32 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Warung Umi

Cerpen Ronald Tarakindo Rajagukguk

Takbir berkumandang.  Sorak menyorai memecah malam. Suara-suara kemenangan itu tak henti mengajak kita menyuarakan hal yang sama. Terdengar setahun sekali, tapi menggetarkan roma-roma yang ada. Tak sedikit para pembeli nasi goreng ini mengikuti kemudian dengan suara setengah cempreng dia bertakbir.

da juga yang sedikit berjoged mendengar bedug bertalu-talu. Suara knalpot kereta bersahabat sahut menyahut. Terkadang suaranya seperti monyet kepanasan. Terkadang seperti kerbau meronta-ronta.  Ada yang seperti suara kambing merepet. Memekak telinga. Mereka menutup telinga kemudian melontarkan sumpah serapah. Umi tetap saja menggoreng nasinya. Menggoyang goyang sudipnya. Dengan ligat menekan nasinya sambil mencapur kecap dan bumbu racikan. Warung menyesak. Pembeli semakin melungap. Belum siap yang satu pergi, yang satu lagi muncul. Walaupun ada juga yang tak sabar kemudian pulang.  Raya kedua tahun ini, kelaparan. Mungkin lontong sudah habis di kulkas atau tak ada lagi yang membuat lontong. Mereka berhamburan ke jalan-jalan mencari makan.

Semua senyum. Semua bertegur sapa. Mereka bersalam-salaman. Saling maaf-memaafkan. Dari yang kenal sampai memang yang betul-betul sahabat. Umi melempar senyum sesekali melihat mereka berpelukan. Antrian semakin panjang. Aroma bawang semakin menyengat. Hiruk pikuk suara pembeli terlempar-lempar. Keringat umi bercucuran. Dia bekerja sendirian. Satu karyawannya tak datang. Karyawan yang lainpun tak bisa diharapkan.

Jangankan memasak, menghidangkan nasipun gemetaran. Namanya karyawan cadangan. Kerjaannya pun ikut-ikutan cadangan. Kini, butir nasi kembali berjatuhan. Acar bawang berserakan. Umi mempanik. Seluruh pembeli seperti menyuruhnya cepat menyiapkan pesanan. Bahkan ada yang kembali lagi memprotes telur ceploknya  belum dimasukkan. Kerupuknya belum dimasukkan. Plastik asoinya koyak. Umi tak lagi menampakkan senyumnya. Repetannya kian panjang menerkam sang karyawan. Alhasil, laki-laki itu merajuk. Kemudian pulang. Umi semakin sumringah. Mau dibantingkan saja sudipnya. “Eh, anak setan jangan kau pijakkan lagi kakimu di sini yah.” sambil terus menggoreng nasinya. Mereka menjadi ketakutan. Umi berubah menjadi setan seketika. Tanduknya seperti keluar dari kepala. Buntutnya mengibas-ngibas kompor gas. Mereka tak berisik lagi. Tertib. Aman. Adil dan makmur.

Malam berjalan pelan. Waktu seperti habis di tempat gorengan. Satu persatu makanan siap. Satu persatu pembeli menjauh pergi. Rombongan keluarga semakin minipis. Pasangan-pasangan mulai berdatangan. Mereka menunggu takbiran memalam. Tak masalah mendapat antrian paling belakang. Televisi mulai dihidupkan. Volumenya keras. Guyonan acara komedi menjadi penghibur. Umi pun tertawa. Lawakan demi lawakan mengisi kekosongan menemani telur-telur dadar yang akan dikocok kemudian digoreng. Suara blender mendesing-desing. Tak sedikit yang memesan jus. Jus pokat menjadi pilihan favorit. Sangat disayangkan karyawan itu pulang. Seharusnya dia yang menyiapkan. Pesanan menjadi lambat disiapkan. Mereka tak protes. Mereka justru semakin menikmati malam. Satu ceret air putih habis. Kemungkinan ceret yang lain pun akan bernasib sama. Mereka terus tertawa. Umi santai. Pembelinya kali ini tak membuatnya jadi setan. Umi kelihatan seperti malaikat. Sayapnya mengepak tinggi di samping penggorengan.

Kembang api mulai berterbangan. Variasi warnanya menghiasai awan. Percikan-percikan apinya menutup sepi. Mereka menghambur ke jalan melihat penampakan-penampakan. Kereta-kereta berhentian. Anak-anak kecil kegirangan. Mamaknya pun ikut kegirangan. Ledakan mercon menambah suasana malam. Jantung-jantung berkelidutan. Perang dunia kedua tinggal menunggu giliran. Suara-suara mercon kini bertabrakan. Silih berganti sepanjang jalan. Tak satupun orang menindak situasi. Mereka justru menikmatinya. Bau mesiu terasa menyengat hidung. Aroma bawang terkalahkan. Bumbu mie aceh tak tercium lagi. Ledakan demi ledakan mengerang-ngerang. Mercon kini di tengah jalan. Mengganggu hilir mudik kereta. Mereka jadi tak berani melanjutkan jalan. Sebagian ada yang turun lalu memparkirkan kereta. Ada yang ikut-ikutan meledakkan mercon membalas perlakuan mercon sebelumnya. Keadaan semakin runyam. Pemuda itu tak terima dikagetkan. Seorang remaja menjadi korban. Bogem mentah melesak ke rahang. Jalan merapat. Kawan-kawannya berdatangan. Namun, tak sempat. Umi langsung menyeret sudipnya ke tengah keramaian. “Cabut kalian semua. Inilah akibatnya bermain mercon sembarangan. Ribut lagi kalian, kupenjarakan kalian semua !” berkata dengan kepala memerah. Umi kembali menjadi setan. Urat-urat di kepalanya keluar. Pemuda-pemuda itu terdiam. Kata-kata Umi menentramkan keadaan. Jalanan mulai terbuka. Orang orang merenggang. Klakson-klakson bertaburan. Seperti disulap. Keadaan kembali normal. Gerombolan mercon menghilang bersama suara-suaranya.

