26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Penyelamatan dari Myanmar Hingga Belawan

Tragedi Etnis Rohingya

Pemberitaan kasus Rohingya muncul diberbagai media. Bahkan, Komisi I DPR RI mendesak Presiden SBY untuk segera membebaskan dan memberikan suaka politik terhadap pengungsi etnis muslim Rohingya di Indonesia. Ada apa dengan etnik Rohingya di Myanmar?

TANGISAN PENGUNGSI: Seorang muslim Rohingya menangis ketika petugas Bangladesh menghentikan kapal,  membawa keluarganya dari Myanmar,  perbatasan Bangladesh  Taknaf. Mereka melarikan diri dari Myanmar  mencari perlindungan.
TANGISAN PENGUNGSI: Seorang muslim Rohingya menangis ketika petugas Bangladesh menghentikan kapal, yang membawa keluarganya dari Myanmar, di perbatasan Bangladesh di Taknaf. Mereka melarikan diri dari Myanmar dan mencari perlindungan.

DALAM beberapa tahun terakhir, perlakuan kejam, brutal, minoritas dan diskriminatif dialami oleh etnis Rohingya. Kondisi kehidupan mereka benar-benar sangat memprihatinkan. Kekerasan kemanusiaan yang dilakukan oleh etnis lain dan Pemerintah Myanmar benar-benar sudah keterlaluan. Karenanya, banyak warga Rohingya yang terpaksa migrasi keluar dari negerinya untuk menyelamatkan diri.

Etnik Rohingya berbeda dengan etnik-etnik lain yang mendiami wilayah Myanmar. Mereka berkulit gelap (kaum Benggali) dan mayoritas beragama Islam. Sedangkan etnik-etnik lain berkulit kuning langsat dan menganut agama Buddha Therravada. Etnik Rohingya mendiami wilayah Arakan, di bagian Barat dan Utara Myanmar. Mereka merupakan suku asli yang mendiami wilayah tersebut sejak abad ke 8 Masehi. Dulu daerah tersebut merupakan wilayah Kerajaan Arakan yang muslim. Namun pada abad ke-17 Masehi, bangsa Burma menginvasi wilayah tersebut dan mengeksekusi ribuan penduduk Arakan sehingga etnis Rohingya yang tersisa menjadi minim. Saat itu banyak warga Rohingya yang melarikan diri meninggalkan wilayah Arakan.

Kedatangan tentara British yang bermaksud menduduki Burma, menimbulkan harapan bagi etnik Rohingya yang tersisa. Sehingga, kaum Rohingya yang dulunya melarikan diri saat invasi bangsa Burma, kembali pulang ke kampung halamannya. Penjajah British mendatangkan imigran Benggali dari wilayah Chittagong yang berbatasan langsung dengan Myanmar bagian barat untuk bekerja sebagai pekerja pertanian dan perkebunan di wilayah Arakan yang subur.

Kebijakan British tersebut memberikan dampak besar kepada populasi bangsa Benggali dan kaum Rohingya di Myanmar yang menjadikan mereka sebagai kaum mayoritas di beberapa kota besar seperti Rangoon (Yangoon), Akyab (Sittwe), Bassein (Pathein), dan Moulmein. Pada masa itu, kaum Burma di bawah penguasaan Inggris merasa tidak berdaya terhadap imigrasi besar-besaran tersebut dan hanya dapat merespons dengan sentimen rasial antara superioritas dan ketakutan.

Keadaan menjadi sulit ketika perang dunia kedua. Inggris yang berusaha mempertahankan eksistensinya di Burma menggunakan pejuang-pejuang Rohingya dan kaum imigran Benggali untuk melawan Jepang dan kaum nasionalis Burma. Namun, pada akhirnya Burma mampu meraih kemerdekaannya pada 1948. Sejak saat itulah konflik dan penderitaan etnik Rohingya kembali terjadi lagi. Terlebih lagi, kebijakan pemerintahan saat itu yang menginginkan populasi yang homogen, yaitu ras indocina yang bewarna kulit sama dan menganut agama yang sama.

Akibat sentimen masa lalu maka kaum Rohingya dimarjinalkan, didiskriminasikan, dan dizalimi. Bahkan, Pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan kepada warga etnik Rohingya (stateless person), sehingga dapat dikatakan mereka tidak memiliki hak sebagai manusia yang dilindungi oleh negara. Bukan hanya secara legalitas diabaikan, kaum Rohingya juga tidak memiliki hubungan social yang baik dengan etnik-etnik yang lain di Myanmar. Karenanya, seringkali timbul konflik komunal yang berujung pada tindakan-tindakan kejahatan brutal dan tidak berperikemanusiaan.
Konflik yang terjadi antara kaum minoritas Rohingya dengan etnik-etnik lain serta Pemerintah Myanmar merupakan kelanjutan dari sentimen kebangsaan yang berakar dari sejarah kelam mereka. Sehingga, pertikaiannya bukan hanya karena perbedaan warna kulit, bahasa dan kepercayaan semata, namun berasal dari kompleksitas permasalahan yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan begitu saja.

Dari perspektif historis, permasalahan Rohingya memiliki persamaan dengan kasus genocide di Rwanda pada tahun 1994. Belgia yang menjajah Rwanda sebelum kemerdekaannya menerapkan kebijakan sistem pemisahan penduduk terhadap dua kaum yang mendiami negeri tersebut: yaitu kaum Hutu dan kaum Tutsi. Kaum Hutu merupakan bangsa asli Rwanda namun memiliki strata sosial lebih rendah. Sedangkan kaum Tutsi merupakan pendatang dari Afrika Timur, memiliki strata social yang lebih tinggi dan menguasai hampir 90% perekonomian Rwanda. Kebijakan pemisahan ini pada akhirnya menimbulkan sentiment akut disertai pembantaian (Genocide) yang dilakukan oleh kaum Hutu terhadap kaum Tutsi. Kaum Hutu bermaksud menguasai Rwanda dari pengaruh kaum Tutsi.

