Batasan antara fiksi dan nyata tampaknya makin kabur. Buktinya, tragedi dalam laga pertama alias tayangan perdana pemutaran perdana film Batman: The Dark Knight Rises di Aurora, Colorado, Amerika Serikat. Ketika sakit terasa, korban baru sadar kalau hal itu bukanlah bagian dari pertunjukan.
Begitulah, pengakuan seorang korban yang kebetulan berdarah Batak, Anggiat Situmeang, kejadian penembakan itu sama sekali tak terbayangkan sebagai sesuatu yang nyata. Katanya kepada Voice of America, dia bercerita ketika film berjalan lima menit, dia lihat ada benda melayang dari depan kanan ke tembok kiri di sisinya. Benda ini melewati beberapa penonton. Warnanya hitam seperti pentungan. Ukurannya sejengkal dan mengeluarkan desis.
Dia pikir ini bagian dari pertunjukan, entertainment movie. Jadi penonton di sekitar tertawa dan bertepuk tangan. “Karena saya lihat benda itu melayang ke depan kanan saya, tiba-tiba orang itu berdiri menghadap saya, dan mulailah terjadi tembakan,” begitu pengakuannya.
Setelah itu, ada rentetan lima peluru. Saat itu dia abru sadarhal itu bukan bagian dari pertunjukan. Dia dan istri serta anaknya (yang juga jadi korban) langsung tiarap. Sayangnya, kondisi tiarap tidak bisa langsung ke lantai seperti tentara karena ruang antarbaris tempat duduk sangat sempit, jadi mereka tiarap di kursi. Mereka seperti menungging saja.
Terlepas mereka jadi korban (beserta puluhan korban lainnya) sejatinya ada yang menarik dari kasus ini.
Bukan menepikan rasa belasungkawa, tapi sekadar ingin mencatat kalau kejadian ini seharusnya tak terjadi ketika semua orang waspada. Maksud saya begini, Situmeang sekeluarga tentunya akan langsung tiarap begitu melihat sesuatu yang tidak beres bukan? Nyatanya, ketika melayang benda semacam pentungan, mereka malah tertawa dan bertepuk tangan.
Nah, apa yang ada dalam benak para korban adalah wajar. Pasalnya, dalam sebuah pertunjukan, terkadang tim kreatif memberi bumbu agar pertunjukan itu makin menarik; bak seorang penyanyi yang didera gosip sebelum launching lagu. Apalagi, tragedi itu di Amerika Serikat yang dianggap jagoan soal kreativitas tadi. Maka, sang bandit, James Holmes langsung saja menjelma dengan sukses sebagai Joker; tokoh antagonis dalam film tersebut. Entah apa yang ada dalam benak si Holmes, apa yang dilakukannya memang cukup berhasil. Saya malah berpikir, kostum dan dandanan yang dia gunakan adalah senjata untuk memperdaya pihak keamanan di bioskop itu. Pihak keamanan, menurut saya, pastinya mengira si Holmes adalah seorang kru yang memang sengaja diciptakan oleh panitia.
Apakah keamanan di sana begitu bodohnya? Jawabnya tidak juga, pasti ada sesuatu yang tidak nyambung di sini. Pihak keamanan kemungkinan tidak diberikan penjelasan terlebih dahulu soal itu.
Dan ketika tidak diberi penjelasan, mereka tetap nyantai ketika melihat si Holmes sebelum kejadian. Setidaknya mereka pasti berpikir kalau mereka sengaja tidak diberikan penjelasan tentang si Holmes agar kejutan tidak bocor! Tapi, apakah mereka tak bertanya ketika tidak melihat sosok Batman?
Apapun analisis yang keluar dengan kejadian itu, saya beranggapan tragedi tersebut menyadarkan manusia di dunia bahwa kekuatan fiksi bisa menjadi begitu nyata. Ya, jangan main-main dengan fiksi. Holmes adalah sosok yang berhasil membuat tokoh fiksi menjadi nyata.
Tapi sudahlah, seandainya ada orang lain yang bertindak seperti Batman, tentunya akan berbeda. Situmeang sekeluarga tentunya tidak akan menajdi korban. Ya, ada Batman nyata yang tentunya mampu menaklukan Holmes sang Joker.
Begitulah, meniru sesuatu yang buruk memang cenderung lebih gampang bukan? (*)