R br Panjaitan histeris. Dia berteriak. Dia menangis. Dia terus mengucapkan nama kedua anaknya berulang-ulang: Vietalia dan Citra. Tak lama kemudian, dia pingsan. Bagaimana tidak, kedua anaknya yang masih berusia 4 dan 2,5 tahun itu ditemukan warga dalam keadaan tewas.
Kejadian di atas bukan sebuah adegan film atau fragmen pada sebuah drama. Ini kisah nyata. Kejadiannya berlangsung di Jalak Lingkungan XI Kelurahan Lestari Kecamatan Kota Kisaran Timur. Kejadian makin menyedihkan bagi R br Panjaitan karena kedua anaknya itu meninggal di rumah tetangga; tempat dia menitipkan buah hatinya itu. Sebagai ibu yang bekerja, dia memang harus tega melakukan itu; menitipkan anaknya yang kecil. Bayangkan jika dia tidak bekerja, kedua anaknya pun tidak bisa makan. Pasalnya, sang suami sedang merantau.
Selama ini, keadaan baik-baik saja. Dia masih tetap bekerja dan kedua anaknya aman di rumah tetangga. Tapi kemarin, semuanya berubah. Kedua anaknya tewas terpanggang dalam keadaan berpelukan di rumah yang terkunci dari luar. Fiuh.
Sumpah, saya gemetar saat mendengar kabar ini. Ada bergetar dalam hati saya ketika menyadari kedua anak itu sejatinya masih memiliki masa depan yang panjang. Masih banyak yang bisa mereka rasakan. Masih banyak yang bisa mereka raih. Tapi begitulah, kata orang pintar, malang tak dapat ditolak.
Dari kejadian itu, yang main membuat saya bergetar, adalah keadaan ekonomi R br Panjaitan. Bukan maksud membeda-bedakan lelaki dan perempuan, tapi sangat bijak jika dia tidak bekerja. Bagaimana tidak, anaknya itu masih butuh pengawasan langsung dari seorang ibu; masih balita atau bocah di bawah lima tahun. Tapi sekali lagi, daya apa yang dia punya. Suaminya merantau. Tuntutan ekonomi mengharuskan dia untuk bekerja. Saya yakin, menitipkan dua anak ke rumah tetangga adalah sebuah keputusan yang berat baginya.
Parahnya, ibu yang dia titipkan juga memiliki aktivitas. Ya, pada kejadian, ibu yang bernama Lince (tempat dia menitipkan anak) sedang berada di ladang. Bu Lince pun menitipkan Vietalia dan Citra pada anaknya yang masih duduk di kelas 5 SD. Ujung-ujungnya, sang anak kelas 5 SD hanya bertugas untuk membuat kedua balita itu tidur karena dia juga bekerja sebagai pengupas bawang. Setelah keduanya tidur, dia berangkat kerja. Nah, karena sudah tidur, maka dia kunci rumah itu dari luar. Tentunya dia tidak ingin rumah itu dibobol maling bukan? Dan, saat itulah kebakaran. Sapa nyana?
Tidak ada yang menyangka bukan? Salah siapa? Entahlah. Saya tidak ingin mencari siapa uang salah dan siapa yang benar. Menurut saya, apa yang telah dilakukan oleh semua ‘aktor’ pada kejadian itu sudah sesuai kapasitas mereka. Jika hanya mengandalkan iba pada kedua anak itu, tentunya sang ibu tidak akan bekerja. Bu Lince juga tidak akan bekerja. Anak kelas 5 SD juga tidak akan bekerja. Lalu, bagaimana mereka hidup!
Itulah sebab saya ingin mengatakan tangis dan histeris hingga pingsan yang ditunjukan oleh R br Panjaitan adalah murni karena sayang anak. Ini kasus bukan seperti sayang seorang anak pada orangtua dengan mengirimkan mereka ke panti jompo. Ini lebih mengarah pada sayang yang penuh pengorbanan.
Ayolah, R br Panjaitan tetap bekerja karena memang sayang pada anaknya. R br Panjaitan menitipkan buah hatinya karena sayang; tentunya dia tidak ingin membiarkan buah hatinya itu tiada kawan di rumah mereka sendiri. Intinya, R br Panjaitan ingin memberikan hal yang terbaik pada dua anaknya yang telah meninggal itu. Apa bedanya dengan seorang ibu yang menyewakan sopir untuk antar jemput anaknya, di jalan mobil itu tabrakan dan anaknya tewas? Sama saja bukan? Sekali lagi, malang memang tidak bisa ditolak. Tapi, apa kabar bapak dari kedua anak itu? (*)