Umi kembali menggoreng nasinya. Mencampur daun sop ke dalam periuk. Menambah  sedikit garam, kemudian meratakan kecap. Pembeli menatap tajam. Tak ada yang berani bertanya. Mereka hanya melihat Umi menyiapkan makanan. Acara lawak menjadi tak lucu. Semua orang hanya memperhatikan Umi. Mereka terheran-heran. Wanita menghentikan perang. Semua penasaran tapi semua ketakutan. Rambut kribonya menambah seram. Kelihatan seperti pembunuh bayaran. Mereka langsung membuang muka ketika Umi menoleh. Mereka tak sanggup melihat matanya. Meraka tak ingin melihat wajahnya. Mereka seperti diawasi tapi tak ada yang mengawasi. Apakah sudip itu akan melayang ? Pesanan pelan-pelan siap. Mereka pergi dengan pertanyaan-pertanyaan. Pembeli tak bertambah. Antrian tetap panjang. Tujuh orang dalam daftar tunggu. Pesanan mereka tak tanggung-tanggung. Sepuluh bungkus nasi goreng, tiga ayam penyet, lima ifu mie goreng, dan ada yang memesan lima belas mihun goreng. Masakan Umi memang terkenal lumayan enak. Latar belakang orang padang menjadi alasan. Di tambah kaldu yang dimilikinya tak ada di warung yang lain.

Umi senior disini. Termasuk penjual angkatan lama. Dulu jalanan sentosa baru ini merupakan tempat grosiran kebutuhan rumah tangga. Kini menjadi tempat makanan malam. Kios-kios makan bertambah tiap tahunnya. Penjual pun berganti-ganti setiap tahunnya. Walaupun tak sedikit yang bertahan. Wanita satu ini merupakan wanita yang gigih. Sejak ditinggal suaminya, dia semakin giat bekerja menghidupi kedua anaknya. Kedua anaknya bukan merupakan anak kandung. Mereka tak lain anak kakaknya. Kakaknya berkursikan roda sekarang. Tak sanggup lagi mencari uang. Maka dia yang merasa bertanggung jawab untuk anak itu. Sedangkan lakinya pergi entah kemana. Sekarang kedua anaknya berhasil bekerja di bank sebagai teller dan bagian administrasi. Waktu mudanya, beliau menghabiskan hidup bekerja dengan orang lain. Sebagai cleaning service, koki, penjaga gudang, penghitung stok barang, penjaja rokok, dan penyuplai barang kebutuhan rumah tangga. Semenjak kepergian suaminya, dia tak menutup diri untuk mencari suami baru. Namun, pedihnya cinta berkata lain. Dia selalu disakiti pasangannya. Sulit mencari pasangan yang tepat buatnya. Hiburan malam sempat menjadi pelampiasannya. Penjara pernah menjadi tempat tinggalnya walaupun hanya tiga bulan. Gaduh-gaduh dengan tetangga menjadi sarapan baginya. Wataknya yang keras membuatnya sulit mendapatkan teman. Lama kelamaan orang menganggapnya bajingan. Tapi justru itu yang membuatnya tersenyum. Mereka tak pernah menyenggolnya. Apalagi mencari masalah. Umi menjadi tempat menyelesaikan masalah. Dia dianggap sebagai guru. Dia menjadi orang yang sangat dihormati.

Orang-orang seperti mendapatkan jawaban. Warung-warung lain menceritakan kisah wanita itu. Umi menjadi topik hangat malam ini. Mereka rela membeli martabak telor di tempat lain hanya untuk mendapatkan jawaban. Penjual itu seperti ketiban rezeki juga. Dia memasak sambil bercerita juga melebai-lebaikan cerita. Di tempat lain mengatakan Umi belum menikah. Masih perawan. Warung Mak Yong mengatakan Umilah yang membunuh suaminya. Cerita bertabrakan sana sini. Menjadi rancu. Orang tak ambil pusing. Meraka dapat cerita, mereka pulang dengan tenang. Cerita Umi berlalu seketika. Orang kembal ke rumah. Warung Umi masih banyak dihinggapi pengunjung. Mereka doyan berlama-lama di sana. Televisi besar menjadi penghibur. Tempat yang lapang menjadi pilihan.

