30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Ada 5 Kekerasan pada Anak

MEDAN-Psikolog Drs Irna Minauli MPSi mengatakan ada lima kekerasan yang sering dialami anak. Yakni mulai dari kekerasan fisik, emosional (verbal), kekerasan seksualn pengabaian dan terpaparnya anak dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan orangtua.

“Bentuk pengabaian terhadap hak-hak anak, juga bagian dari kekerasan pada anak. Begitu juga, orangtua yang sedang bertengkar di depan anak, juga bentuk kekerasan bagi anak,”ungkap Irna Minauli dalam diskusi yang diselenggarakan keluarga besar Yayasan Sarimutiara Medan di kampus STIKes Sari Mutiara dan bekerjasama dengan Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes) Sumatera Utara,  Senin (6/8).
Irna juga mengharapkan para orangtua untuk tidak memperlakukan anak dengan kasar.

Pasalnya, prilaku kasar kepada anak akan membentuk tumbuh kembang psikis anak menjadi kurang baik.
“Mencubit anak saja sebenarnya tidak boleh,” ucapnya.

iskusi tersebut juga diikuti anggota DPD RI asal Sumut Parlindungan Purba SH MM, dan Ketua STIKes Sarimutiara Medan, Dr Ivan Elisabet Purba, serta sejumlah dosen Sari Mutiara.

Selama ini, sebut Irna, banyak masyarakat yang menilai jika kekerasan sering dianggap sebagai salah satu bentuk penerapan pendidikan kedisiplinan pada anak.

Akan tetapi justru sebaliknya kekerasan dapat membagun prilaku anak yang kerap lebih bandal dibanding sebelumnya.

“Apapun alasannya, secara psikologis tidak dibenarkan. Karena, kekerasan itu akan membuat anak malah tambah nakal,” tegasnya.
Irna menilai, para orangtua sering melakukan pelampiasan kemarahannya pada anak. Mulai dari bentuknya ejekan, perbandingan, memberikan label negatif pada anak hingga kekerasan fisik dan seksual.

Kekerasan seksual, lanjutnya, akan membentuk emosional anak terganggu. Anak akan mengalami trauma yang berkepanjangan.
“Anak bisa saja mengalami mimpi buruk berkepanjangan. Dia bisa takut bertemu orang asing, apalagi tindakan kekerasan seksual sering dibarengi dengan pengancaman yang membuat anak takut melihat orang asing,” sebutnya.

Dia menyontohkan, salah seorang anak korban sodomi yang dibawa Forwakes belum lama ini ke klinik psikologi Biro Persona miliknya.
“Selama seminggu anak itu masih takut melihat laki-laki. Bahkan, diberi mainan laki-laki saja, tidak disentuhnya. Jadi, proses penyembuhan traumanya panjang, bisa memakan waktu hingga enam bulan,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, bentuk pengabaian juga bagian dari kekerasan. Pengabaian bisa terjadi soal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
“Orangtua sering terlalu sibuk, sehingga anak diserahkan begitu saja kepada pembantu. Termasuk anak jalanan, juga bagian dari pengabaian,” jelas Irna lagi.

Malah, lanjutnya, belakangan ini ada tren baru bentuk kekerasan anak. Di mana orangtua yang mengalami sindrom tertentu.

“Para orangtua kerap membawa anak ke dokter untuk pemeriksaan kesehatannya, padahal, anak itu sendiri sebenarnya tidak sakit,” ujarnya.
Menurutnya, kebanyakan anak yang rentan mengalami kekerasan mulai dari satu hingga tiga tahun. Anak yang berkebutuhan khusus, anak panti, anak tiri, dan anak adopsi. “Saya ingin berpesan, agar pemerintah membuat undang-undang untuk anak yang mampu melindungi mereka dari perbuatan kekerasan,” sebut Irna.

Irna menilai, sejauh ini, kekerasan pada anak tidak terlalu berkorelasi dengan pendidikan orangtua. Soalnya, banyak orang berpendidikan S2 dan S3, juga memperlakukan anak dengan kasar.

“Ini bisa jadi karena faktor budaya dan bisa jadi warisan dari orangtua sebelumnya yang memperlakukan anaknya dengan kasar, sehingga, anak menjadi terwarisi kekasaran dan membuat hal serupa,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Parlindungan Purba mengaku, acara itu digelar setelah melihat anak yang ditangani Irna Minauli dalam kasus kekerasan seksual belum lama ini. Dia melihat, pentingnya pemahaman orangtua tentang bagaimana cara mendidik anak yang baik. Harapannya, anak yang menjadi generasi penerus bangsa ini bisa menjadi lebih baik lagi.

“Kita mulai dari keluarga kita masing-masing. Saya usulkan agar Forwakes membentuk kelompok keluarga bahagia (KKB). Nanti, kita fasilitasi agar KKB ini berkumpul tiap bulan untuk mendapat pencerahan dari psikolog bagaimana menjadi orangtua yang baik,” tutur Parlindungan Purba.
Dalam forum diskusi itu, juga diusulkan agar pemerintah lebih memperhatikan anak termasuk dari sisi jaminan anak untuk mendapatkan penanganan psikologis secara baik. Penanganan kesehatan psikologis anak ini diharapkan bisa menjadi komprehensif dalam jaminan kesehatan masyarakat. “Soalnya, kesehatan itu tidak saja secara fisik tapi juga psikis,” tambah Ivan Elisabet Purba.
Dalam kesempatan yang sama, keluarga besar Sari Mutiara juga menggelar berbuka puasa bersama diisi dengan cerama agama serta menyantuni puluhan anak yatim. (uma)

MEDAN-Psikolog Drs Irna Minauli MPSi mengatakan ada lima kekerasan yang sering dialami anak. Yakni mulai dari kekerasan fisik, emosional (verbal), kekerasan seksualn pengabaian dan terpaparnya anak dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan orangtua.

