26 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Menyelamatkan Generasi Muda dari Bahaya Rokok

Oleh: Jhon Rivel Purba

Industri rokok sangat gencar memasarkan produknya di negeri yang berpenduduk sekitar 240 juta ini. Di mana-mana terdapat iklan rokok.
Kalau kita menyusuri jalan raya khususnya di kota-kota besar katakanlah di Medan, pemandangan jalan dihiasi dengan iklan rokok dalam bentuk reklame raksasa, papan reklame elektronik, spanduk, dan poster-poster. Bahkan iklan-iklan itu sering memberikan ketidaknyamanan dan ketidakamanan bagi pengguna jalan raya.

Media juga dijadikan sebagai alat strategis untuk mengajak masyarakat mengonsumsi rokok yang diiklankan. Televisi misalnya, merupakan media yang paling diminati industri rokok untuk mengiklankan produk beracun ini, meskipun akhir-akhir ini sudah dibatasi. Kalangan anak dan pelajar yang jumlahnya puluhan juta jiwa, tentu mudah terpengaruh dengan iklan tersebut.  Selain itu, iklan rokok juga sudah mewarnai berbagai peristiwa-peristiwa (event). Berbagai strategi dilakukan industri rokok untuk mempengaruhi anak remaja agar mengkonsumsi produk rokok mereka dengan mensponsori kegiatan olahraga, pentas seni budaya, dan konser musik.

Bahkan ada acara anak-anak yang disponsori industri rokok, mengharuskan anak-anak membeli rokok agar bisa bisa ikut bermain atau masuk ke area permainan. Tidak jarang juga pihak industri rokok membagi-bagikan rokok secara gratis termasuk kepada anak dalam sebuah event. Industri rokok menyadari bahwa keuntungan yang sangat besar akan datang sendiri jika mampu mempengaruhi anak remaja melalui iklan. Sehingga masuk akal ketika melihat hasil berbagai penelitian, dimana iklan rokok dan kegiatan yang disponsori industri rokok, merupakan faktor penyebab terbesar bagi remaja untuk memulai merokok.

Dalam survei Global Tembakau pada 2006, sebanyak 37,3 persen pelajar Indonesia tingkat SLTP sudah biasa merokok dan 3 dari 10 pelajar mulai merokok di bawah usia 10 tahun. Tidak bisa dipungkiri, iklan rokok sangat berkontribusi besar dalam hal itu.

Iklan-iklan rokok yang makin ekspansif tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang belum mengutamkan kesehatan. Di balik itu semua terjadi perselingkuhan antara pihak industri tembakau dengan politisi dan birokrasi dalam mempengaruhi kebijakan pengendalian tembakau. Kasus penghilangan ayat yang menyebutkan produk tembakau sebagai zat adiktif dalam Pasal 113 Ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, merupakan satu bukti kuatnya intervensi pemilik modal.

Tarik ulur kepentingan ekonomi antara pengambil kebijakan dengan pemilik modal  menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) hingga hari ini. Padahal sebelumnya Indonesia adalah salah satu negara yang menginisiasi FCTC yang digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tetapi ketika konvensi ini disahkan pada 2003, Indonesia tidak menandatanganinya.

Pada hakikatnya, tujuan FCTC ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pengendalian tembakau di seluruh dunia.  FCTC mengatur tentang penetapan cukai rokok yang tinggi, penetapan larangan merokok di tempat umum, pelarangan iklan dan sponsorship rokok, dan pencantuman peringatan dalam bentuk gambar pada kemasan rokok.

Dengan demikian, belum ditandatanganinya FCTC itu menunjukkan bahwa Indonesia tidak konsisten dalam menjaminan hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental. Padahal Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam UU No 11/2005.

Berbagai alasan disampaikan pemerintah sehingga tidak serius mengerem jumlah perokok. Mulai dari pajak yang diberikan industri rokok, kesempatan kerja, serta nasib petani tembakau. Memang mengenai buruh pabrik rokok dan petani tembakau harus dicari jalan keluar, tapi alasan tadi tidak bisa dijadikan dalih untuk membenarkan ketidakseriusan pemerintah melindungi kesehatan generasi mudanya.
Perlu juga dilihat secara kritis, bahwa keuntungan industri rokok yang berdiri di negeri ini lari ke luar negeri karena pemilik perusahaan rokok tersebut adalah korporasi internasional. Bahkan separuh bahan baku (tembakau) industri rokok justru diimpor dari luar negeri. Misalnya dari Amerika Serikat (AS), China, dan India.