“Eh Kodok ! mampos kau. Tolong tolong !” dari arah warung Umi. Semua orang melihat. Semua orang tertawa. Ternyata Umi takut kodok.  Wanita setangguh itu dikalahkan kodok. Ternyata dia masih perempuan. Di balik keseramannya masih tersimpan kemanusiaannya. Kodok itu menari-nari di dalam warung sambil melototi Umi. Badannya gumpal. Lendirnya lengket di meja-meja. Tak ada satu pengunjungpun berusaha untuk mengeluarkan kodok. Mereka senang menyaksikan latahnya Umi.  Mereka senang melihat Umi berjingkrak-jingkrak. Wanita-wanita pasangan merekapun ikut-ikutan berjingkrak. Warung seketika menajdi tempat sirkus. Kodok peran utamanya. Oi, mak jang kodok itu kencing. Umi menjadi berang bercampur ketakutan. Diambilnya sapu. Dipukulkan kodok itu tapi tak kena. Dia melompat cepat berpindah arah. Sesekali dia menghampiri Umi. Umipun terlatah-latah dan menjatuhkan sapunya.  Pemuda yang berani akhirnya muncul. Mengejar kodok itu menggunakan kertas plastik putih. Sulit memang tapi dapat. Mereka tertawa girang. “Sini ku goreng, biar tidak mengganggu kita lagi .” kata Umi sambil mengarakan sudipnya ke arah kodok. Orang-orang semakin cengengesan. Umi melawak. Suasana mencair. Orang-orang berdatangan. Teriakan-teriakan mereka terdengar jelas. Membuat penasaran. membuat orang ingin melihat. Umi melanjutkan membungkus makanan. Pesanan terbanyakpun siap. Tapi yang punya justru belum mau berangkat. Diam masih ingin berlama-lama di sini. Umi tak kuatir. Jsutru dia mengkuatirkan makanannya. Kalau dingin makanan menjadi kurang enak. Umi tak ambil pusing yang penting dia bayar.

Semakin malam pembeli semakin berhamburan. Kini bertambah lagi. Umi tak dikasih kesempatan istirahat. Pesanan mereka tak ada yang satu bungkus. Rata-rata lebih dari dua. Belum lagi jus yang harus diblender. Rasanya ingin menutup warung jika rela rugi. Mau tak mau harus melanjutkan jualan. Umi kuatir jika mereka tak sabar. Sama seperti tadi. Rasanya seperti dikuntit dan dibuntutui diam-diam. Menjadi tak tenang dan canggung. Umi takut makanan menjadi tak enak. Semua dilakukan buru-buru. Warung lainpun merasakan hal yang sama. Pengungjung tak henti henti datang. Hanya saja mereka bekerja tiga sampai empat orang. Sedikit ringan. Beda dengan Umi yang harus mengerjakan semua sendirian. Pengamen masuk ke dalam.

Dua pemuda urak-urakan masuk. Satu rambutnya kuning. Satu rambutnya biru. Tindik dimana-mana. Celana jeans bolong di lutut. Baju kensi tanpa lengan. Tak membawa gitar. Alat musik hanya terbuat dari kayu, paku dan tutup botol. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Orang-orang menunggu lagu dilantunkan. Mereka bukan bernyanyi tapi terus berpidato. Perlahan cekericikan itu dipukul. Nadanya tak teratur. Pukulan tak tepat. Terkadang cepat terkadang lambat. Mungkin itu dinamika lagu atau ide mereka. Pengunjung menunggu. Sampai akhirnya satu tembang didendangkan. Lagu Opick, tombok ati. Pengungjung tertawa. Ada yang menahan tawa. Pemuda berangasan membawakan lagu rohani. Suara mereka tak begitu sumbang. Mereka salah memilih lagi. Lagu mereka tak sesuai penampilan. Umi terrawa paling keras. Tawanya mengisi warung. Pengamen terus bernyanyi. Mereka tak peduli. Menghabiskan setengah lagu. Kawannya mulai meminta duit. Duit ribuan mengisi kotak uang mereka. Mereka mendapatkan uang banyak. Semua memberikan duit. Nasib mereka bagus. Mereka berfikir lagu ini yang membawa berkah. Mata mereka berkaca sambil mengucapkan terima kasih. Pengamen berlalu dengan lambaian tangan. Pengungjung terhibur. Orang gila semakin ramai sekarang.

Semakin malam semakin dingin. Orang-orang mulai menyepi. Lima motor trail terparkir. Mereka masuk ke warung memakai helm. Langkah kaki mereka terdengar jelas. Seluruh perhatian berubah haluan. Pengunjung yang lain berpulangan. Mereka tiba-tiba tak betah lagi berlama-lama di warung. Percakapan nanti tak enak. Tv dimatikan. Suasana berubah menjadi tegang. Umi terus menggoreng nasinya tak memperhatikan siapa yang masuk. Warung menjadi senyap. Hanya lima orang berbaju gelap yang mengeluarkan suara. Senjata laras panjang terparkir di dinding. Pistol tergeletak di atas meja. Umi mendatangi kemudian menanyakan pesanan. Umi tak kelihatan ketakutan. Sepertinya mereka baru saja siap bertugas. Mereka kelelahan dan kelaparan. Minuman semuanya dingin. Dua meja disatukan. Sebagian kursi digunakan untuk tempat helm. Lambat laun warung hanya berisikan mereka. Umi dikawani lima angkatan bersenjata. Mereka tertawa. Mereka bercanda gurau. Tempat ini menjadi milik mereka. Terkadang Umi nyeleneh dan masuk ke dalam percakapan mereka. Ceret air putih kandas. Umi harus mengisinya kembali. Namun, air putih habis. Tak sempat untuk memasak. Umi pergi keluar dan membeli galon isi ulang. Mereka menjaga warung selama Umi pergi. Umi percaya dengan mereka.