Perbedaan kasus Rwanda dan Myanmar adalah Pemerintah Belgia di Rwanda dengan sengaja menciptakan sistem pemisahan penduduk terhadap kaum pribumi sehingga akan mudah bagi pemerintah jajahan untuk mengatur dan mengelola tanah jajahannya. Sedangkan yang terjadi di Myanmar adalah British meninggalkan Myanmar setelah perang dunia kedua dengan terpaksa melepaskan beberapa tanah jajahannya kepada kaum nationalis tanpa memberikan legalitas perlindungan kepada kaum Rohingya yang banyak membantu British pada perang dunia kedua. Hal ini semakin memberi konstribusi yang besar terhadap krisis kemanusiaan kaum Rohingya hingga sekarang ini.

Sejauh ini sebanyak 300.000 Pengungsi Rohingya ini kita menetap di daerah Kutapalong, di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Aljazeera English Channel Nicolas Hague melaporkan bahwa kondisi para pengungsi sangat mengenaskan.

Selain tidak mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan. Para pengungsi juga tidak mendapat listrik untuk pencahayaan malam juga kesulitan untuk mendapatkan makanan dan minuman. Anak-anak kecil Rohingya sendiri mengalami gizi buruk dan krisis nutrisi yang serius.

“Seandainya dunia tahu bagaimana mengenaskannya nasib para pengungsi Rohingya, hingga hari ini pemerintah Bangladesh belum memberikan perhatian apa-apa terhadap para pengungsi,” jelas Nicolas seperti yang dikutip oleh Aljazeera.com.

Rumah-rumah para pengungsi hanya dibangun diatas tanah. Yang ketika hujan turun tanah itu menjadi lumpur yang sangat becek. Sedangkan dinding-dinding rumah hanya ditutupi kayu sekedarnya dan plastik-plastik hitam yang dipasang sebagai dinding juga atap rumah.
Saat ini, kondisi cuaca sendiri tidak menentu. Hujan bahkan sering turun didaerah pengungsian. Hal ini, membuat para pengungsi mau tidak mau harus tetap tidur beralaskan lumpur.

Brad Adam salah satu aktivis hak asasi manusia international sendiri menyampaikan rasa keprihatinannya. Adam sangat mengkritisi sikap Pemerintah Bangladesh yang menutup mata terhadap pengungsi Rohingya.

“Tragedi Rohingya adalah tragedi pembantaian etnis yang takkan terlupakan, dan PBB belum juga mengambil tindakan apapun atas apa yang terjadi. Padahal pada saat yang sama, setahun lalu PBB sudah mencairkan dana sebenar 33 milliar US Dollar untuk program sosial pemerintah Bangladesh,” jelas Adam mengkritisi sikap PBB dan Pemerintah Bangladesh yang lambat dalam membantu pengungsi Rohingya.

Hingga hari, pemerintah Bangladesh bahkan sering menyuruh para pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar. Padahal di Myanmar pembersihan (baca:pembantaian) etnis Muslim Rohingya masih terus berlanjut.

Permasalahan Rohingya sedemikian kompleks, sehingga pemecahannya bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari titik pangkalnya. Demokratisasi yang mulai dilakukan junta militer tahun 2010, berhasil membuka tabir tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Myanmar kepada dunia luar. Isu-isu berkaitan HAM Rohingya baru akhir-akhir ini diketahui oleh masyarakat internasional setelah maraknya pemberitaan mengenai kondisi kamp-kamp pengungsian Rohingya yang memprihatinkan di perbatasan Bangladesh dan Thailand.

Adanya boat people (manusia perahu) kaum Rohingya yang melintasi perairan Indonesia dan Malaysia juga menjadi trending topics, akhir-akhir ini yang menjadikan isu Rohingya semakin menginternasional. Namun sayangnya, pada saat pembebasan pejuang HAM Myanmar Aung Saan Suu Kyi dan kedatangan Menlu AS, Hillary Clinton tahun lalu, ternyata tidak menjadikan kasus Rohingya sebagai agenda demokratisasi Myanmar. Walaupun begitu, hemat saya kemajuan signifikan telah dicapai setelah beberapa negara dan forum internasional seperti ASEAN mengangkat isu-isu kaum Rohingya sehingga menarik perhatian publik terhadap krisis kemanusiaan yang tengah terjadi sekarang ini.

Idealnya, pemecahan masalah Rohingya harus pula menjadi fokus perhatian Pemerintah SBY dalam merespons isu-isu internasional. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945, “maka dibentuklah Pemerintah Negara Indonesia yang … ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dengan demikian, membantu Rohingya merupakan kewajiban konstitusional yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah RI. (bbs/jpnn)

Rahudman Sambangi Korban Rohingya

Wali Kota Medan Rahudman Harahap, Kamis (2/8), menyambangi sekitar 26 orang pengungsi muslim Rohingya di Rumah Detensi  Imigrasi  (Rudenim) Belawan. Puluhan pengungsi ini terpaksa meninggalkan negara mereka di bagian Rakhine Utara, Myanmar Barat karena tidak tahan menghadapi  perlakuan diskriminatif dan tindakan kekerasan akibat dari terjadinya konflik sara di negara tersebut.

“Kami  diperlakukan sangat diskriminatif, tidak boleh meninggalkan wilayah tempat tinggal kami.  Sudah itu kami juga diperlakukan seperti kuli, setiap harinya disuruh kerja. Jika itu tidak dilaksanakan, kami mendapatkan  tindak kekerasan. Sudah itu di bulan puasa, kami tidak diperkenan puasa dan melaksanakan shalat,”  kata, M Jamin salah seorang warga muslim Rohingya kepada Walikota Medan.

Mendengar penuturan  tersebut, wajah Walikota Medan, Rahudman Harahap tampak terharu. Bersama dengan istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil  dan warga lainnya, M Jamin mengaku terpaksa  angkat kaki  untuk meninggalkan tanah kelahirannya tersebut karena merasa diperlakukan tidak adil.

Akibat tidak tahan menerima perlakuan seperti itu, pria yang mengaku pernah beberapa tahun bekerja di Malaysia sehingga fasih berbahasa Melayu inipun  membawa istri dan keluarganya  mengungsi.