Sangat tidak adil, negara-negara tersebut membatasi penjualan rokok di negerinya tetapi mengekspor tembakau ke Indonesia. Bahkan perusahaan mereka masuk ke Indonesia dengan membeli saham perusahaan rokok yang ada di Tanah Air. Hasil produksinya kemudian ditawarkan dan didistribusikan di dalam negeri.

Oleh sebab itu, pemerintah harus berani mengambil langkah strategis dengan melaksanakan FCTC. Sejumlah negara yang telah melaksanakannya justru membuahkan hasil yang baik. Negara tetangga kita, Thailand misalnya, termasuk negara yang berhasil melaksanakan FCTC.
Negara ini mengatur ketat penjualan rokok. Justru mereka beruntung, naiknya cukai rokok sejalan dengan kenaikan pendapatan pemerintah. Kenaikan pendapatan pemerintah Thailand bisa membangun sarana transportasi yang baik. Selain itu kesehatan masyarakat makin meningkat dan biaya kesehatan menurun.

Ketidakseriusan pemerintah untuk melaksanakan FCTC sebenarnya adalah untuk melindungi kepentingan pemodal. Tapi anehnya, pemerintah selalu berlindung di balik topeng “penyelamatan” buruh industri rokok dan petani tembakau. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa industri rokok menyumbang pajak triliunan rupiah, banyak pekerja yang diselamatkan, dan petani bisa makan dari hasil tanaman tembakau.

Tapi perlu dipikirkan secara bijak, banyak keuntungan yang hilang akibat rokok. Mulai dari lahan yang ditanami tembakau yang seharusnya bisa ditanami tanaman pangan, biaya membeli rokok yang seharusnya bisa membeli makanan bergizi, waktu yang dihabiskan untuk merokok yang seharusnya bisa untuk kegiatan produktif, dan biaya berobat bagi penderita akibat rokok yang seharusnya bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan keuntungan yang hilang lainnya.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UGM Yogyakarta

Oleh: Jhon Rivel Purba

Industri rokok sangat gencar memasarkan produknya di negeri yang berpenduduk sekitar 240 juta ini. Di mana-mana terdapat iklan rokok.
Kalau kita menyusuri jalan raya khususnya di kota-kota besar katakanlah di Medan, pemandangan jalan dihiasi dengan iklan rokok dalam bentuk reklame raksasa, papan reklame elektronik, spanduk, dan poster-poster. Bahkan iklan-iklan itu sering memberikan ketidaknyamanan dan ketidakamanan bagi pengguna jalan raya.

Media juga dijadikan sebagai alat strategis untuk mengajak masyarakat mengonsumsi rokok yang diiklankan. Televisi misalnya, merupakan media yang paling diminati industri rokok untuk mengiklankan produk beracun ini, meskipun akhir-akhir ini sudah dibatasi. Kalangan anak dan pelajar yang jumlahnya puluhan juta jiwa, tentu mudah terpengaruh dengan iklan tersebut.  Selain itu, iklan rokok juga sudah mewarnai berbagai peristiwa-peristiwa (event). Berbagai strategi dilakukan industri rokok untuk mempengaruhi anak remaja agar mengkonsumsi produk rokok mereka dengan mensponsori kegiatan olahraga, pentas seni budaya, dan konser musik.

Bahkan ada acara anak-anak yang disponsori industri rokok, mengharuskan anak-anak membeli rokok agar bisa bisa ikut bermain atau masuk ke area permainan. Tidak jarang juga pihak industri rokok membagi-bagikan rokok secara gratis termasuk kepada anak dalam sebuah event. Industri rokok menyadari bahwa keuntungan yang sangat besar akan datang sendiri jika mampu mempengaruhi anak remaja melalui iklan. Sehingga masuk akal ketika melihat hasil berbagai penelitian, dimana iklan rokok dan kegiatan yang disponsori industri rokok, merupakan faktor penyebab terbesar bagi remaja untuk memulai merokok.

