melihat dunia kan dia pasti mencari buku di mana pun tokonya berada.
Sejatinya saya berpikir (sebenarnya ini lontaran ide dari seorang kawan), jika ingin memindahkan Pasar Buku, kenapa harus ke tempat yang tak teruji di bidang perbukuan? Maksudnya, kenapa tidak meletakan Pasar Buku itu di sebuah tempat yang sejatinya telah akrab dengan buku. Tempat yang dimaksud adalah perpustakaan. Nah, perpustakaan besar di Medan ini adalah di seberang Istana Maimun. Nah, kenapa Pasar Buku tidak dipindahkan ke kawasan itu saja. Lokasinya bisa memakai sebagian sisi halaman Istana Maimun itu. Masalah istana akan jelek atau kotor hingga tak menarik minat pelancong, itu kan soal penataan saja. Bukankah selama ini ada beberapa stan atau tempat jualan bunga di sisi istana itu?
Jadi, adakah yang ingin menyambut ide kawan tadi? (*)