Rosalinda Sarmauli Boru Manurung
Lahir sebagai anak yang normal membuat Rosalinda Sarmauli Boru Manurung (45) sama sekali tak berbeda dengan anak lainnya. Namun, ketika usia delapan tahun, dia sempat putus asa setelah sebuah taksi menabraknya. Dia cacat.
Tapi, kekurangan yang dimiliki bukan alasan bagi dirinya untuk tidak memberikan kontribusi pada daerah kelahirannya. Melalui kursi roda, satu per satu medali emas dia sumbangkan untuk dunia olahraga Sumatera Utara.
Ya, di antara insan olahraga Sumut, nama di atas tentu sudah tidak asing lagi. Sepak terjangnya di dunia olahraga sudah mendapat pujian tidak hanya dari daerah, nasional, juga internasional. Diawali medali emas pertamanya di cabang tenis meja pada Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) di Palembang 2004 silam. Rosalinda mendapat tiket menjadi duta Sumut pada Kejuaraan Nasional Catur di Ternate 2005.
Di situ dirinya menyumbangkan satu medali emas. Tidak cukup di situ, dirinya menyabet medali emas pada seleksi nasional Para Games Thailand 2006 silam dan menyumbangkan dua medali emas, tiga medali perak, dan satu medali perunggu pada Para Games Thailand 2008 lalu.
Prestasi membanggakan itu juga dipersembangkan untuk Sumut pada Porcanas Kaltim 2010.
Masih banyak lagi prestasi yang ditorehkannya, lengkapnya lihat grafis.
Ketika ditemui di kediamannya Jalan Turi Gang Pembangunan No.3A Medan, Selasa (22/2) lalu. Rosalinda sigap menaiki kursi roda yang menjadi saksi perjuangannya. “Saya ditabrak taksi waktu usia delapan tahun,” kenang Rosalinda.
Bagi anak yang dilahirkan normal kelumpuhan sebagai dampak dari kecelakaan tadi membuatnya putus asa. Rosalinda kecil pun memutuskan keluar dari sekolah dan mengucilkan dirinya untuk waktu yang cukup lama. Melihat hal itu sang ayah yang seorang militer mencoba memahami perasaan putri ke empatnya itu. Sebuah papan catur pun dibelikan. Bahkan sang ayah mengajarkan langsung.
Melihat kemampuan sang putri, Rosalinda yang tetap menolak untuk bersekolah dibelikan buku-buku pelajaran dan surat kabar untuk mendapatkan informasi. Semua itu lantas dilahap dan dibuktikan saat kembali duduk di kelas III SD Parulian Medan. Meskipun di kuartal berikutnya Rosalinda kembali keluar karena tidak tahan dengan ejekan.
Di ‘pengasingan’nya, buku pelajaran tidak pernah lupa untuk dipelajari dan ditunjukkan saat mengikuti ujian kelulusan. Dirinya bahkan diterima di SMP Negeri 7 Medan (sekarang SMPN 8 Medan, Red). Begitu pun dirinya tetap berkeinginan untuk kembali normal. Bangku pelajaran akhirnya kerap ditinggalkan untuk menjalani pengobatan. Dari semula menggunakan dua tongkat, di kelas II dirinya sudah menggunakan satu tongkat saja. Hasil itu dirasa pantas mengingat pelajaran hanya dilakoni selama delapan bulan. Di kelas III dirinya hanya mengikuti ujian dan berhasil lulus.
Hal itu berlanjut ketika diterima di SMA Negeri 5 Medan yang harus ditinggalkannya karena tidak sempat mengurus izin saat akan menjalani operasi di Dolok Melangir. Meskipun di situ perjuangan Rosalinda harus berakhir. Rosalinda menamatkan pendidikannya di SMA Dwi Warna Medan. “Dokternya tidak tahu letak pasti kesalahannya. Karena mereka lihat badan saya tumbuh seperti orang normal begitu juga dengan kaki saya tidak mengecil. Jadi mereka ragu,” tuturnya.
Keraguan dokter akan kesembuhan tadi tidak lantas menghentikan keinginan Rosalinda untuk menuntut ilmu. Pada 1989 dirinya bahkan berhasil lulus ujian di jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Sumatera Utara. Namun, minimnya akses yang ada bagi penderita cacat membuat Rosalinda tidak melanjutkan kuliah dan serius di olahraga seperti disarankan sang ayah.
“Saya optimis bila olahraga kita akan mengalami perubahan yang positif. Jadi saya yang serba kekurangan ini saja bisa berbuat apalagi anak muda yang lahir normal,” pungkas Rosalinda. (jul)
yang punya keinginan menggelar pembinaan cabang olahraga tenis meja bagi generasi muda ke depan. (jul)