Satu pembeli datang. Umi tak ada. Lima orang tadi tak menghiraukan pembeli yang datang. Mereka hanya mengatakan penjualnya tak ada. Namun, pembeli ini tak pergi. Dia seperti ingin melakukan sesuatu. Kotak penyimpanan uang Umi terbuka. Mata pembeli ini menghijau. Tumpukan uang itu bersinar-sinar. Tanpa pikir panjang dia mengambilnya. Lima pemuda tak memperhatikan pembeli sedang mengosongkan brankas. Mereka terus saja mengobrol. Mereka tak sadar sekarang sedang terjadi perampokan. Pembeli itu menghilang. Lima menit kemudian Umi kembali membawa dua galon air putih. Lokasi air galon dengan kedai memang cukup dekat. jadi, Umi cepat sampai kembali kemari. Naasnya, Umi melihat isi brankas. Umi mengambil pisau besarnya kemudian mendatangi lima pemuda itu. “Kelen kalo merampok jangan di sini. Mana uangku ! Mana !!” sambil menodongkan pisau di satu kepala mereka. Mereka kebingungan. Mereka baru sadar Umi kerampokan. Mereka menelan ludah dalam-dalam. Hanya mereka di warung. Mereka menjelaskan. Umi bukannya semakin tenang. Dia justru menghantamkan pisaunya mengenai salah satu di antara mereka. Umi akan melaporkan mereka semua. Umi mengancam mereka semua akan dipecat. Surat kabar akan memuat kasus ini. Brimob-Brimob ini menjadi ketakutan. Mereka melemah. Mereka akan mengganti rugi. Seketika Umi menenang. Mereka patungan mengeluarkan uang. Dua juta terkumpul. Mereka memberikannya pada Umi. Mereka tak ingin masalah ini berlarut-larut. Walaupun mereka seperti terjebak dalam situasi yang merugikan. Mereka berusaha akan menangkap pelaku. Mereka masih ingat jelas wajah pembeli itu. Mereka hanya ingin Umi tak mebahas-bahas hal ini. Anehnya, orang –orang tak ada yang berdatangan. Mereka kelelahan seharian nonstop pembeli. Kejadian besar ini menjadi rahasia. Mereka sepakat menutup kasus ini. Umi berjanji menjaganya rapat-rapat. Lima Brimob tadi berlalu dengan senyuman. Umi melambaikan tangannya.

Umi merapikan warung. Sebentar lagi akan tutup. Hari ini sudah lumayan banyak hasilnya. Walaupun uang ganti rugi. Tapi itu sepadan dengan yang didapatkan hari ini. Tiba-tiba, Ivan anak laki-lakinya datang bersama yayan. Mata Yayan membiru. Ivan mempergoki Yayan sedang menghitung-hitung uang. Yayan pengangguran. Itu menambah kecurigaan Ivan dan kawan-kawannya. Mereka  menginterogasi Yayan. Awalnya Yayan tak mau mengaku. Harus dengan jalan kekerasan. Mereka menghajarnya bergantian. Yayan mau mengaku. Dia akan mengembalikan uang itu tapi takut dimarahin Umi. Di depan Umi, Ivan menokokkan tinjunya sesekali. Umi justru melerai. Umi menyuruh anaknya untuk tak lagi memukul Yayan. Yayan menangis meminta maaf. Orang-orang berdatangan. Mereka berhambur ke dalam warung melihat Yayan menangis. Umi seperti pahlawan di situ. Dia tak akan membawa Yayan ke kantor. Dia hanya menyuruh Yayan jangan melakukannya lagi. Yayan mencium kaki Umi. Dia merasa terselamatkan. Umi sadar Yayan sudah sering membantunya berjualan di sini. Umi sadar untuk tak usah memperpanjang masalah. Umi memberikan pelajaran berharga buat semua orang. Ivan kagum melihat mamaknya. Ivan menyerahkan uang mamaknya dalam keadaan utuh. Kali ini, lembaran ribuan dan puluhan sudah teratur. Yayan seperti membantu merapikan uang. Mereka pulang. Orang-orang tak lagi berkerumunan. Umi kembali ditinggal sendirian. Umi menutup toko. Dalam benaknya dia berkata. Kasian sekali nasib lima Brimob tadi. Tapi apa mau di kata. Mereka yang berkata harus menyimpan ini dalam-dalam. Umi merasa ketiban rezeki ganda. Sambil menatap sduipnya dia berkata “Ini rahasia, cukup kau dan aku saja yang tau yah.” Senyum kecilnya menghiasi malam. (*)