“Kami tiba di Indonesia menggunakan perahu, dan nekat menyeberangi lautan yang ganas  sampai akhirnya tiba ditempat ini,” ungkapnya.
Setelah  di Belawan, mereka pun menyerahkan diri  dengan kesadaran  penuh kepada  pihak imigrasi  agar diberi diperlindungan.
“Kami minta perlindungan di negara ini. Kami sudah tidak tahan lagi menerima perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan di tempat asal kami. Kami sudah tidak punya apa-apa lagi, saudara-saudara kami sudan dibantai semua sebulan lalu,” paparnya sembari terisak menahan tangis.

Tidak hanya, M Jamin yang mengalami kisah memilukan tersebut, tapi rekan-rekannya  yang  lain juga mengalami hal serupa di negara mereka.  Hanya saja, rekan-rekan M Jamin cuma bisa menunjukan rona wajah kesedihan tanpa dapat menyampaikan sepatah kalimatpun karena  tak  bisa berbahasa Indonesia.

Menurut M Jamin, jumlah mereka  yang  mengungsi  dan saat ini berada di Rudenim Belawan  26 orang, 16 pria dan 5 wanita, selebihnya anak-anak. “Jadi kita sekarang menunggu apa yang akan diputuskan oleh pemerintah Indonesia. Apapun yang diputuskan nanti pasti kita kita terima,” ungkapnya dengan nada lirih.

Wali kota yang didampingi Wakil Wali Kota Dzulmi Eldin, serta Plt Kepala Rudenim Belawan P Sinaga  mengatakan, kunjungan ini dilakukan untuk mengecek kondisi para pengungsi Muslim Rohingya.

Sebagai kepala pemerintahan di Kota Medan, dia  akan mencoba memberikan sedikit perhatian melalui Kepala Rudenim Belawan, terutama bagi yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Kemudian Wali Kota berharap segera dilakukan penyelesaian antar negara, sehingga para pengungsi dapat kembali ke negaranya. Wali Kota mengaku sangat prihatin mendengar kisah pelarian para pengungsi. Dengan berjibaku, mereka menyeberangi lautan hanya menggunakan perahu sehingga sampai Belawan.

“Saya sangat prihatin. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada Kepala Imigrasi yang telah memfasilitasi dengan baik. Mudah-mudahan ini  segera dibawa ke forum yang lebih resmi. Minimal mereka selama berada di sini, kita bantu dan tangani dengan baik, “ harapnya.
Sementara itu, Pemprovsu akan mendukung dan membantu lembaga-lembaga internasional yang mengurusi pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Sumatera Utara.

Diperkirakan jumlah pengungsi Rohingya akan semakin bertambah di Sumatera Utara dimana saat ini jumlahnya sudah mencapai 152 pengungsi.
Hal tersebut dikatakan Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara (Plt Gubsu), Gatot Pujo Nugroho, menyikapi kedatangan para pengungsi Rohingya yang tiba di Sumatera Utara (Sumut) melalui Belawan dalam sepekan terakhir, Rabu (1/8).

Menurut Gatot, dalam memberikan bantuan itu, pihaknya selain bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait juga tetap mempertimbangkan kompetensi serta kemampuan pemerintah provinsi.Apalagi, untuk masalah pengungsi internasional ini sudah ada regulasi yang mengaturnya.

”Pemerintah Provinsi bekomitmen membantu para pengungsi. Kami akan  berkoordinasi dengan lembaga-lembaga internasional yang saat ini menangani para pengungsi, seperti IOM (International Organization Migran: red) dan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees, red),” kata Gatot.
Gatot mengungkapkan tragedi yag dialami para pengungsi Rohingya sungguh memprihatinkan dan mengusik rasa kemanusiaan, apalagi sebagian kaum pengungsi tersebut adalah kaum ibu dan anak-anak.

Terlebih lagi, kata Gatot, sugguh ironis di saat umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan, justeru para pengungsi yang merupakan umat muslim  mengalami penderitaan dan terusir dari negaranya.

“Kita sebagai sesama umat manusia sudah selayaknya membantu saudara-saudara kita yang mengalami musibah,” ujar Gatot.
Beliau menambahkan, dalam waktu dekat segera akan mengunjungi para pengungsi yang saat ditampung di sejumlah titik di Kota Medan bersama tim dari DPR RI.Bentuk bantuan yang diberikan Pemprovsu akan disesuaikan dengan kebutuhan para pengungsi melalui koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Jumlah pengungsi asal Rohingya, Myanmar yang mencari suaka ke Indonesia diperkirakan akan terus bertambah akibat masih belum kondusifnya keamanan di kawasan muslim di Myanmar tersebut.  Saat ini para pengungsi itu menyebar di sejumlah daerah di tanah air.

Mereka terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengungsi yang masih ditampung di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) dan yang di luar Rudenim.   Para pengungsi kini dibiayai oleh IOM dan lembaga donor yang membiayai para pencari suaka.

“Jelas kondisi pengungsi ini sangat memprihatinkan. Kami masih berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk memberikan bantuan semaksimal mungkin. Gelombang eksodus warga Rohingya ke Sumatera Utara yang secara geografis memang cukup dekat dengan Myanmar kita prediksikan akan terus terjadi. Karena itu, kita juga harus meminimalisir dampak-dampak lanjutan dari arus pengungsi ini,” imbuh Gatot.(ari/mag-17)

 Mereka Sudah Ada Sebelum Myanmar Ada

Konflik Myanmar menyita perhatian dunia internasional akhir-akhir ini. Penindasan yang dialami Muslim Rohingya membuka mata atas sejarah mereka sebagai etnis Myanmar yang tidak diakui. Bahkan tidak saja itu, program pembersihan etnis ditengarai dilakukan pemerintah Myanmar (kini Burma, Red) dengan berbagai metode yang kejam. Bagaimana sebenarnya sejarah umat Muslim di Rohingya? Kenapa konflik di Arakan meluas menjadi konflik horizontal? Lantas langkah apa yang tepat untuk menghentikan kekerasan di Arakan?

