29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Menunggu Ibu Pulang

Cerpen  T Agus Khaidir

SEPI sekali. Rumah kosong. Ibunya belum pulang juga. Padahal tadi, usai menjemputnya dari sekolah, ibu bilang hanya akan pergi sebentar. Ah, Mira, gadis cilik 11 tahun itu menghentakkan kakinya dengan kesal. Kenapa tadi tak bertanya ibunya kemana, tujuannya apa, perginya sama siapa. Ia benar-benar lupa karena terlanjur senang mendengar ibunya berjanji membawakan Kurma Ajwa untuk buka puasa.

Kurma Ajwa, iya, bagaimana Mira bisa lupa. Setahun lalu di acara berbuka puasa bersama di sekolahnya, Mira untuk kali pertama mencicipi kurma itu. Memang lezat tiada berperi. Dagingnya tebal, lemak, tapi tidak enek lantaran sedikit berair. Dua butir cukuplah untuk menawarkan lapar yang tadinya begitu merongrong. Konon, pohon-pohon Kurma Ajwa yang ada sekarang merupakan turunan pohon kurma yang ditanam sendiri oleh Rasulullah.
Mira melirik jam di dinding ruang keluarga. Pukul lima empat puluh menit. Cahaya meredup, berubah dingin seiring gerimis yang mendadak turun tanpa didahului gertak. Ibunya belum juga pulang. Kemana, sih? Sambil tersungut-sungut Mira menghempaskan diri ke sofa, lalu menyetel televisi.

Serangkaian acara komedi dan sinetron religi. Mira mengenal pemeran-pemerannya, bintang-bintang tamunya. Yang biasa-biasa juga. Hanya saja kali ini mereka tak berpenampilan seperti biasa. Mereka kali ini berkerudung berbaju kurung, serta berbicara dan bertingkah laku agak lebih sopan. Memuakkan!

Di saluran lain berita korupsi, isu SARA Pilkada, gosip artis, musik-musik jiplakan dari Korea, debat-debat kusir yang entah kapan berkesudahan, ceramah agama dari ustaz-ustaz yang ganteng maupun yang suka melucu. Kenapa tak ada kartun? Huh! Benar-benar memuakkan. Mira mematikan lagi televisi itu. Kemana, sih, ibu? Ia menghela nafas. Diliriknya jam dinding. Lima menit menuju pukul enam. Mira melangkah ke halaman, membuka pagar, melongok ke ujung jalan. Ah, sebenarnya bukan jalan. Barangkali lebih cocok disebut gang. Lebarnya tak sampai dua meter, hanya cukup dilalui satu mobil kecil atau dua sepeda motor berpapasan. Tak ada lapisan aspal. Hanya conblock motif segi enam yang dipasang tak terlalu rapi.

Di ujung jalan yang lebih menyerupai gang inilah angkot yang ditumpangi ibunya biasa berhenti. Mira sudah hafal benar bagaimana adegan selanjutnya berlangsung. Ibunya turun dari angkot itu dengan gerakan setengah melompat, lantas tergesa merogoh kantung roknya atau celana panjangnya atau blousenya, mengambil uang, kemudian menyodorkannya pada supir lewat jendela sebelah penumpang. Ibunya selalu memenyediakan uang pas untuk membayar ongkos angkot sejak tasnya disambar pejambret persis di tempat yang sama. Waktu itu, mereka baru satu minggu pindah ke kompleks ini, kompleks perumahan murah yang dalam beberapa tahun belakangan muncul sebagai trend bisnis properti. Selain jalannya yang sempit, rumah-rumah di kompleks ini diberdirikan hanya atas dua tipe, 36 dan 45. Tanpa dapur, tanpa halaman, dan sudah tentu tanpa pagar. Jika menginginkan, pemilik harus membangunnya sendiri. Begitupun, Mira kerap diajak ibunya bersyukur. Bukan cuma karena letaknya yang masih berada di kawasan inti kota, sehingga cukup dekat kemana-mana, tapi lebih pada kenyataaan betapa di luar sana banyak orang bahkan tak punya rumah sama sekali.
Dua tahun lalu, rumah ini dibeli ibunya dengan cara mencicil. Bagiannya dari pembagian harta gono-gini setelah bercerai dengan ayahnya, dijadikan ibunya sebagai uang muka.

