29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

DPR Belum Ada Usul, DPD Ajukan Draf Tandingan

Polemik RUU Pilkada, antara Draf Kemendagri dan Parlemen (2/Habis)

Hal lain yang diajukan pemerintah dalam sejumlah poin perubahan UU Pilkada adalah terkait fairness dan independensi incumbent.

Pilkada Dalam draf yang diajukan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk dibahas di DPR, pemerintah mengajukan syarat kepala daerah adalah tidak memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota. Kecuali, ada selang waktu minimal satu kali masa jabatan. ’’Aturan itu baik, tapi itu sangat teknis,’’ kata Dani.

Seharusnya, lanjut dia, pembatasan semacam itu tidak perlu diatur. Hal-hal semacam itu lebih baik diserahkan kepada rakyat pemilih soal etis tidaknya kerabat incumbent maju dalam pilkada. ’’Yang lebih mengkhawatirkan, ini rawan digugat ke MK dan tentu saja rawan kalah,’’ imbuhnya. Sebab, menurut dia, pembatasan tersebut bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpolitik setiap warga negara.

Sebagai gantinya, terang Dani, DPD menawarkan ketentuan cukup fokus kepada incumbent yang ingin maju lagi. Dalam draf tandingannya, DPD mengajukan bahwa incumbent yang maju lagi dalam pemilihan sudah harus mundur dari jabatanya minimal enam bulan sebelum resmi mendaftar sebagai calon kepada KPU. ’’Ini sudah sangat cukup, tidak perlu sampai membatasi hingga keluarga dan kerabat karena itu berkaitan dengan hak politik seseorang,’’ tandasnya.

Sedangkan terkait pemilihan gubernur dan bupati/wali kota yang tidak dilakukan secara berpasangan, draf tandingan yang diajukan DPD selaras dengan draf pemerintah. Yaitu, wakil kepala daerah tidak berada dalam satu paket pemilihan kepala daerah. Wakil kepala daerah cukup dipilih DPRD setempat atas usul beberapa nama yang diajukan kepala daerah terpilih.

DPR sendiri belum memiliki usul yang resmi terkait tanggapan atas draf RUU Pilkada yang diajukan pemerintah. Komisi II DPR setelah menerima draf yang disampaikan menteri dalam negeri hanya menyampaikan pandangan fraksi-fraksi. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, misalnya, tetap berpandangan perlunya pemilihan gubernur dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. ’’Sistem pemilihan langsung tetap yang terbaik,’’ ujar Agus Purnomo, anggota Komisi II DPR dari FPKS.

Menurut Agus, masalah pemborosan anggaran dana pilkada tingkat gubernur bisa diatasi dengan pilkada serentak. Sebab, pelaksanaan secara serentak praktis mengurangi biaya-biaya yang dibutuhkan penyelenggara pemilu dan juga parpol pengusung pasangan calon.

Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja menambahkan, pemilihan oleh DPRD adalah langkah yang mundur. Lebih bagus dilakukan pemilihan langsung. Masalah banyaknya kepala daerah yang tersangkut masalah karena pemilihan langsung dapat diatasi. ’’Karena itu, yang harus diatur adalah batasan-batasan dana kampanye,’’ ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Dengan pembatasan dana kampanye, kata Hakam, orang yang maju tidak harus mengeluarkan anggaran dalam jumlah besar. Itulah yang perlu diatur sedemikian rupa dalam RUU Pilkada. Pembatasan dana kampanye pernah dilakukan dalam pembahasan revisi UU Pemilu, namun gagal terealisasi. ’’Fraksi PAN akan resmi mengajukan pembatasan dana kampanye. Jadi tidak harus berduit, siapa pun bisa maju,’’ tandasnya.

Terpisah, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi, menyatakan partainya mendukung gagasan pilkada serentak seluruh Indonesia.

Ia menilai, pilkada serentak mendorong efisiensi anggaran. Kendati kata dia, usulan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi soal pilkada serentak itu harus dikaji lagi bersama-sama oleh pemerintah dan DPR.

Arwani mengatakan, pilkada itu bisa dilakukan dua tahap dan dua kali dalam lima tahun. Tahap pertama, jelas dia,  pilkada serentak sebelum pileg dan tahap kedua pilkada serentak setelah pileg.

“Masing-masing ditarik ditengah-tengahnya dengan menyesuaikan periodesasi sekarang ini,” katanya, melalui pesan singkat kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (24/8).

Arwani menilai, niat pemerintah untuk membenahi struktur dalam negeri khususnya dalam penyelengaraan Pilkada sudah benar. “Ini sedikitnya akan menjawab keraguan rakyat Indonesia tentang kinerja kepala daerah yang dipilih di daerah masing-masing,” ujarnya.
Sekretaris Fraksi PPP di DPR itu menambahkan, pelaksanaan pilkada serentak akan menjawab terkait efisiensi dan fokus pemerintah dalam persoalan dalam negeri.