Heru Susetyo, Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI,  pendiri Pusat Informasi  Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)
Heru Susetyo, Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI,
pendiri Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)

Berikut wawancara bersama Heru Susetyo. Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini mendirikan Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA). Kunjungannya ke Myanmar banyak menyadarkannya bahwa Myanmar sebenarnya adalah negara yang kaya. Inilah petikan wawancaranya;

Bagaimana Sejarah Awal Muslim Rohingya?

Sejarahnya panjang. Sebagai etnis, mereka sudah hidup di sana sejak abad 7 Masehi. Tapi sebagai Muslim dengan nama kerajaan Arakan, mereka sudah mulai ada sejak tahun 1430 sampai 1784 Masehi. Jadi sekitar 3,5 abad mereka dalam kekuasaan kerajaan Muslim hingga mereka diserang oleh Kerajaan Burma, dan dianeksasi oleh Inggris. Setelah itu mereka dibawa menjadi bagian dari British India yang bermarkas di india. Meski India saat itu juga belum merdeka.

Lantas?

Kemudian berjalan bertahun-tahun lamanya sampai tahun 1940-an. Ketika Burma merdeka tahun 1948, ada 137 etnis yang ada di Burma. Sejak itupun, Myanmar tidak mengakui keberadaan mereka sebagai etnis yang ada di tanah Burma. Padahal ketika merdeka, Burma memasukkan negara bagian Arakan sebagai bagian dari Burma, namun setelah itu orang Rohingya atau Muslim Arakan tidak diakui sebagai etnis yang eksis di sana. Jadi ini masalahnya, padahal mereka sudah ada sebelum negara ada. Mereka dinilai minoritas dari segi warna kulit dan bahasa serta dianggap lebih dekat kepada orang Bangladesh. Walaupun mereka bukan orang Bangladesh.

Mana Istilah yang tepat bagi mereka, Rohingya atau Arakan?

Arakan itu nama propinsi. Kalau dalam Bahasa Inggris disebut Rakhine atau Rakhain. Sedangkan Rohingya adalah istilah yang dikenakan oleh orang luar (peneliti asing) pada abad 18-19 M.  Mereka sendiri menyebut diri mereka sebagai orang Muslim yang tinggal di Propinsi Arakan (Muslim Arakan). Cuma belakangan dikenal sebagai orang Rohingya. Karena ternyata di Arakan ada Muslim yang bukan berasal dari Arakan saja, tapi juga ada Muslim dari Bangladesh, juga dari bagian lain di Burma.

Selain etnis Arakan, ada etnis Muslim lain di sana?

Banyak. Saya pernah mengadakan kunjungan lapangan ke Burma tahun 2008-2009. Saya mengunjungi Burma tiga kali. Saya datang ke tiga kota, Yangoon, Mandalay, dan Pyin Oo Lwin. Dan saya mengunjungi 8 masjid di tiga kota itu. Dan peninggalan berupa masjid di sana banyak. Dan Muslim tidak hanya berasal dari Arakan, ada Muslim Burma, Muslim China, ada juga Muslim imigran dari India dan Bangladesh. Dan jumlahnya cukup signifikan. Bahkan di kota Mandalay, kota terbesar kedua di Burma, saya hitung ada 8 masjid. Di Yangoon lebih banyak lagi. Secara garis besar, mereka hidup lebih baik dari Muslim Arakan. Hanya Muslim Arakan yang hidup tertindas, dipinggirkan, dan tidak pernah diakui oleh pemerintah.

Bagaimana awal konflik Muslim Arakan terjadi?

Sejak sebelum Burma merdeka, tahun 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada orang Rohingya. Ribuan orang Rohingya dibunuh. Baik oleh negara maupun etnis mayoritas, karena mereka dianggap minoritas dan bukan bagian dari Burma. Kemudian berulang terus setelah Burma merdeka, ada operasi-operasi tentara yang sering kali dilakukan sejak tahun 1950-an. Yang paling sadis adalah Na Sa Ka Operation di antaranya dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan. Jadi ini adalah state violence, di mana negara melakukan genosida, etnic cleansing (pembantaian etnis), tapi kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antar orang Rohingya dengan orang Arakan lainnya yang non Muslim.

Jadi warga Budha dan Muslim relatif tidak pernah terjadi benturan?

Sejauh data-data yang saya miliki, konfliknya selalu vertikal. Tapi menjadi horizontal karena ada-tokoh yang memprovokasi. Karena Budha selama ini sebagai agama cukup peaceful. Saya kenal banyak orang Budha Burma, tidak ada yang namanya sikap perlawanan yang keras.

Kenapa Muslim Rohingya Ditakuti? Bukankah mereka minoritas?

Di manapun mayoritas ingin menghegemoni kepada etnis yang berbeda. Ada istilah Myanmar for Burmese, not for moslem (Myanmar hanya untuk Burma, bukan untuk Muslim). Saya kira itu kurang sehat. Karena sejatinya di Myanmar itu tidak hanya orang Burma, ada banyak etnis di situ. Sementara orang Rohingya ini agamanya sudah beda, dan etnis juga sudah jauh. Sebagai Mus lim dia juga berbeda dengan agama lainnya di Myanmar. Orang Rohingya tidak makan babi, minum minuman keras, menyembah dewa-dewa, itu halangan dari segi kultural. Dari segi jumlah memang tidak menakutkan. Nah ini masalah jum lah juga tidak jelas, sensus selama ini tidak mendapati angka yang sebenarnya. Ada yang 1 juta, ada yang 3.6 juta.

Pulau di Indonesia banyak, apakah mungkin memindahkan mereka ke Indonesia?

Itu mudah saja kalau ada kemauan politik seperti  kasus pengungsi Vietnam yang ditempatkan di Pulau Galang dan Rempang tahun 70-an. Atas nama kemanusiaan memang tidak masalah. Namun masalahnya itu menyenangkan pemerintah Myanmar. Ini tanggung jawab mereka kok malah menimpakan kepada negara lain. Karena Myanmar sendiri masih besar negaranya, cuma mereka dibatasi saja aksesnya. (*)

Tragedi Etnis Rohingya

Pemberitaan kasus Rohingya muncul diberbagai media. Bahkan, Komisi I DPR RI mendesak Presiden SBY untuk segera membebaskan dan memberikan suaka politik terhadap pengungsi etnis muslim Rohingya di Indonesia. Ada apa dengan etnik Rohingya di Myanmar?