Hari-hari dalam dua tahun berlalu cepat bagi Mira. Ia pindah sekolah, mendapat teman-teman baru yang tak kalah menyenangkan. Tapi semua keceriaannya sirna kala Ramadan tiba,  dan itu membuatnya makin benci pada ayahnya. Benci, kesal, tapi sekaligus rindu. Betapa berat menjalani puasa tanpa ayahnya. Sekarang tak ada lagi yang membangunkannya saat sahur. Tak ada lagi yang menggendongnya dari tempat tidur ke meja makan, menyendokkan nasi dan lauk ke piringnya, membimbingnya melafazkan niat puasa. Aku berniat puasa esok hari menunaikan kewajiban Ramadan tahun ini karena Allah Ta’ala. Sebenarnya lafaz ini sudah lama ia hafal luar kepala. Tapi entah kenapa, Mira suka membayangkan ayahnya menyangka ia tak bisa.

“Kenapa kau di luar, Mira? Masuklah, sebentar lagi berbuka. Apa bukaan apa kalian hari ini?” seorang perempuan tua melintas bernaung payung. Di tangannya bungkusan plastik, barangkali panganan berbuka. Mira kenal betul padanya. Tetangga berselang dua rumah. Dia baik dan ramah, dan punya dua cucu yang umurnya sebaya Mira, teman sepermainannya yang paling akrab di kompleks ini.
“Belum tahu, Nek.”

Perempuan itu menghentikan langkah. “Tak masak rupanya ibumu?”
“Ibu belum pulang.”

“Kemana ibumu? Tantemu di rumah, kan?”
“Tidak tahu, Nek. Tadi katanya pergi sebentar. Tante juga belum pulang.”
“Mau ke tempat nenek saja. Bukaan sama-sama Amel dan Lia. Iya?”
Mira menggeleng. “Tak usahlah, Nek. Mungkin sebentar lagi ibu pulang.”
Iya, mungkin sebentar lagi. Perempuan itu berlalu sembari berpesan, pintu rumahnya tidak dikunci jika Mira berubah pikiran. Langsung masuk saja, katanya. Mira mengangguk, tersenyum. Setelah perempuan itu menghilang di balik pagar, ia melongok lagi ke ujung jalan.

Tetap tak ada angkot berhenti. Rumah-rumah tetangga di kiri kanan tutup. Serentak Mira merasakan dirinya sangat sendiri. Tante Mia, adik bungsu ibunya yang sejak tiga bulan lalu tinggal bersama mereka, tadi pagi-pagi sudah bilang ada acara buka puasa dengan kawan-kawan sekampusnya. Sepi sekali. Nun dari masjid kompleks terdengar lantunan ayat-ayat suci. Syahdu. Dan Mira, makin merasakan rindu itu. Mengapa ibunya begitu keras hati? Padahal ayahnya sudah setengah mati minta maaf, bahkan sampai minta ampun segala, sampai mencium kaki ibunya sembari berjanji meninggalkan perempuan sialan itu. Mengapa ibunya membatu, lalu lancang pula menjatuhkan keputusan sendiri tanpa bertanya apapun pada dirinya? Apakah karena ia dianggap masih terlalu kecil untuk mengerti soal perceraian? Padahal Mira sangat mengerti. Ia tidak ingin mereka bercerai. Ia ingin tetap punya ayah dan ibu yang tinggal serumah seperti teman-temannya. Ia tak ingin seperti Awang.

Tapi Mira tak protes. Ia menurut saja saat dibawa ibunya pergi. Dari rumah besar berpagar gedong, ada kolam ikan cantik di sudut halaman yang dinaungi pohon mangga Arum Manis, ia pindah ke rumah sempit ini. Mira diam-diam sering merindukan rumahnya yang lama, merindukan ikan-ikan dan mangga Arum Manis itu. Tapi ia memang lebih rindu pada ayahnya. Sudah dua Ramadan tidak ada lagi acara jalan-jalan sore mencari panganan berbuka. Sudah dua Ramadan ia merindukan saat-saat mereka makan Sate Padang sepulang Tarawih. Tak peduli di restoran atau emperan kaki lima, mereka selalu makan bertiga. Sungguh mesra. Mira benar-benar tak habis mengerti, kemesraan seperti ini masih juga bisa membuat ayahnya membagi rasa cinta pada perempuan lain. Terlalu! Apa, sih, yang kurang dari ibunya? Dia cuma sedikit cerewet, sedikit suka merajuk, tapi dia baik. Cantik pula tentunya. Senyumnya manis sekali, dan dia pintar memasak, pandai menjahit, juga pandai menyanyi.