Ia menambahkan, jika pilkada serentak direalisasikan maka ini akan memermudah penyelenggaran pilkada di beberapa daerah. “Sehingga tidak terlalu jauh dalam memajukan atau menunda berakhirnya masa jabatan kepala daerah (kada),” ujarnya.(dyn/bay/c4/agm/jpnn)

Polemik RUU Pilkada, antara Draf Kemendagri dan Parlemen (2/Habis)

Hal lain yang diajukan pemerintah dalam sejumlah poin perubahan UU Pilkada adalah terkait fairness dan independensi incumbent.

Pilkada Dalam draf yang diajukan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk dibahas di DPR, pemerintah mengajukan syarat kepala daerah adalah tidak memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota. Kecuali, ada selang waktu minimal satu kali masa jabatan. ’’Aturan itu baik, tapi itu sangat teknis,’’ kata Dani.

Seharusnya, lanjut dia, pembatasan semacam itu tidak perlu diatur. Hal-hal semacam itu lebih baik diserahkan kepada rakyat pemilih soal etis tidaknya kerabat incumbent maju dalam pilkada. ’’Yang lebih mengkhawatirkan, ini rawan digugat ke MK dan tentu saja rawan kalah,’’ imbuhnya. Sebab, menurut dia, pembatasan tersebut bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpolitik setiap warga negara.

Sebagai gantinya, terang Dani, DPD menawarkan ketentuan cukup fokus kepada incumbent yang ingin maju lagi. Dalam draf tandingannya, DPD mengajukan bahwa incumbent yang maju lagi dalam pemilihan sudah harus mundur dari jabatanya minimal enam bulan sebelum resmi mendaftar sebagai calon kepada KPU. ’’Ini sudah sangat cukup, tidak perlu sampai membatasi hingga keluarga dan kerabat karena itu berkaitan dengan hak politik seseorang,’’ tandasnya.

Sedangkan terkait pemilihan gubernur dan bupati/wali kota yang tidak dilakukan secara berpasangan, draf tandingan yang diajukan DPD selaras dengan draf pemerintah. Yaitu, wakil kepala daerah tidak berada dalam satu paket pemilihan kepala daerah. Wakil kepala daerah cukup dipilih DPRD setempat atas usul beberapa nama yang diajukan kepala daerah terpilih.

DPR sendiri belum memiliki usul yang resmi terkait tanggapan atas draf RUU Pilkada yang diajukan pemerintah. Komisi II DPR setelah menerima draf yang disampaikan menteri dalam negeri hanya menyampaikan pandangan fraksi-fraksi. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, misalnya, tetap berpandangan perlunya pemilihan gubernur dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. ’’Sistem pemilihan langsung tetap yang terbaik,’’ ujar Agus Purnomo, anggota Komisi II DPR dari FPKS.

Menurut Agus, masalah pemborosan anggaran dana pilkada tingkat gubernur bisa diatasi dengan pilkada serentak. Sebab, pelaksanaan secara serentak praktis mengurangi biaya-biaya yang dibutuhkan penyelenggara pemilu dan juga parpol pengusung pasangan calon.

Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja menambahkan, pemilihan oleh DPRD adalah langkah yang mundur. Lebih bagus dilakukan pemilihan langsung. Masalah banyaknya kepala daerah yang tersangkut masalah karena pemilihan langsung dapat diatasi. ’’Karena itu, yang harus diatur adalah batasan-batasan dana kampanye,’’ ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Dengan pembatasan dana kampanye, kata Hakam, orang yang maju tidak harus mengeluarkan anggaran dalam jumlah besar. Itulah yang perlu diatur sedemikian rupa dalam RUU Pilkada. Pembatasan dana kampanye pernah dilakukan dalam pembahasan revisi UU Pemilu, namun gagal terealisasi. ’’Fraksi PAN akan resmi mengajukan pembatasan dana kampanye. Jadi tidak harus berduit, siapa pun bisa maju,’’ tandasnya.

Terpisah, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi, menyatakan partainya mendukung gagasan pilkada serentak seluruh Indonesia.

Ia menilai, pilkada serentak mendorong efisiensi anggaran. Kendati kata dia, usulan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi soal pilkada serentak itu harus dikaji lagi bersama-sama oleh pemerintah dan DPR.

Arwani mengatakan, pilkada itu bisa dilakukan dua tahap dan dua kali dalam lima tahun. Tahap pertama, jelas dia,  pilkada serentak sebelum pileg dan tahap kedua pilkada serentak setelah pileg.

“Masing-masing ditarik ditengah-tengahnya dengan menyesuaikan periodesasi sekarang ini,” katanya, melalui pesan singkat kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (24/8).

Arwani menilai, niat pemerintah untuk membenahi struktur dalam negeri khususnya dalam penyelengaraan Pilkada sudah benar. “Ini sedikitnya akan menjawab keraguan rakyat Indonesia tentang kinerja kepala daerah yang dipilih di daerah masing-masing,” ujarnya.
Sekretaris Fraksi PPP di DPR itu menambahkan, pelaksanaan pilkada serentak akan menjawab terkait efisiensi dan fokus pemerintah dalam persoalan dalam negeri.

Ia menambahkan, jika pilkada serentak direalisasikan maka ini akan memermudah penyelenggaran pilkada di beberapa daerah. “Sehingga tidak terlalu jauh dalam memajukan atau menunda berakhirnya masa jabatan kepala daerah (kada),” ujarnya.(dyn/bay/c4/agm/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/