TANGISAN PENGUNGSI: Seorang muslim Rohingya menangis ketika petugas Bangladesh menghentikan kapal,  membawa keluarganya dari Myanmar,  perbatasan Bangladesh  Taknaf. Mereka melarikan diri dari Myanmar  mencari perlindungan.
TANGISAN PENGUNGSI: Seorang muslim Rohingya menangis ketika petugas Bangladesh menghentikan kapal, yang membawa keluarganya dari Myanmar, di perbatasan Bangladesh di Taknaf. Mereka melarikan diri dari Myanmar dan mencari perlindungan.

DALAM beberapa tahun terakhir, perlakuan kejam, brutal, minoritas dan diskriminatif dialami oleh etnis Rohingya. Kondisi kehidupan mereka benar-benar sangat memprihatinkan. Kekerasan kemanusiaan yang dilakukan oleh etnis lain dan Pemerintah Myanmar benar-benar sudah keterlaluan. Karenanya, banyak warga Rohingya yang terpaksa migrasi keluar dari negerinya untuk menyelamatkan diri.

Etnik Rohingya berbeda dengan etnik-etnik lain yang mendiami wilayah Myanmar. Mereka berkulit gelap (kaum Benggali) dan mayoritas beragama Islam. Sedangkan etnik-etnik lain berkulit kuning langsat dan menganut agama Buddha Therravada. Etnik Rohingya mendiami wilayah Arakan, di bagian Barat dan Utara Myanmar. Mereka merupakan suku asli yang mendiami wilayah tersebut sejak abad ke 8 Masehi. Dulu daerah tersebut merupakan wilayah Kerajaan Arakan yang muslim. Namun pada abad ke-17 Masehi, bangsa Burma menginvasi wilayah tersebut dan mengeksekusi ribuan penduduk Arakan sehingga etnis Rohingya yang tersisa menjadi minim. Saat itu banyak warga Rohingya yang melarikan diri meninggalkan wilayah Arakan.

Kedatangan tentara British yang bermaksud menduduki Burma, menimbulkan harapan bagi etnik Rohingya yang tersisa. Sehingga, kaum Rohingya yang dulunya melarikan diri saat invasi bangsa Burma, kembali pulang ke kampung halamannya. Penjajah British mendatangkan imigran Benggali dari wilayah Chittagong yang berbatasan langsung dengan Myanmar bagian barat untuk bekerja sebagai pekerja pertanian dan perkebunan di wilayah Arakan yang subur.

Kebijakan British tersebut memberikan dampak besar kepada populasi bangsa Benggali dan kaum Rohingya di Myanmar yang menjadikan mereka sebagai kaum mayoritas di beberapa kota besar seperti Rangoon (Yangoon), Akyab (Sittwe), Bassein (Pathein), dan Moulmein. Pada masa itu, kaum Burma di bawah penguasaan Inggris merasa tidak berdaya terhadap imigrasi besar-besaran tersebut dan hanya dapat merespons dengan sentimen rasial antara superioritas dan ketakutan.

Keadaan menjadi sulit ketika perang dunia kedua. Inggris yang berusaha mempertahankan eksistensinya di Burma menggunakan pejuang-pejuang Rohingya dan kaum imigran Benggali untuk melawan Jepang dan kaum nasionalis Burma. Namun, pada akhirnya Burma mampu meraih kemerdekaannya pada 1948. Sejak saat itulah konflik dan penderitaan etnik Rohingya kembali terjadi lagi. Terlebih lagi, kebijakan pemerintahan saat itu yang menginginkan populasi yang homogen, yaitu ras indocina yang bewarna kulit sama dan menganut agama yang sama.

Akibat sentimen masa lalu maka kaum Rohingya dimarjinalkan, didiskriminasikan, dan dizalimi. Bahkan, Pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan kepada warga etnik Rohingya (stateless person), sehingga dapat dikatakan mereka tidak memiliki hak sebagai manusia yang dilindungi oleh negara. Bukan hanya secara legalitas diabaikan, kaum Rohingya juga tidak memiliki hubungan social yang baik dengan etnik-etnik yang lain di Myanmar. Karenanya, seringkali timbul konflik komunal yang berujung pada tindakan-tindakan kejahatan brutal dan tidak berperikemanusiaan.
Konflik yang terjadi antara kaum minoritas Rohingya dengan etnik-etnik lain serta Pemerintah Myanmar merupakan kelanjutan dari sentimen kebangsaan yang berakar dari sejarah kelam mereka. Sehingga, pertikaiannya bukan hanya karena perbedaan warna kulit, bahasa dan kepercayaan semata, namun berasal dari kompleksitas permasalahan yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan begitu saja.

Dari perspektif historis, permasalahan Rohingya memiliki persamaan dengan kasus genocide di Rwanda pada tahun 1994. Belgia yang menjajah Rwanda sebelum kemerdekaannya menerapkan kebijakan sistem pemisahan penduduk terhadap dua kaum yang mendiami negeri tersebut: yaitu kaum Hutu dan kaum Tutsi. Kaum Hutu merupakan bangsa asli Rwanda namun memiliki strata sosial lebih rendah. Sedangkan kaum Tutsi merupakan pendatang dari Afrika Timur, memiliki strata social yang lebih tinggi dan menguasai hampir 90% perekonomian Rwanda. Kebijakan pemisahan ini pada akhirnya menimbulkan sentiment akut disertai pembantaian (Genocide) yang dilakukan oleh kaum Hutu terhadap kaum Tutsi. Kaum Hutu bermaksud menguasai Rwanda dari pengaruh kaum Tutsi.