Tante Mia, adik bungsu ibunya, kira-kira seminggu lalu membawa kabar mengejutkan. Sekarang dia kembali ke pacar lamanya. Kakak tahu pacarnya? Lelaki tua yang wajahnya jauh lebih buruk dari Bang Zainuddin. Tapi walau buruk, lelaki yang disebut Tante Mia sebagai pacar perempuan itu lebih kaya dari ayahnya. Selama ini rupanya dia salah sangka, Kak. Rasain!
Mira tak terlalu paham kalimat Tante Mia. Namun ia kira kesimpulannya tak meleset jauh. Sekarang ayahnya dan perempuan sialan itu tak lagi bersama. Harusnya ini jadi kabar baik. Nyatanya tidak. Mira tahu ayahnya pernah beberapa kali menelepon dan ibunya menerima dengan sikap sangat ketus. Kenapa bara dendam harus dipelihara? Tapi Mira tak yakin juga ibunya membenci ayahnya sedalam itu. Ia pernah memergoki, usai bercakap dengan ayahnya, ibunya menangis sesengukan. Lalu kenapa tidak menerima saja ayahnya kembali?

Tante Mia bilang, persoalannya tak sederhana. Rumit, Mira. Serumit apa? Ini soal prinsip. Kau masih terlalu kecil untuk mengerti.
Inilah! Orang-orang dewasa selalu menganggap anak-anak kecil tak tahu apa-apa perihal persoalan mereka. Terlalu menganggap remeh. Prinsip? Huh! Semenjak Awang membikin heboh satu sekolah lantaran dikabarkan menggetok kepala seorang lelaki dengan martil, ia telah berkenalan dengan kata itu.

Awang teman Mira di sekolahnya yang lama. Ia masuk di awal tahun ajaran kelas III. Meski duduk di bangku yang letaknya bersisian, mereka jarang bicara. Mira suka mengobrol (bahkan di dalam kelas hingga sering ditegur guru), tapi Awang, bocah berambut keriting kriwil panjang sebahu yang saban hari diantar pakai Alphard ke sekolah, itu pendiam sekali. Pada jam istirahat ia lebih sering di  kelas. Menggambar atau membaca komik yang dibawanya dari rumah. Sesekali keluar kelas, Awang tetap memilih menyendiri. Ia selalu duduk di sudut lapangan bola, di atas gundukan tanah yang oleh Mira dan kawan-kawannya selalu diandaikan sebagai gunung. Dari sana ia menonton anak-anak lain main bola sambil menikmati bekalnya.

Mengapa Awang bisa berbuat senekat itu? Mira mendapat jawabannya seminggu kemudian, setelah –lagi-lagi– Awang membikin heboh. Ia hilang. Lebih tepatnya, menghilang. Berjam-jam dicari tak kunjung ketemu. Wali kelas, guru-guru, kepala sekolah, bahkan pemilik sekolah, ikut  repot menelepon ke sana kemari. Seluruh orang tua siswa kelas III ditanyai apakah Awang ada di rumah mereka. Hasilnya nihil. Ibu Awang menangis. Lelaki yang datang bersamanya menyarankan untuk melapor polisi. Siapa tahu diculik orang. Lelaki itu perlente sekali. Kemejanya lincin, berdasi, tapi ada perban di kepalanya.

Setelah ibunya dan lelaki perlente itu pergi ke kantor polisi, Awang tiba-tiba muncul. Rupanya ia bersembunyi di antara rerimbunan batang tebu yang tumbuh liar di balik gundukan tanah dekat lapangan bola itu. Mira yang belum dijemput, duduk menemani Awang yang menangis di dalam kelas. Aku tak mau satu mobil dengan laki-laki itu. Kalimat inu berkali-kali ia teriakkan dengan nada makin histeris, hingga kepala sekolah menyerah dan memerintahkan wali kelas mengantar Awang pulang. Mira bertanya kenapa Awang begitu keras kepala. Awang, untuk pertama kalinya, tersenyum pada Mira. Ini soal prinsip, Mira. Kau tak akan mengerti. Kau punya ibu dan ayah. Aku tidak lagi. Karena laki-laki itu ayahku pergi. Mungkin lain kali aku harus buat perhitungan yang lebih serius dari sekadar menggetok kepalanya.

