30 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Mencari Glue Guy

Azrul Ananda

Pada 2009 saya belajar. Orang paling berharga belum tentu yang paling pintar, paling cepat, atau paling kuat…

***

Kaget. Saya benar-benar kaget.

Contoh ini diambil dari sebuah camp basket SMA di Surabaya, yang dikelola oleh liga basket paling bergengsi di dunia: NBA. Tapi, makna dan aplikasinya sangat bisa diaplikasikan dalam aspek kehidupan yang lain.

Pada 2009, untuk tahun kedua, DBL Indonesia menyelenggarakan basketball camp bersama NBA di DBL Arena Surabaya. Pemain-pemain SMA pilihan dari berbagai penjuru Indonesia dikumpulkan, menjalani program bersama pelatih dan pemain NBA, lalu diseleksi untuk bisa belajar dan bertanding di Amerika.

Pada program itu, dipilih pula most valuable player (MVP) untuk kategori putra dan putri.

Perlu ditegaskan, gelarnya adalah most valuable alias paling berharga/bernilai. Bukan ”terbaik”. Ini sangat sering disalahartikan di Indonesia. Banyak yang menyetarakan MVP sebagai ”yang terbaik”, padahal sebenarnya ”yang paling berharga”. Itu artinya jauh lebih kompleks dan ”dalam”.

Pada 2009 itu saya dan teman-teman di Indonesia masih sulit membedakan mana ”yang terbaik” dan mana yang ”paling berharga”.

Sehingga, dalam camp tersebut, kami semua menduga yang akan terpilih sebagai MVP adalah anak yang secara kemampuan paling menonjol. Dalam arti kelihatan mencetak poin paling banyak atau melakukan gerakan-gerakan hebat.

Ternyata, waktu itu barisan pelatih dari NBA memilih seorang pemain putra yang ”berbeda”. Anak itu tentu jago –kalau tidak jago, dia tidak mungkin terpilih ikut camp. Tapi, kami tidak merasa dia paling jago secara skill. Sulit membayangkan anak itu kelak akan menjadi seorang bintang basket nasional.

Ketika kami bertanya, muncullah istilah glue guy.

Pemain itu dipilih bukan karena dia mencetak paling banyak poin atau assist. Juga bukan karena dia punya kemampuan ball handling paling hebat. Pemain itu dipilih karena saat dia ada di lapangan, pemain-pemain lain di sekitarnya menjadi lebih baik.

Dialah ”lem” yang membuat tim bergerak lebih efektif, bermain lebih baik. Komunikasinya di lapangan baik, gerakan-gerakan yang dia lakukan membantu pemain lain untuk menjadi lebih baik.

Dialah sang glue guy, yang kontribusinya tidak bisa dinilai murni secara hasil atau statistik.

Sejak saat itu, saya jadi melihat sebuah organisasi dengan cara yang berbeda. Bahwa kunci sukses organisasi itu belum tentu dari orang-orang yang jabatannya paling tinggi, yang gajinya paling besar, atau yang bekerjanya paling ngotot. Harus ada glue guy-nya.

Azrul Ananda

Pada 2009 saya belajar. Orang paling berharga belum tentu yang paling pintar, paling cepat, atau paling kuat…

***

Kaget. Saya benar-benar kaget.

Contoh ini diambil dari sebuah camp basket SMA di Surabaya, yang dikelola oleh liga basket paling bergengsi di dunia: NBA. Tapi, makna dan aplikasinya sangat bisa diaplikasikan dalam aspek kehidupan yang lain.

Pada 2009, untuk tahun kedua, DBL Indonesia menyelenggarakan basketball camp bersama NBA di DBL Arena Surabaya. Pemain-pemain SMA pilihan dari berbagai penjuru Indonesia dikumpulkan, menjalani program bersama pelatih dan pemain NBA, lalu diseleksi untuk bisa belajar dan bertanding di Amerika.

Pada program itu, dipilih pula most valuable player (MVP) untuk kategori putra dan putri.

Perlu ditegaskan, gelarnya adalah most valuable alias paling berharga/bernilai. Bukan ”terbaik”. Ini sangat sering disalahartikan di Indonesia. Banyak yang menyetarakan MVP sebagai ”yang terbaik”, padahal sebenarnya ”yang paling berharga”. Itu artinya jauh lebih kompleks dan ”dalam”.

Pada 2009 itu saya dan teman-teman di Indonesia masih sulit membedakan mana ”yang terbaik” dan mana yang ”paling berharga”.

Sehingga, dalam camp tersebut, kami semua menduga yang akan terpilih sebagai MVP adalah anak yang secara kemampuan paling menonjol. Dalam arti kelihatan mencetak poin paling banyak atau melakukan gerakan-gerakan hebat.

Ternyata, waktu itu barisan pelatih dari NBA memilih seorang pemain putra yang ”berbeda”. Anak itu tentu jago –kalau tidak jago, dia tidak mungkin terpilih ikut camp. Tapi, kami tidak merasa dia paling jago secara skill. Sulit membayangkan anak itu kelak akan menjadi seorang bintang basket nasional.

Ketika kami bertanya, muncullah istilah glue guy.

Pemain itu dipilih bukan karena dia mencetak paling banyak poin atau assist. Juga bukan karena dia punya kemampuan ball handling paling hebat. Pemain itu dipilih karena saat dia ada di lapangan, pemain-pemain lain di sekitarnya menjadi lebih baik.

Dialah ”lem” yang membuat tim bergerak lebih efektif, bermain lebih baik. Komunikasinya di lapangan baik, gerakan-gerakan yang dia lakukan membantu pemain lain untuk menjadi lebih baik.

Dialah sang glue guy, yang kontribusinya tidak bisa dinilai murni secara hasil atau statistik.

Sejak saat itu, saya jadi melihat sebuah organisasi dengan cara yang berbeda. Bahwa kunci sukses organisasi itu belum tentu dari orang-orang yang jabatannya paling tinggi, yang gajinya paling besar, atau yang bekerjanya paling ngotot. Harus ada glue guy-nya.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/