Cerpen Ronald Tarakindo Rajagukguk

Takbir berkumandang.  Sorak menyorai memecah malam. Suara-suara kemenangan itu tak henti mengajak kita menyuarakan hal yang sama. Terdengar setahun sekali, tapi menggetarkan roma-roma yang ada. Tak sedikit para pembeli nasi goreng ini mengikuti kemudian dengan suara setengah cempreng dia bertakbir.

da juga yang sedikit berjoged mendengar bedug bertalu-talu. Suara knalpot kereta bersahabat sahut menyahut. Terkadang suaranya seperti monyet kepanasan. Terkadang seperti kerbau meronta-ronta.  Ada yang seperti suara kambing merepet. Memekak telinga. Mereka menutup telinga kemudian melontarkan sumpah serapah. Umi tetap saja menggoreng nasinya. Menggoyang goyang sudipnya. Dengan ligat menekan nasinya sambil mencapur kecap dan bumbu racikan. Warung menyesak. Pembeli semakin melungap. Belum siap yang satu pergi, yang satu lagi muncul. Walaupun ada juga yang tak sabar kemudian pulang.  Raya kedua tahun ini, kelaparan. Mungkin lontong sudah habis di kulkas atau tak ada lagi yang membuat lontong. Mereka berhamburan ke jalan-jalan mencari makan.

Semua senyum. Semua bertegur sapa. Mereka bersalam-salaman. Saling maaf-memaafkan. Dari yang kenal sampai memang yang betul-betul sahabat. Umi melempar senyum sesekali melihat mereka berpelukan. Antrian semakin panjang. Aroma bawang semakin menyengat. Hiruk pikuk suara pembeli terlempar-lempar. Keringat umi bercucuran. Dia bekerja sendirian. Satu karyawannya tak datang. Karyawan yang lainpun tak bisa diharapkan.

Jangankan memasak, menghidangkan nasipun gemetaran. Namanya karyawan cadangan. Kerjaannya pun ikut-ikutan cadangan. Kini, butir nasi kembali berjatuhan. Acar bawang berserakan. Umi mempanik. Seluruh pembeli seperti menyuruhnya cepat menyiapkan pesanan. Bahkan ada yang kembali lagi memprotes telur ceploknya  belum dimasukkan. Kerupuknya belum dimasukkan. Plastik asoinya koyak. Umi tak lagi menampakkan senyumnya. Repetannya kian panjang menerkam sang karyawan. Alhasil, laki-laki itu merajuk. Kemudian pulang. Umi semakin sumringah. Mau dibantingkan saja sudipnya. “Eh, anak setan jangan kau pijakkan lagi kakimu di sini yah.” sambil terus menggoreng nasinya. Mereka menjadi ketakutan. Umi berubah menjadi setan seketika. Tanduknya seperti keluar dari kepala. Buntutnya mengibas-ngibas kompor gas. Mereka tak berisik lagi. Tertib. Aman. Adil dan makmur.

Malam berjalan pelan. Waktu seperti habis di tempat gorengan. Satu persatu makanan siap. Satu persatu pembeli menjauh pergi. Rombongan keluarga semakin minipis. Pasangan-pasangan mulai berdatangan. Mereka menunggu takbiran memalam. Tak masalah mendapat antrian paling belakang. Televisi mulai dihidupkan. Volumenya keras. Guyonan acara komedi menjadi penghibur. Umi pun tertawa. Lawakan demi lawakan mengisi kekosongan menemani telur-telur dadar yang akan dikocok kemudian digoreng. Suara blender mendesing-desing. Tak sedikit yang memesan jus. Jus pokat menjadi pilihan favorit. Sangat disayangkan karyawan itu pulang. Seharusnya dia yang menyiapkan. Pesanan menjadi lambat disiapkan. Mereka tak protes. Mereka justru semakin menikmati malam. Satu ceret air putih habis. Kemungkinan ceret yang lain pun akan bernasib sama. Mereka terus tertawa. Umi santai. Pembelinya kali ini tak membuatnya jadi setan. Umi kelihatan seperti malaikat. Sayapnya mengepak tinggi di samping penggorengan.

Kembang api mulai berterbangan. Variasi warnanya menghiasai awan. Percikan-percikan apinya menutup sepi. Mereka menghambur ke jalan melihat penampakan-penampakan. Kereta-kereta berhentian. Anak-anak kecil kegirangan. Mamaknya pun ikut kegirangan. Ledakan mercon menambah suasana malam. Jantung-jantung berkelidutan. Perang dunia kedua tinggal menunggu giliran. Suara-suara mercon kini bertabrakan. Silih berganti sepanjang jalan. Tak satupun orang menindak situasi. Mereka justru menikmatinya. Bau mesiu terasa menyengat hidung. Aroma bawang terkalahkan. Bumbu mie aceh tak tercium lagi. Ledakan demi ledakan mengerang-ngerang. Mercon kini di tengah jalan. Mengganggu hilir mudik kereta. Mereka jadi tak berani melanjutkan jalan. Sebagian ada yang turun lalu memparkirkan kereta. Ada yang ikut-ikutan meledakkan mercon membalas perlakuan mercon sebelumnya. Keadaan semakin runyam. Pemuda itu tak terima dikagetkan. Seorang remaja menjadi korban. Bogem mentah melesak ke rahang. Jalan merapat. Kawan-kawannya berdatangan. Namun, tak sempat. Umi langsung menyeret sudipnya ke tengah keramaian. “Cabut kalian semua. Inilah akibatnya bermain mercon sembarangan. Ribut lagi kalian, kupenjarakan kalian semua !” berkata dengan kepala memerah. Umi kembali menjadi setan. Urat-urat di kepalanya keluar. Pemuda-pemuda itu terdiam. Kata-kata Umi menentramkan keadaan. Jalanan mulai terbuka. Orang orang merenggang. Klakson-klakson bertaburan. Seperti disulap. Keadaan kembali normal. Gerombolan mercon menghilang bersama suara-suaranya.