Dering telepon memutus lamunan Mira. Ia berlari ke ruang tengah. Siapa tahu ibunya.
“Halo!”

Ternyata Tante Mia. Mengabarkan ia bakal pulang lebih lama dari rencana semula. “Tante ke mal sebentar, ada kawan minta ditemenin beli baju buat lebaran. Bilang sama ibumu, ya, Mir. Dah…”
Bahkan Tante Mia tak menanyakan ibunya sudah pulang atau belum. Tapi, eh, Mira baru sadar, Tante Mia memang tak tahu ibunya pergi. Ini seperti rencana mendadak. Ia sendiri baru tahu tadi siang.
Gontai Mira melangkah ke dapur. Membuat teh manis. Dibukanya kulkas, ada pudding coklat sisa semalam. Jadilah, daripada tidak ada yang dikunyah. Azan Magrib terdengar saat Mira meletakkan pudding di meja makan. Bertepatan itu, dari depan terdengar suara derap kaki. Disusul suara yang ia rindukan sejak tadi.

“Mira, maaf ibu telat, nak. Tadi jalanan macet. Ini ibu bawakan Pizza.”
Lho, kok, Pizza? Bukan Kurma Ajwa?

Mira menghambur ke depan, siap mencecar rajuk. Tapi langkahnya mendadak terhenti. Ibunya tak datang sendiri. Seorang lelaki berdiri di sisi pintu. Lelaki itu tersenyum padanya.
“Oh, iya, ini Oom Sam. Kalian belum saling kenal, kan? Suruh masuk, dong. Magrib begini nggak baik berdiri di depan pintu. Nanti bisa kesambet setan, lho. Nanti…”
Ibunya terus mengoceh. Mira tak mendengarkannya lagi. Lelaki yang disebut ibunya Oom Sam memamerkan senyum makin lebar. Tapi Mira justru membayangkan wajah Awang.  Wajah yang juga bersenyum dan tangannya erat menggenggam martil.

Medan, 5 Agustus 2012

Cerpen  T Agus Khaidir

SEPI sekali. Rumah kosong. Ibunya belum pulang juga. Padahal tadi, usai menjemputnya dari sekolah, ibu bilang hanya akan pergi sebentar. Ah, Mira, gadis cilik 11 tahun itu menghentakkan kakinya dengan kesal. Kenapa tadi tak bertanya ibunya kemana, tujuannya apa, perginya sama siapa. Ia benar-benar lupa karena terlanjur senang mendengar ibunya berjanji membawakan Kurma Ajwa untuk buka puasa.

Kurma Ajwa, iya, bagaimana Mira bisa lupa. Setahun lalu di acara berbuka puasa bersama di sekolahnya, Mira untuk kali pertama mencicipi kurma itu. Memang lezat tiada berperi. Dagingnya tebal, lemak, tapi tidak enek lantaran sedikit berair. Dua butir cukuplah untuk menawarkan lapar yang tadinya begitu merongrong. Konon, pohon-pohon Kurma Ajwa yang ada sekarang merupakan turunan pohon kurma yang ditanam sendiri oleh Rasulullah.
Mira melirik jam di dinding ruang keluarga. Pukul lima empat puluh menit. Cahaya meredup, berubah dingin seiring gerimis yang mendadak turun tanpa didahului gertak. Ibunya belum juga pulang. Kemana, sih? Sambil tersungut-sungut Mira menghempaskan diri ke sofa, lalu menyetel televisi.

Serangkaian acara komedi dan sinetron religi. Mira mengenal pemeran-pemerannya, bintang-bintang tamunya. Yang biasa-biasa juga. Hanya saja kali ini mereka tak berpenampilan seperti biasa. Mereka kali ini berkerudung berbaju kurung, serta berbicara dan bertingkah laku agak lebih sopan. Memuakkan!