Perbedaan kasus Rwanda dan Myanmar adalah Pemerintah Belgia di Rwanda dengan sengaja menciptakan sistem pemisahan penduduk terhadap kaum pribumi sehingga akan mudah bagi pemerintah jajahan untuk mengatur dan mengelola tanah jajahannya. Sedangkan yang terjadi di Myanmar adalah British meninggalkan Myanmar setelah perang dunia kedua dengan terpaksa melepaskan beberapa tanah jajahannya kepada kaum nationalis tanpa memberikan legalitas perlindungan kepada kaum Rohingya yang banyak membantu British pada perang dunia kedua. Hal ini semakin memberi konstribusi yang besar terhadap krisis kemanusiaan kaum Rohingya hingga sekarang ini.

Sejauh ini sebanyak 300.000 Pengungsi Rohingya ini kita menetap di daerah Kutapalong, di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Aljazeera English Channel Nicolas Hague melaporkan bahwa kondisi para pengungsi sangat mengenaskan.

Selain tidak mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan. Para pengungsi juga tidak mendapat listrik untuk pencahayaan malam juga kesulitan untuk mendapatkan makanan dan minuman. Anak-anak kecil Rohingya sendiri mengalami gizi buruk dan krisis nutrisi yang serius.

“Seandainya dunia tahu bagaimana mengenaskannya nasib para pengungsi Rohingya, hingga hari ini pemerintah Bangladesh belum memberikan perhatian apa-apa terhadap para pengungsi,” jelas Nicolas seperti yang dikutip oleh Aljazeera.com.

Rumah-rumah para pengungsi hanya dibangun diatas tanah. Yang ketika hujan turun tanah itu menjadi lumpur yang sangat becek. Sedangkan dinding-dinding rumah hanya ditutupi kayu sekedarnya dan plastik-plastik hitam yang dipasang sebagai dinding juga atap rumah.
Saat ini, kondisi cuaca sendiri tidak menentu. Hujan bahkan sering turun didaerah pengungsian. Hal ini, membuat para pengungsi mau tidak mau harus tetap tidur beralaskan lumpur.

Brad Adam salah satu aktivis hak asasi manusia international sendiri menyampaikan rasa keprihatinannya. Adam sangat mengkritisi sikap Pemerintah Bangladesh yang menutup mata terhadap pengungsi Rohingya.

“Tragedi Rohingya adalah tragedi pembantaian etnis yang takkan terlupakan, dan PBB belum juga mengambil tindakan apapun atas apa yang terjadi. Padahal pada saat yang sama, setahun lalu PBB sudah mencairkan dana sebenar 33 milliar US Dollar untuk program sosial pemerintah Bangladesh,” jelas Adam mengkritisi sikap PBB dan Pemerintah Bangladesh yang lambat dalam membantu pengungsi Rohingya.

Hingga hari, pemerintah Bangladesh bahkan sering menyuruh para pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar. Padahal di Myanmar pembersihan (baca:pembantaian) etnis Muslim Rohingya masih terus berlanjut.

Permasalahan Rohingya sedemikian kompleks, sehingga pemecahannya bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari titik pangkalnya. Demokratisasi yang mulai dilakukan junta militer tahun 2010, berhasil membuka tabir tentang keadaan yang sebenarnya terjadi di Myanmar kepada dunia luar. Isu-isu berkaitan HAM Rohingya baru akhir-akhir ini diketahui oleh masyarakat internasional setelah maraknya pemberitaan mengenai kondisi kamp-kamp pengungsian Rohingya yang memprihatinkan di perbatasan Bangladesh dan Thailand.

Adanya boat people (manusia perahu) kaum Rohingya yang melintasi perairan Indonesia dan Malaysia juga menjadi trending topics, akhir-akhir ini yang menjadikan isu Rohingya semakin menginternasional. Namun sayangnya, pada saat pembebasan pejuang HAM Myanmar Aung Saan Suu Kyi dan kedatangan Menlu AS, Hillary Clinton tahun lalu, ternyata tidak menjadikan kasus Rohingya sebagai agenda demokratisasi Myanmar. Walaupun begitu, hemat saya kemajuan signifikan telah dicapai setelah beberapa negara dan forum internasional seperti ASEAN mengangkat isu-isu kaum Rohingya sehingga menarik perhatian publik terhadap krisis kemanusiaan yang tengah terjadi sekarang ini.

Idealnya, pemecahan masalah Rohingya harus pula menjadi fokus perhatian Pemerintah SBY dalam merespons isu-isu internasional. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945, “maka dibentuklah Pemerintah Negara Indonesia yang … ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dengan demikian, membantu Rohingya merupakan kewajiban konstitusional yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah RI. (bbs/jpnn)

Rahudman Sambangi Korban Rohingya

Wali Kota Medan Rahudman Harahap, Kamis (2/8), menyambangi sekitar 26 orang pengungsi muslim Rohingya di Rumah Detensi  Imigrasi  (Rudenim) Belawan. Puluhan pengungsi ini terpaksa meninggalkan negara mereka di bagian Rakhine Utara, Myanmar Barat karena tidak tahan menghadapi  perlakuan diskriminatif dan tindakan kekerasan akibat dari terjadinya konflik sara di negara tersebut.

“Kami  diperlakukan sangat diskriminatif, tidak boleh meninggalkan wilayah tempat tinggal kami.  Sudah itu kami juga diperlakukan seperti kuli, setiap harinya disuruh kerja. Jika itu tidak dilaksanakan, kami mendapatkan  tindak kekerasan. Sudah itu di bulan puasa, kami tidak diperkenan puasa dan melaksanakan shalat,”  kata, M Jamin salah seorang warga muslim Rohingya kepada Walikota Medan.

Mendengar penuturan  tersebut, wajah Walikota Medan, Rahudman Harahap tampak terharu. Bersama dengan istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil  dan warga lainnya, M Jamin mengaku terpaksa  angkat kaki  untuk meninggalkan tanah kelahirannya tersebut karena merasa diperlakukan tidak adil.

Akibat tidak tahan menerima perlakuan seperti itu, pria yang mengaku pernah beberapa tahun bekerja di Malaysia sehingga fasih berbahasa Melayu inipun  membawa istri dan keluarganya  mengungsi.