Umi kembali menggoreng nasinya. Mencampur daun sop ke dalam periuk. Menambah  sedikit garam, kemudian meratakan kecap. Pembeli menatap tajam. Tak ada yang berani bertanya. Mereka hanya melihat Umi menyiapkan makanan. Acara lawak menjadi tak lucu. Semua orang hanya memperhatikan Umi. Mereka terheran-heran. Wanita menghentikan perang. Semua penasaran tapi semua ketakutan. Rambut kribonya menambah seram. Kelihatan seperti pembunuh bayaran. Mereka langsung membuang muka ketika Umi menoleh. Mereka tak sanggup melihat matanya. Meraka tak ingin melihat wajahnya. Mereka seperti diawasi tapi tak ada yang mengawasi. Apakah sudip itu akan melayang ? Pesanan pelan-pelan siap. Mereka pergi dengan pertanyaan-pertanyaan. Pembeli tak bertambah. Antrian tetap panjang. Tujuh orang dalam daftar tunggu. Pesanan mereka tak tanggung-tanggung. Sepuluh bungkus nasi goreng, tiga ayam penyet, lima ifu mie goreng, dan ada yang memesan lima belas mihun goreng. Masakan Umi memang terkenal lumayan enak. Latar belakang orang padang menjadi alasan. Di tambah kaldu yang dimilikinya tak ada di warung yang lain.

Umi senior disini. Termasuk penjual angkatan lama. Dulu jalanan sentosa baru ini merupakan tempat grosiran kebutuhan rumah tangga. Kini menjadi tempat makanan malam. Kios-kios makan bertambah tiap tahunnya. Penjual pun berganti-ganti setiap tahunnya. Walaupun tak sedikit yang bertahan. Wanita satu ini merupakan wanita yang gigih. Sejak ditinggal suaminya, dia semakin giat bekerja menghidupi kedua anaknya. Kedua anaknya bukan merupakan anak kandung. Mereka tak lain anak kakaknya. Kakaknya berkursikan roda sekarang. Tak sanggup lagi mencari uang. Maka dia yang merasa bertanggung jawab untuk anak itu. Sedangkan lakinya pergi entah kemana. Sekarang kedua anaknya berhasil bekerja di bank sebagai teller dan bagian administrasi. Waktu mudanya, beliau menghabiskan hidup bekerja dengan orang lain. Sebagai cleaning service, koki, penjaga gudang, penghitung stok barang, penjaja rokok, dan penyuplai barang kebutuhan rumah tangga. Semenjak kepergian suaminya, dia tak menutup diri untuk mencari suami baru. Namun, pedihnya cinta berkata lain. Dia selalu disakiti pasangannya. Sulit mencari pasangan yang tepat buatnya. Hiburan malam sempat menjadi pelampiasannya. Penjara pernah menjadi tempat tinggalnya walaupun hanya tiga bulan. Gaduh-gaduh dengan tetangga menjadi sarapan baginya. Wataknya yang keras membuatnya sulit mendapatkan teman. Lama kelamaan orang menganggapnya bajingan. Tapi justru itu yang membuatnya tersenyum. Mereka tak pernah menyenggolnya. Apalagi mencari masalah. Umi menjadi tempat menyelesaikan masalah. Dia dianggap sebagai guru. Dia menjadi orang yang sangat dihormati.

Orang-orang seperti mendapatkan jawaban. Warung-warung lain menceritakan kisah wanita itu. Umi menjadi topik hangat malam ini. Mereka rela membeli martabak telor di tempat lain hanya untuk mendapatkan jawaban. Penjual itu seperti ketiban rezeki juga. Dia memasak sambil bercerita juga melebai-lebaikan cerita. Di tempat lain mengatakan Umi belum menikah. Masih perawan. Warung Mak Yong mengatakan Umilah yang membunuh suaminya. Cerita bertabrakan sana sini. Menjadi rancu. Orang tak ambil pusing. Meraka dapat cerita, mereka pulang dengan tenang. Cerita Umi berlalu seketika. Orang kembal ke rumah. Warung Umi masih banyak dihinggapi pengunjung. Mereka doyan berlama-lama di sana. Televisi besar menjadi penghibur. Tempat yang lapang menjadi pilihan.