Di saluran lain berita korupsi, isu SARA Pilkada, gosip artis, musik-musik jiplakan dari Korea, debat-debat kusir yang entah kapan berkesudahan, ceramah agama dari ustaz-ustaz yang ganteng maupun yang suka melucu. Kenapa tak ada kartun? Huh! Benar-benar memuakkan. Mira mematikan lagi televisi itu. Kemana, sih, ibu? Ia menghela nafas. Diliriknya jam dinding. Lima menit menuju pukul enam. Mira melangkah ke halaman, membuka pagar, melongok ke ujung jalan. Ah, sebenarnya bukan jalan. Barangkali lebih cocok disebut gang. Lebarnya tak sampai dua meter, hanya cukup dilalui satu mobil kecil atau dua sepeda motor berpapasan. Tak ada lapisan aspal. Hanya conblock motif segi enam yang dipasang tak terlalu rapi.

Di ujung jalan yang lebih menyerupai gang inilah angkot yang ditumpangi ibunya biasa berhenti. Mira sudah hafal benar bagaimana adegan selanjutnya berlangsung. Ibunya turun dari angkot itu dengan gerakan setengah melompat, lantas tergesa merogoh kantung roknya atau celana panjangnya atau blousenya, mengambil uang, kemudian menyodorkannya pada supir lewat jendela sebelah penumpang. Ibunya selalu memenyediakan uang pas untuk membayar ongkos angkot sejak tasnya disambar pejambret persis di tempat yang sama. Waktu itu, mereka baru satu minggu pindah ke kompleks ini, kompleks perumahan murah yang dalam beberapa tahun belakangan muncul sebagai trend bisnis properti. Selain jalannya yang sempit, rumah-rumah di kompleks ini diberdirikan hanya atas dua tipe, 36 dan 45. Tanpa dapur, tanpa halaman, dan sudah tentu tanpa pagar. Jika menginginkan, pemilik harus membangunnya sendiri. Begitupun, Mira kerap diajak ibunya bersyukur. Bukan cuma karena letaknya yang masih berada di kawasan inti kota, sehingga cukup dekat kemana-mana, tapi lebih pada kenyataaan betapa di luar sana banyak orang bahkan tak punya rumah sama sekali.
Dua tahun lalu, rumah ini dibeli ibunya dengan cara mencicil. Bagiannya dari pembagian harta gono-gini setelah bercerai dengan ayahnya, dijadikan ibunya sebagai uang muka.

Hari-hari dalam dua tahun berlalu cepat bagi Mira. Ia pindah sekolah, mendapat teman-teman baru yang tak kalah menyenangkan. Tapi semua keceriaannya sirna kala Ramadan tiba,  dan itu membuatnya makin benci pada ayahnya. Benci, kesal, tapi sekaligus rindu. Betapa berat menjalani puasa tanpa ayahnya. Sekarang tak ada lagi yang membangunkannya saat sahur. Tak ada lagi yang menggendongnya dari tempat tidur ke meja makan, menyendokkan nasi dan lauk ke piringnya, membimbingnya melafazkan niat puasa. Aku berniat puasa esok hari menunaikan kewajiban Ramadan tahun ini karena Allah Ta’ala. Sebenarnya lafaz ini sudah lama ia hafal luar kepala. Tapi entah kenapa, Mira suka membayangkan ayahnya menyangka ia tak bisa.

“Kenapa kau di luar, Mira? Masuklah, sebentar lagi berbuka. Apa bukaan apa kalian hari ini?” seorang perempuan tua melintas bernaung payung. Di tangannya bungkusan plastik, barangkali panganan berbuka. Mira kenal betul padanya. Tetangga berselang dua rumah. Dia baik dan ramah, dan punya dua cucu yang umurnya sebaya Mira, teman sepermainannya yang paling akrab di kompleks ini.
“Belum tahu, Nek.”

Perempuan itu menghentikan langkah. “Tak masak rupanya ibumu?”
“Ibu belum pulang.”

“Kemana ibumu? Tantemu di rumah, kan?”
“Tidak tahu, Nek. Tadi katanya pergi sebentar. Tante juga belum pulang.”
“Mau ke tempat nenek saja. Bukaan sama-sama Amel dan Lia. Iya?”
Mira menggeleng. “Tak usahlah, Nek. Mungkin sebentar lagi ibu pulang.”
Iya, mungkin sebentar lagi. Perempuan itu berlalu sembari berpesan, pintu rumahnya tidak dikunci jika Mira berubah pikiran. Langsung masuk saja, katanya. Mira mengangguk, tersenyum. Setelah perempuan itu menghilang di balik pagar, ia melongok lagi ke ujung jalan.