“Kami tiba di Indonesia menggunakan perahu, dan nekat menyeberangi lautan yang ganas  sampai akhirnya tiba ditempat ini,” ungkapnya.
Setelah  di Belawan, mereka pun menyerahkan diri  dengan kesadaran  penuh kepada  pihak imigrasi  agar diberi diperlindungan.
“Kami minta perlindungan di negara ini. Kami sudah tidak tahan lagi menerima perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan di tempat asal kami. Kami sudah tidak punya apa-apa lagi, saudara-saudara kami sudan dibantai semua sebulan lalu,” paparnya sembari terisak menahan tangis.

Tidak hanya, M Jamin yang mengalami kisah memilukan tersebut, tapi rekan-rekannya  yang  lain juga mengalami hal serupa di negara mereka.  Hanya saja, rekan-rekan M Jamin cuma bisa menunjukan rona wajah kesedihan tanpa dapat menyampaikan sepatah kalimatpun karena  tak  bisa berbahasa Indonesia.

Menurut M Jamin, jumlah mereka  yang  mengungsi  dan saat ini berada di Rudenim Belawan  26 orang, 16 pria dan 5 wanita, selebihnya anak-anak. “Jadi kita sekarang menunggu apa yang akan diputuskan oleh pemerintah Indonesia. Apapun yang diputuskan nanti pasti kita kita terima,” ungkapnya dengan nada lirih.

Wali kota yang didampingi Wakil Wali Kota Dzulmi Eldin, serta Plt Kepala Rudenim Belawan P Sinaga  mengatakan, kunjungan ini dilakukan untuk mengecek kondisi para pengungsi Muslim Rohingya.

Sebagai kepala pemerintahan di Kota Medan, dia  akan mencoba memberikan sedikit perhatian melalui Kepala Rudenim Belawan, terutama bagi yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Kemudian Wali Kota berharap segera dilakukan penyelesaian antar negara, sehingga para pengungsi dapat kembali ke negaranya. Wali Kota mengaku sangat prihatin mendengar kisah pelarian para pengungsi. Dengan berjibaku, mereka menyeberangi lautan hanya menggunakan perahu sehingga sampai Belawan.

“Saya sangat prihatin. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada Kepala Imigrasi yang telah memfasilitasi dengan baik. Mudah-mudahan ini  segera dibawa ke forum yang lebih resmi. Minimal mereka selama berada di sini, kita bantu dan tangani dengan baik, “ harapnya.
Sementara itu, Pemprovsu akan mendukung dan membantu lembaga-lembaga internasional yang mengurusi pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Sumatera Utara.

Diperkirakan jumlah pengungsi Rohingya akan semakin bertambah di Sumatera Utara dimana saat ini jumlahnya sudah mencapai 152 pengungsi.
Hal tersebut dikatakan Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara (Plt Gubsu), Gatot Pujo Nugroho, menyikapi kedatangan para pengungsi Rohingya yang tiba di Sumatera Utara (Sumut) melalui Belawan dalam sepekan terakhir, Rabu (1/8).

Menurut Gatot, dalam memberikan bantuan itu, pihaknya selain bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait juga tetap mempertimbangkan kompetensi serta kemampuan pemerintah provinsi.Apalagi, untuk masalah pengungsi internasional ini sudah ada regulasi yang mengaturnya.

”Pemerintah Provinsi bekomitmen membantu para pengungsi. Kami akan  berkoordinasi dengan lembaga-lembaga internasional yang saat ini menangani para pengungsi, seperti IOM (International Organization Migran: red) dan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees, red),” kata Gatot.
Gatot mengungkapkan tragedi yag dialami para pengungsi Rohingya sungguh memprihatinkan dan mengusik rasa kemanusiaan, apalagi sebagian kaum pengungsi tersebut adalah kaum ibu dan anak-anak.

Terlebih lagi, kata Gatot, sugguh ironis di saat umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan, justeru para pengungsi yang merupakan umat muslim  mengalami penderitaan dan terusir dari negaranya.

“Kita sebagai sesama umat manusia sudah selayaknya membantu saudara-saudara kita yang mengalami musibah,” ujar Gatot.
Beliau menambahkan, dalam waktu dekat segera akan mengunjungi para pengungsi yang saat ditampung di sejumlah titik di Kota Medan bersama tim dari DPR RI.Bentuk bantuan yang diberikan Pemprovsu akan disesuaikan dengan kebutuhan para pengungsi melalui koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Jumlah pengungsi asal Rohingya, Myanmar yang mencari suaka ke Indonesia diperkirakan akan terus bertambah akibat masih belum kondusifnya keamanan di kawasan muslim di Myanmar tersebut.  Saat ini para pengungsi itu menyebar di sejumlah daerah di tanah air.

Mereka terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengungsi yang masih ditampung di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi) dan yang di luar Rudenim.   Para pengungsi kini dibiayai oleh IOM dan lembaga donor yang membiayai para pencari suaka.

“Jelas kondisi pengungsi ini sangat memprihatinkan. Kami masih berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk memberikan bantuan semaksimal mungkin. Gelombang eksodus warga Rohingya ke Sumatera Utara yang secara geografis memang cukup dekat dengan Myanmar kita prediksikan akan terus terjadi. Karena itu, kita juga harus meminimalisir dampak-dampak lanjutan dari arus pengungsi ini,” imbuh Gatot.(ari/mag-17)

 Mereka Sudah Ada Sebelum Myanmar Ada

Konflik Myanmar menyita perhatian dunia internasional akhir-akhir ini. Penindasan yang dialami Muslim Rohingya membuka mata atas sejarah mereka sebagai etnis Myanmar yang tidak diakui. Bahkan tidak saja itu, program pembersihan etnis ditengarai dilakukan pemerintah Myanmar (kini Burma, Red) dengan berbagai metode yang kejam. Bagaimana sebenarnya sejarah umat Muslim di Rohingya? Kenapa konflik di Arakan meluas menjadi konflik horizontal? Lantas langkah apa yang tepat untuk menghentikan kekerasan di Arakan?