“Bentuk pengabaian terhadap hak-hak anak, juga bagian dari kekerasan pada anak. Begitu juga, orangtua yang sedang bertengkar di depan anak, juga bentuk kekerasan bagi anak,”ungkap Irna Minauli dalam diskusi yang diselenggarakan keluarga besar Yayasan Sarimutiara Medan di kampus STIKes Sari Mutiara dan bekerjasama dengan Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes) Sumatera Utara,  Senin (6/8).
Irna juga mengharapkan para orangtua untuk tidak memperlakukan anak dengan kasar.

Pasalnya, prilaku kasar kepada anak akan membentuk tumbuh kembang psikis anak menjadi kurang baik.
“Mencubit anak saja sebenarnya tidak boleh,” ucapnya.

iskusi tersebut juga diikuti anggota DPD RI asal Sumut Parlindungan Purba SH MM, dan Ketua STIKes Sarimutiara Medan, Dr Ivan Elisabet Purba, serta sejumlah dosen Sari Mutiara.

Selama ini, sebut Irna, banyak masyarakat yang menilai jika kekerasan sering dianggap sebagai salah satu bentuk penerapan pendidikan kedisiplinan pada anak.

Akan tetapi justru sebaliknya kekerasan dapat membagun prilaku anak yang kerap lebih bandal dibanding sebelumnya.

“Apapun alasannya, secara psikologis tidak dibenarkan. Karena, kekerasan itu akan membuat anak malah tambah nakal,” tegasnya.
Irna menilai, para orangtua sering melakukan pelampiasan kemarahannya pada anak. Mulai dari bentuknya ejekan, perbandingan, memberikan label negatif pada anak hingga kekerasan fisik dan seksual.

Kekerasan seksual, lanjutnya, akan membentuk emosional anak terganggu. Anak akan mengalami trauma yang berkepanjangan.
“Anak bisa saja mengalami mimpi buruk berkepanjangan. Dia bisa takut bertemu orang asing, apalagi tindakan kekerasan seksual sering dibarengi dengan pengancaman yang membuat anak takut melihat orang asing,” sebutnya.

Dia menyontohkan, salah seorang anak korban sodomi yang dibawa Forwakes belum lama ini ke klinik psikologi Biro Persona miliknya.
“Selama seminggu anak itu masih takut melihat laki-laki. Bahkan, diberi mainan laki-laki saja, tidak disentuhnya. Jadi, proses penyembuhan traumanya panjang, bisa memakan waktu hingga enam bulan,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, bentuk pengabaian juga bagian dari kekerasan. Pengabaian bisa terjadi soal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
“Orangtua sering terlalu sibuk, sehingga anak diserahkan begitu saja kepada pembantu. Termasuk anak jalanan, juga bagian dari pengabaian,” jelas Irna lagi.

Malah, lanjutnya, belakangan ini ada tren baru bentuk kekerasan anak. Di mana orangtua yang mengalami sindrom tertentu.

“Para orangtua kerap membawa anak ke dokter untuk pemeriksaan kesehatannya, padahal, anak itu sendiri sebenarnya tidak sakit,” ujarnya.
Menurutnya, kebanyakan anak yang rentan mengalami kekerasan mulai dari satu hingga tiga tahun. Anak yang berkebutuhan khusus, anak panti, anak tiri, dan anak adopsi. “Saya ingin berpesan, agar pemerintah membuat undang-undang untuk anak yang mampu melindungi mereka dari perbuatan kekerasan,” sebut Irna.

Irna menilai, sejauh ini, kekerasan pada anak tidak terlalu berkorelasi dengan pendidikan orangtua. Soalnya, banyak orang berpendidikan S2 dan S3, juga memperlakukan anak dengan kasar.

“Ini bisa jadi karena faktor budaya dan bisa jadi warisan dari orangtua sebelumnya yang memperlakukan anaknya dengan kasar, sehingga, anak menjadi terwarisi kekasaran dan membuat hal serupa,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Parlindungan Purba mengaku, acara itu digelar setelah melihat anak yang ditangani Irna Minauli dalam kasus kekerasan seksual belum lama ini. Dia melihat, pentingnya pemahaman orangtua tentang bagaimana cara mendidik anak yang baik. Harapannya, anak yang menjadi generasi penerus bangsa ini bisa menjadi lebih baik lagi.

“Kita mulai dari keluarga kita masing-masing. Saya usulkan agar Forwakes membentuk kelompok keluarga bahagia (KKB). Nanti, kita fasilitasi agar KKB ini berkumpul tiap bulan untuk mendapat pencerahan dari psikolog bagaimana menjadi orangtua yang baik,” tutur Parlindungan Purba.
Dalam forum diskusi itu, juga diusulkan agar pemerintah lebih memperhatikan anak termasuk dari sisi jaminan anak untuk mendapatkan penanganan psikologis secara baik. Penanganan kesehatan psikologis anak ini diharapkan bisa menjadi komprehensif dalam jaminan kesehatan masyarakat. “Soalnya, kesehatan itu tidak saja secara fisik tapi juga psikis,” tambah Ivan Elisabet Purba.
Dalam kesempatan yang sama, keluarga besar Sari Mutiara juga menggelar berbuka puasa bersama diisi dengan cerama agama serta menyantuni puluhan anak yatim. (uma)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/