Dalam survei Global Tembakau pada 2006, sebanyak 37,3 persen pelajar Indonesia tingkat SLTP sudah biasa merokok dan 3 dari 10 pelajar mulai merokok di bawah usia 10 tahun. Tidak bisa dipungkiri, iklan rokok sangat berkontribusi besar dalam hal itu.

Iklan-iklan rokok yang makin ekspansif tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang belum mengutamkan kesehatan. Di balik itu semua terjadi perselingkuhan antara pihak industri tembakau dengan politisi dan birokrasi dalam mempengaruhi kebijakan pengendalian tembakau. Kasus penghilangan ayat yang menyebutkan produk tembakau sebagai zat adiktif dalam Pasal 113 Ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, merupakan satu bukti kuatnya intervensi pemilik modal.

Tarik ulur kepentingan ekonomi antara pengambil kebijakan dengan pemilik modal  menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) hingga hari ini. Padahal sebelumnya Indonesia adalah salah satu negara yang menginisiasi FCTC yang digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tetapi ketika konvensi ini disahkan pada 2003, Indonesia tidak menandatanganinya.

Pada hakikatnya, tujuan FCTC ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pengendalian tembakau di seluruh dunia.  FCTC mengatur tentang penetapan cukai rokok yang tinggi, penetapan larangan merokok di tempat umum, pelarangan iklan dan sponsorship rokok, dan pencantuman peringatan dalam bentuk gambar pada kemasan rokok.

Dengan demikian, belum ditandatanganinya FCTC itu menunjukkan bahwa Indonesia tidak konsisten dalam menjaminan hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental. Padahal Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam UU No 11/2005.

Berbagai alasan disampaikan pemerintah sehingga tidak serius mengerem jumlah perokok. Mulai dari pajak yang diberikan industri rokok, kesempatan kerja, serta nasib petani tembakau. Memang mengenai buruh pabrik rokok dan petani tembakau harus dicari jalan keluar, tapi alasan tadi tidak bisa dijadikan dalih untuk membenarkan ketidakseriusan pemerintah melindungi kesehatan generasi mudanya.
Perlu juga dilihat secara kritis, bahwa keuntungan industri rokok yang berdiri di negeri ini lari ke luar negeri karena pemilik perusahaan rokok tersebut adalah korporasi internasional. Bahkan separuh bahan baku (tembakau) industri rokok justru diimpor dari luar negeri. Misalnya dari Amerika Serikat (AS), China, dan India.

Sangat tidak adil, negara-negara tersebut membatasi penjualan rokok di negerinya tetapi mengekspor tembakau ke Indonesia. Bahkan perusahaan mereka masuk ke Indonesia dengan membeli saham perusahaan rokok yang ada di Tanah Air. Hasil produksinya kemudian ditawarkan dan didistribusikan di dalam negeri.

Oleh sebab itu, pemerintah harus berani mengambil langkah strategis dengan melaksanakan FCTC. Sejumlah negara yang telah melaksanakannya justru membuahkan hasil yang baik. Negara tetangga kita, Thailand misalnya, termasuk negara yang berhasil melaksanakan FCTC.
Negara ini mengatur ketat penjualan rokok. Justru mereka beruntung, naiknya cukai rokok sejalan dengan kenaikan pendapatan pemerintah. Kenaikan pendapatan pemerintah Thailand bisa membangun sarana transportasi yang baik. Selain itu kesehatan masyarakat makin meningkat dan biaya kesehatan menurun.

Ketidakseriusan pemerintah untuk melaksanakan FCTC sebenarnya adalah untuk melindungi kepentingan pemodal. Tapi anehnya, pemerintah selalu berlindung di balik topeng “penyelamatan” buruh industri rokok dan petani tembakau. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa industri rokok menyumbang pajak triliunan rupiah, banyak pekerja yang diselamatkan, dan petani bisa makan dari hasil tanaman tembakau.

Tapi perlu dipikirkan secara bijak, banyak keuntungan yang hilang akibat rokok. Mulai dari lahan yang ditanami tembakau yang seharusnya bisa ditanami tanaman pangan, biaya membeli rokok yang seharusnya bisa membeli makanan bergizi, waktu yang dihabiskan untuk merokok yang seharusnya bisa untuk kegiatan produktif, dan biaya berobat bagi penderita akibat rokok yang seharusnya bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan keuntungan yang hilang lainnya.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UGM Yogyakarta

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/