Heru Susetyo, Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI,  pendiri Pusat Informasi  Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)
Heru Susetyo, Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI,
pendiri Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)

Berikut wawancara bersama Heru Susetyo. Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini mendirikan Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA). Kunjungannya ke Myanmar banyak menyadarkannya bahwa Myanmar sebenarnya adalah negara yang kaya. Inilah petikan wawancaranya;

Bagaimana Sejarah Awal Muslim Rohingya?

Sejarahnya panjang. Sebagai etnis, mereka sudah hidup di sana sejak abad 7 Masehi. Tapi sebagai Muslim dengan nama kerajaan Arakan, mereka sudah mulai ada sejak tahun 1430 sampai 1784 Masehi. Jadi sekitar 3,5 abad mereka dalam kekuasaan kerajaan Muslim hingga mereka diserang oleh Kerajaan Burma, dan dianeksasi oleh Inggris. Setelah itu mereka dibawa menjadi bagian dari British India yang bermarkas di india. Meski India saat itu juga belum merdeka.

Lantas?

Kemudian berjalan bertahun-tahun lamanya sampai tahun 1940-an. Ketika Burma merdeka tahun 1948, ada 137 etnis yang ada di Burma. Sejak itupun, Myanmar tidak mengakui keberadaan mereka sebagai etnis yang ada di tanah Burma. Padahal ketika merdeka, Burma memasukkan negara bagian Arakan sebagai bagian dari Burma, namun setelah itu orang Rohingya atau Muslim Arakan tidak diakui sebagai etnis yang eksis di sana. Jadi ini masalahnya, padahal mereka sudah ada sebelum negara ada. Mereka dinilai minoritas dari segi warna kulit dan bahasa serta dianggap lebih dekat kepada orang Bangladesh. Walaupun mereka bukan orang Bangladesh.

Mana Istilah yang tepat bagi mereka, Rohingya atau Arakan?

Arakan itu nama propinsi. Kalau dalam Bahasa Inggris disebut Rakhine atau Rakhain. Sedangkan Rohingya adalah istilah yang dikenakan oleh orang luar (peneliti asing) pada abad 18-19 M.  Mereka sendiri menyebut diri mereka sebagai orang Muslim yang tinggal di Propinsi Arakan (Muslim Arakan). Cuma belakangan dikenal sebagai orang Rohingya. Karena ternyata di Arakan ada Muslim yang bukan berasal dari Arakan saja, tapi juga ada Muslim dari Bangladesh, juga dari bagian lain di Burma.

Selain etnis Arakan, ada etnis Muslim lain di sana?

Banyak. Saya pernah mengadakan kunjungan lapangan ke Burma tahun 2008-2009. Saya mengunjungi Burma tiga kali. Saya datang ke tiga kota, Yangoon, Mandalay, dan Pyin Oo Lwin. Dan saya mengunjungi 8 masjid di tiga kota itu. Dan peninggalan berupa masjid di sana banyak. Dan Muslim tidak hanya berasal dari Arakan, ada Muslim Burma, Muslim China, ada juga Muslim imigran dari India dan Bangladesh. Dan jumlahnya cukup signifikan. Bahkan di kota Mandalay, kota terbesar kedua di Burma, saya hitung ada 8 masjid. Di Yangoon lebih banyak lagi. Secara garis besar, mereka hidup lebih baik dari Muslim Arakan. Hanya Muslim Arakan yang hidup tertindas, dipinggirkan, dan tidak pernah diakui oleh pemerintah.

Bagaimana awal konflik Muslim Arakan terjadi?

Sejak sebelum Burma merdeka, tahun 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada orang Rohingya. Ribuan orang Rohingya dibunuh. Baik oleh negara maupun etnis mayoritas, karena mereka dianggap minoritas dan bukan bagian dari Burma. Kemudian berulang terus setelah Burma merdeka, ada operasi-operasi tentara yang sering kali dilakukan sejak tahun 1950-an. Yang paling sadis adalah Na Sa Ka Operation di antaranya dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan. Jadi ini adalah state violence, di mana negara melakukan genosida, etnic cleansing (pembantaian etnis), tapi kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antar orang Rohingya dengan orang Arakan lainnya yang non Muslim.

Jadi warga Budha dan Muslim relatif tidak pernah terjadi benturan?

Sejauh data-data yang saya miliki, konfliknya selalu vertikal. Tapi menjadi horizontal karena ada-tokoh yang memprovokasi. Karena Budha selama ini sebagai agama cukup peaceful. Saya kenal banyak orang Budha Burma, tidak ada yang namanya sikap perlawanan yang keras.

Kenapa Muslim Rohingya Ditakuti? Bukankah mereka minoritas?

Di manapun mayoritas ingin menghegemoni kepada etnis yang berbeda. Ada istilah Myanmar for Burmese, not for moslem (Myanmar hanya untuk Burma, bukan untuk Muslim). Saya kira itu kurang sehat. Karena sejatinya di Myanmar itu tidak hanya orang Burma, ada banyak etnis di situ. Sementara orang Rohingya ini agamanya sudah beda, dan etnis juga sudah jauh. Sebagai Mus lim dia juga berbeda dengan agama lainnya di Myanmar. Orang Rohingya tidak makan babi, minum minuman keras, menyembah dewa-dewa, itu halangan dari segi kultural. Dari segi jumlah memang tidak menakutkan. Nah ini masalah jum lah juga tidak jelas, sensus selama ini tidak mendapati angka yang sebenarnya. Ada yang 1 juta, ada yang 3.6 juta.

Pulau di Indonesia banyak, apakah mungkin memindahkan mereka ke Indonesia?

Itu mudah saja kalau ada kemauan politik seperti  kasus pengungsi Vietnam yang ditempatkan di Pulau Galang dan Rempang tahun 70-an. Atas nama kemanusiaan memang tidak masalah. Namun masalahnya itu menyenangkan pemerintah Myanmar. Ini tanggung jawab mereka kok malah menimpakan kepada negara lain. Karena Myanmar sendiri masih besar negaranya, cuma mereka dibatasi saja aksesnya. (*)

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/