Tetap tak ada angkot berhenti. Rumah-rumah tetangga di kiri kanan tutup. Serentak Mira merasakan dirinya sangat sendiri. Tante Mia, adik bungsu ibunya yang sejak tiga bulan lalu tinggal bersama mereka, tadi pagi-pagi sudah bilang ada acara buka puasa dengan kawan-kawan sekampusnya. Sepi sekali. Nun dari masjid kompleks terdengar lantunan ayat-ayat suci. Syahdu. Dan Mira, makin merasakan rindu itu. Mengapa ibunya begitu keras hati? Padahal ayahnya sudah setengah mati minta maaf, bahkan sampai minta ampun segala, sampai mencium kaki ibunya sembari berjanji meninggalkan perempuan sialan itu. Mengapa ibunya membatu, lalu lancang pula menjatuhkan keputusan sendiri tanpa bertanya apapun pada dirinya? Apakah karena ia dianggap masih terlalu kecil untuk mengerti soal perceraian? Padahal Mira sangat mengerti. Ia tidak ingin mereka bercerai. Ia ingin tetap punya ayah dan ibu yang tinggal serumah seperti teman-temannya. Ia tak ingin seperti Awang.

Tapi Mira tak protes. Ia menurut saja saat dibawa ibunya pergi. Dari rumah besar berpagar gedong, ada kolam ikan cantik di sudut halaman yang dinaungi pohon mangga Arum Manis, ia pindah ke rumah sempit ini. Mira diam-diam sering merindukan rumahnya yang lama, merindukan ikan-ikan dan mangga Arum Manis itu. Tapi ia memang lebih rindu pada ayahnya. Sudah dua Ramadan tidak ada lagi acara jalan-jalan sore mencari panganan berbuka. Sudah dua Ramadan ia merindukan saat-saat mereka makan Sate Padang sepulang Tarawih. Tak peduli di restoran atau emperan kaki lima, mereka selalu makan bertiga. Sungguh mesra. Mira benar-benar tak habis mengerti, kemesraan seperti ini masih juga bisa membuat ayahnya membagi rasa cinta pada perempuan lain. Terlalu! Apa, sih, yang kurang dari ibunya? Dia cuma sedikit cerewet, sedikit suka merajuk, tapi dia baik. Cantik pula tentunya. Senyumnya manis sekali, dan dia pintar memasak, pandai menjahit, juga pandai menyanyi.

Tante Mia, adik bungsu ibunya, kira-kira seminggu lalu membawa kabar mengejutkan. Sekarang dia kembali ke pacar lamanya. Kakak tahu pacarnya? Lelaki tua yang wajahnya jauh lebih buruk dari Bang Zainuddin. Tapi walau buruk, lelaki yang disebut Tante Mia sebagai pacar perempuan itu lebih kaya dari ayahnya. Selama ini rupanya dia salah sangka, Kak. Rasain!
Mira tak terlalu paham kalimat Tante Mia. Namun ia kira kesimpulannya tak meleset jauh. Sekarang ayahnya dan perempuan sialan itu tak lagi bersama. Harusnya ini jadi kabar baik. Nyatanya tidak. Mira tahu ayahnya pernah beberapa kali menelepon dan ibunya menerima dengan sikap sangat ketus. Kenapa bara dendam harus dipelihara? Tapi Mira tak yakin juga ibunya membenci ayahnya sedalam itu. Ia pernah memergoki, usai bercakap dengan ayahnya, ibunya menangis sesengukan. Lalu kenapa tidak menerima saja ayahnya kembali?

Tante Mia bilang, persoalannya tak sederhana. Rumit, Mira. Serumit apa? Ini soal prinsip. Kau masih terlalu kecil untuk mengerti.
Inilah! Orang-orang dewasa selalu menganggap anak-anak kecil tak tahu apa-apa perihal persoalan mereka. Terlalu menganggap remeh. Prinsip? Huh! Semenjak Awang membikin heboh satu sekolah lantaran dikabarkan menggetok kepala seorang lelaki dengan martil, ia telah berkenalan dengan kata itu.