“Eh Kodok ! mampos kau. Tolong tolong !” dari arah warung Umi. Semua orang melihat. Semua orang tertawa. Ternyata Umi takut kodok.  Wanita setangguh itu dikalahkan kodok. Ternyata dia masih perempuan. Di balik keseramannya masih tersimpan kemanusiaannya. Kodok itu menari-nari di dalam warung sambil melototi Umi. Badannya gumpal. Lendirnya lengket di meja-meja. Tak ada satu pengunjungpun berusaha untuk mengeluarkan kodok. Mereka senang menyaksikan latahnya Umi.  Mereka senang melihat Umi berjingkrak-jingkrak. Wanita-wanita pasangan merekapun ikut-ikutan berjingkrak. Warung seketika menajdi tempat sirkus. Kodok peran utamanya. Oi, mak jang kodok itu kencing. Umi menjadi berang bercampur ketakutan. Diambilnya sapu. Dipukulkan kodok itu tapi tak kena. Dia melompat cepat berpindah arah. Sesekali dia menghampiri Umi. Umipun terlatah-latah dan menjatuhkan sapunya.  Pemuda yang berani akhirnya muncul. Mengejar kodok itu menggunakan kertas plastik putih. Sulit memang tapi dapat. Mereka tertawa girang. “Sini ku goreng, biar tidak mengganggu kita lagi .” kata Umi sambil mengarakan sudipnya ke arah kodok. Orang-orang semakin cengengesan. Umi melawak. Suasana mencair. Orang-orang berdatangan. Teriakan-teriakan mereka terdengar jelas. Membuat penasaran. membuat orang ingin melihat. Umi melanjutkan membungkus makanan. Pesanan terbanyakpun siap. Tapi yang punya justru belum mau berangkat. Diam masih ingin berlama-lama di sini. Umi tak kuatir. Jsutru dia mengkuatirkan makanannya. Kalau dingin makanan menjadi kurang enak. Umi tak ambil pusing yang penting dia bayar.

Semakin malam pembeli semakin berhamburan. Kini bertambah lagi. Umi tak dikasih kesempatan istirahat. Pesanan mereka tak ada yang satu bungkus. Rata-rata lebih dari dua. Belum lagi jus yang harus diblender. Rasanya ingin menutup warung jika rela rugi. Mau tak mau harus melanjutkan jualan. Umi kuatir jika mereka tak sabar. Sama seperti tadi. Rasanya seperti dikuntit dan dibuntutui diam-diam. Menjadi tak tenang dan canggung. Umi takut makanan menjadi tak enak. Semua dilakukan buru-buru. Warung lainpun merasakan hal yang sama. Pengungjung tak henti henti datang. Hanya saja mereka bekerja tiga sampai empat orang. Sedikit ringan. Beda dengan Umi yang harus mengerjakan semua sendirian. Pengamen masuk ke dalam.

Dua pemuda urak-urakan masuk. Satu rambutnya kuning. Satu rambutnya biru. Tindik dimana-mana. Celana jeans bolong di lutut. Baju kensi tanpa lengan. Tak membawa gitar. Alat musik hanya terbuat dari kayu, paku dan tutup botol. Mereka menjadi pusat perhatian sekarang. Orang-orang menunggu lagu dilantunkan. Mereka bukan bernyanyi tapi terus berpidato. Perlahan cekericikan itu dipukul. Nadanya tak teratur. Pukulan tak tepat. Terkadang cepat terkadang lambat. Mungkin itu dinamika lagu atau ide mereka. Pengunjung menunggu. Sampai akhirnya satu tembang didendangkan. Lagu Opick, tombok ati. Pengungjung tertawa. Ada yang menahan tawa. Pemuda berangasan membawakan lagu rohani. Suara mereka tak begitu sumbang. Mereka salah memilih lagi. Lagu mereka tak sesuai penampilan. Umi terrawa paling keras. Tawanya mengisi warung. Pengamen terus bernyanyi. Mereka tak peduli. Menghabiskan setengah lagu. Kawannya mulai meminta duit. Duit ribuan mengisi kotak uang mereka. Mereka mendapatkan uang banyak. Semua memberikan duit. Nasib mereka bagus. Mereka berfikir lagu ini yang membawa berkah. Mata mereka berkaca sambil mengucapkan terima kasih. Pengamen berlalu dengan lambaian tangan. Pengungjung terhibur. Orang gila semakin ramai sekarang.

Semakin malam semakin dingin. Orang-orang mulai menyepi. Lima motor trail terparkir. Mereka masuk ke warung memakai helm. Langkah kaki mereka terdengar jelas. Seluruh perhatian berubah haluan. Pengunjung yang lain berpulangan. Mereka tiba-tiba tak betah lagi berlama-lama di warung. Percakapan nanti tak enak. Tv dimatikan. Suasana berubah menjadi tegang. Umi terus menggoreng nasinya tak memperhatikan siapa yang masuk. Warung menjadi senyap. Hanya lima orang berbaju gelap yang mengeluarkan suara. Senjata laras panjang terparkir di dinding. Pistol tergeletak di atas meja. Umi mendatangi kemudian menanyakan pesanan. Umi tak kelihatan ketakutan. Sepertinya mereka baru saja siap bertugas. Mereka kelelahan dan kelaparan. Minuman semuanya dingin. Dua meja disatukan. Sebagian kursi digunakan untuk tempat helm. Lambat laun warung hanya berisikan mereka. Umi dikawani lima angkatan bersenjata. Mereka tertawa. Mereka bercanda gurau. Tempat ini menjadi milik mereka. Terkadang Umi nyeleneh dan masuk ke dalam percakapan mereka. Ceret air putih kandas. Umi harus mengisinya kembali. Namun, air putih habis. Tak sempat untuk memasak. Umi pergi keluar dan membeli galon isi ulang. Mereka menjaga warung selama Umi pergi. Umi percaya dengan mereka.