Awang teman Mira di sekolahnya yang lama. Ia masuk di awal tahun ajaran kelas III. Meski duduk di bangku yang letaknya bersisian, mereka jarang bicara. Mira suka mengobrol (bahkan di dalam kelas hingga sering ditegur guru), tapi Awang, bocah berambut keriting kriwil panjang sebahu yang saban hari diantar pakai Alphard ke sekolah, itu pendiam sekali. Pada jam istirahat ia lebih sering di  kelas. Menggambar atau membaca komik yang dibawanya dari rumah. Sesekali keluar kelas, Awang tetap memilih menyendiri. Ia selalu duduk di sudut lapangan bola, di atas gundukan tanah yang oleh Mira dan kawan-kawannya selalu diandaikan sebagai gunung. Dari sana ia menonton anak-anak lain main bola sambil menikmati bekalnya.

Mengapa Awang bisa berbuat senekat itu? Mira mendapat jawabannya seminggu kemudian, setelah –lagi-lagi– Awang membikin heboh. Ia hilang. Lebih tepatnya, menghilang. Berjam-jam dicari tak kunjung ketemu. Wali kelas, guru-guru, kepala sekolah, bahkan pemilik sekolah, ikut  repot menelepon ke sana kemari. Seluruh orang tua siswa kelas III ditanyai apakah Awang ada di rumah mereka. Hasilnya nihil. Ibu Awang menangis. Lelaki yang datang bersamanya menyarankan untuk melapor polisi. Siapa tahu diculik orang. Lelaki itu perlente sekali. Kemejanya lincin, berdasi, tapi ada perban di kepalanya.

Setelah ibunya dan lelaki perlente itu pergi ke kantor polisi, Awang tiba-tiba muncul. Rupanya ia bersembunyi di antara rerimbunan batang tebu yang tumbuh liar di balik gundukan tanah dekat lapangan bola itu. Mira yang belum dijemput, duduk menemani Awang yang menangis di dalam kelas. Aku tak mau satu mobil dengan laki-laki itu. Kalimat inu berkali-kali ia teriakkan dengan nada makin histeris, hingga kepala sekolah menyerah dan memerintahkan wali kelas mengantar Awang pulang. Mira bertanya kenapa Awang begitu keras kepala. Awang, untuk pertama kalinya, tersenyum pada Mira. Ini soal prinsip, Mira. Kau tak akan mengerti. Kau punya ibu dan ayah. Aku tidak lagi. Karena laki-laki itu ayahku pergi. Mungkin lain kali aku harus buat perhitungan yang lebih serius dari sekadar menggetok kepalanya.

Dering telepon memutus lamunan Mira. Ia berlari ke ruang tengah. Siapa tahu ibunya.
“Halo!”

Ternyata Tante Mia. Mengabarkan ia bakal pulang lebih lama dari rencana semula. “Tante ke mal sebentar, ada kawan minta ditemenin beli baju buat lebaran. Bilang sama ibumu, ya, Mir. Dah…”
Bahkan Tante Mia tak menanyakan ibunya sudah pulang atau belum. Tapi, eh, Mira baru sadar, Tante Mia memang tak tahu ibunya pergi. Ini seperti rencana mendadak. Ia sendiri baru tahu tadi siang.
Gontai Mira melangkah ke dapur. Membuat teh manis. Dibukanya kulkas, ada pudding coklat sisa semalam. Jadilah, daripada tidak ada yang dikunyah. Azan Magrib terdengar saat Mira meletakkan pudding di meja makan. Bertepatan itu, dari depan terdengar suara derap kaki. Disusul suara yang ia rindukan sejak tadi.

“Mira, maaf ibu telat, nak. Tadi jalanan macet. Ini ibu bawakan Pizza.”
Lho, kok, Pizza? Bukan Kurma Ajwa?

Mira menghambur ke depan, siap mencecar rajuk. Tapi langkahnya mendadak terhenti. Ibunya tak datang sendiri. Seorang lelaki berdiri di sisi pintu. Lelaki itu tersenyum padanya.
“Oh, iya, ini Oom Sam. Kalian belum saling kenal, kan? Suruh masuk, dong. Magrib begini nggak baik berdiri di depan pintu. Nanti bisa kesambet setan, lho. Nanti…”
Ibunya terus mengoceh. Mira tak mendengarkannya lagi. Lelaki yang disebut ibunya Oom Sam memamerkan senyum makin lebar. Tapi Mira justru membayangkan wajah Awang.  Wajah yang juga bersenyum dan tangannya erat menggenggam martil.

Medan, 5 Agustus 2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/