Satu pembeli datang. Umi tak ada. Lima orang tadi tak menghiraukan pembeli yang datang. Mereka hanya mengatakan penjualnya tak ada. Namun, pembeli ini tak pergi. Dia seperti ingin melakukan sesuatu. Kotak penyimpanan uang Umi terbuka. Mata pembeli ini menghijau. Tumpukan uang itu bersinar-sinar. Tanpa pikir panjang dia mengambilnya. Lima pemuda tak memperhatikan pembeli sedang mengosongkan brankas. Mereka terus saja mengobrol. Mereka tak sadar sekarang sedang terjadi perampokan. Pembeli itu menghilang. Lima menit kemudian Umi kembali membawa dua galon air putih. Lokasi air galon dengan kedai memang cukup dekat. jadi, Umi cepat sampai kembali kemari. Naasnya, Umi melihat isi brankas. Umi mengambil pisau besarnya kemudian mendatangi lima pemuda itu. “Kelen kalo merampok jangan di sini. Mana uangku ! Mana !!” sambil menodongkan pisau di satu kepala mereka. Mereka kebingungan. Mereka baru sadar Umi kerampokan. Mereka menelan ludah dalam-dalam. Hanya mereka di warung. Mereka menjelaskan. Umi bukannya semakin tenang. Dia justru menghantamkan pisaunya mengenai salah satu di antara mereka. Umi akan melaporkan mereka semua. Umi mengancam mereka semua akan dipecat. Surat kabar akan memuat kasus ini. Brimob-Brimob ini menjadi ketakutan. Mereka melemah. Mereka akan mengganti rugi. Seketika Umi menenang. Mereka patungan mengeluarkan uang. Dua juta terkumpul. Mereka memberikannya pada Umi. Mereka tak ingin masalah ini berlarut-larut. Walaupun mereka seperti terjebak dalam situasi yang merugikan. Mereka berusaha akan menangkap pelaku. Mereka masih ingat jelas wajah pembeli itu. Mereka hanya ingin Umi tak mebahas-bahas hal ini. Anehnya, orang –orang tak ada yang berdatangan. Mereka kelelahan seharian nonstop pembeli. Kejadian besar ini menjadi rahasia. Mereka sepakat menutup kasus ini. Umi berjanji menjaganya rapat-rapat. Lima Brimob tadi berlalu dengan senyuman. Umi melambaikan tangannya.

Umi merapikan warung. Sebentar lagi akan tutup. Hari ini sudah lumayan banyak hasilnya. Walaupun uang ganti rugi. Tapi itu sepadan dengan yang didapatkan hari ini. Tiba-tiba, Ivan anak laki-lakinya datang bersama yayan. Mata Yayan membiru. Ivan mempergoki Yayan sedang menghitung-hitung uang. Yayan pengangguran. Itu menambah kecurigaan Ivan dan kawan-kawannya. Mereka  menginterogasi Yayan. Awalnya Yayan tak mau mengaku. Harus dengan jalan kekerasan. Mereka menghajarnya bergantian. Yayan mau mengaku. Dia akan mengembalikan uang itu tapi takut dimarahin Umi. Di depan Umi, Ivan menokokkan tinjunya sesekali. Umi justru melerai. Umi menyuruh anaknya untuk tak lagi memukul Yayan. Yayan menangis meminta maaf. Orang-orang berdatangan. Mereka berhambur ke dalam warung melihat Yayan menangis. Umi seperti pahlawan di situ. Dia tak akan membawa Yayan ke kantor. Dia hanya menyuruh Yayan jangan melakukannya lagi. Yayan mencium kaki Umi. Dia merasa terselamatkan. Umi sadar Yayan sudah sering membantunya berjualan di sini. Umi sadar untuk tak usah memperpanjang masalah. Umi memberikan pelajaran berharga buat semua orang. Ivan kagum melihat mamaknya. Ivan menyerahkan uang mamaknya dalam keadaan utuh. Kali ini, lembaran ribuan dan puluhan sudah teratur. Yayan seperti membantu merapikan uang. Mereka pulang. Orang-orang tak lagi berkerumunan. Umi kembali ditinggal sendirian. Umi menutup toko. Dalam benaknya dia berkata. Kasian sekali nasib lima Brimob tadi. Tapi apa mau di kata. Mereka yang berkata harus menyimpan ini dalam-dalam. Umi merasa ketiban rezeki ganda. Sambil menatap sduipnya dia berkata “Ini rahasia, cukup kau dan aku saja yang tau yah.” Senyum kecilnya menghiasi malam. (*)

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/