31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Setiap Menghabisi PKI, Saya Simpan Telinganya

Menyebut sosok eksekutor ‘pembersihan’ PKI di Sumut maka Anwar Congo menjadi bintangnya. Apalagi setelah dia menjadi bintang utama sekaligus narasumber dalam film The Act of Killing karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. Film itu pun diputar di Festival Film Internasional Toronto.

Dalam film itu, digambarkan bagaimana Anwar dkk melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota PKI, mulai dari menculik hingga membunuh. Namun, menurut pengakuan Anwar ke beberapa media, dia malah belum menonton film tersebut. Meski begitu, Anwar tak menampik kalau tragedi 1965 adalah nyata. PKI ‘dibersihkan’ karena meresahkan dan telah membunuh dua kader PP dengan keji.

Dan film itu pun mendapat apresiasi negatif dari Ketua MWP PP Sumut Anwar Shah. Pasalnya, film itu tak berimbang dan tidak menceritakan kekecaman PKI terhadap ulama dan dua anggota PP yang menjadi korban.

Dengan latar belakang itu, Sumut Pos berusaha mewancarai tokoh lain selain Anwar Congo. Berbagai informasi pun disaring dari berbagai pihak. Maka, setelah menemukan nama yang bisa dijadikan sumber, hari berikutnya sekitar pukul 09.00 WIB Sumut Pos menuju ke kawasan Perumnas Mandala Medan.
Narasumber kali ini adalah seorang mantan narapidana yang kini berstatus pensiunan sopir di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Dia bernama lengkap Ahmad Duhabi. Di kediaman yang cukup sederhana, tanpa ada sofa dan kursi mentereng di ruang tamu ,dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, pria itu mempersilahkan kami untuk masuk ke kediamannya. Pada kesempatan itu, pria kelahiran 31 Desember 1945 silam tersebut coba mencairkan suasana yang sempat beku dengan menanyakan tujuan kedatangan kami.

Setelah mendengarkan keinginan kami agar mendapatkan kisah pembantaian PKI, raut sendu dan kerutan kulit di dahi begitu jelas terlihat dari wajahnya. Ahmad Duhabi yang dulunya dikenal sebagai Ahmad Banjar mencoba mengingat kembali kisah mudanya yang turut langsung menghabisi belasan hingga puluhan anggota PKI.

Memang tak banyak kenangan yang tersimpan dalam memorinya. Mengingat perjalanan kisah 47 tahun lalu itu sedikit demi sedikit mulai luntur termakan usia. Hanya beberapa hal yang masih tersimpan di memori ingatannya. “Setiap menghabisi para PKI telinganya saya simpan, itu untuk mengetahui berapa PKI yang sudah saya habisi saat itu. Kalau jumlah pastinya saya tidak tahu, tapi setidaknya ada dua toples ukuran besar yang saya gunakan untuk menyimpang telinga anggota PKI itu,” kenang Ahmad.

Bagi Ahmad apa yang dilakukannya ketika itu adalah bentuk loyalitas kepada pimpinan untuk turut mempertahankan kedaulatan tanah air yang dijunjungnya dari pemberontakan. Dia menambahkan,  ‘mengganyang’  PKI lebih sering terjadipascapembunuhan dua anggota PP, Jacop dan Adlin, di Kampung Kolam. Sehingga tak jarang jasad yang tidak bernyawa lagi ditinggal begitu saja atau dikubur di dalam parit. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa nama Kampung Kolam dianggap angker oleh sebahagian masyarakat.

Namun, tak jarang juga lokasi lain dijadikan tempat eksekusi. Sedangkan mayat korban biasanya dibuang di Sungai Ular karena memiliki arus yang cukup deras. “Paling hanya beberapa saja yang dieksekusi di tempat lain tapi saya kurang ingat lokasinya” ungkapnya.

Ahmad pun beralih ke kisah lain. Tepatnya di akhir perjalanan kisahnya mengeksekusi anggota PKI. Saat itu dia mendapatkan misi menghabisi seorang manajer sebuah perusahan besar di Kota Medan yang disebut-sebut sebagai pendana pergerakan PKI.

Bersama beberapa temannya, Ahmad mendatangi kediaman manajer yang berlokasi di Jalan kapten Jumhana atau tepatnya dekat Bioskop Asia (masa dulu).  Tanpa basa-basi Ahmad langsung menghabisi nyawa manajer itu dengan cara menggorok kepalanya. Tak sampai di situ, dengan penuh tanggung jawab, Ahmad menenteng kepala korbannya dan membawa ke kantor polisi yang tak jauh dari lokasi eksekusi.

“Sehabis membunuhnya saya dituntut lima tahun penjara. Beruntungnya  saya tidak harus menghabisi masa tahanan. Karena setelah dua tahun saya dijamin untuk bebas bersyarat oleh Pimpinan TNI (Sarwo Edi),” kenangnya. (*)

Menyebut sosok eksekutor ‘pembersihan’ PKI di Sumut maka Anwar Congo menjadi bintangnya. Apalagi setelah dia menjadi bintang utama sekaligus narasumber dalam film The Act of Killing karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. Film itu pun diputar di Festival Film Internasional Toronto.

Dalam film itu, digambarkan bagaimana Anwar dkk melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota PKI, mulai dari menculik hingga membunuh. Namun, menurut pengakuan Anwar ke beberapa media, dia malah belum menonton film tersebut. Meski begitu, Anwar tak menampik kalau tragedi 1965 adalah nyata. PKI ‘dibersihkan’ karena meresahkan dan telah membunuh dua kader PP dengan keji.

Dan film itu pun mendapat apresiasi negatif dari Ketua MWP PP Sumut Anwar Shah. Pasalnya, film itu tak berimbang dan tidak menceritakan kekecaman PKI terhadap ulama dan dua anggota PP yang menjadi korban.

Dengan latar belakang itu, Sumut Pos berusaha mewancarai tokoh lain selain Anwar Congo. Berbagai informasi pun disaring dari berbagai pihak. Maka, setelah menemukan nama yang bisa dijadikan sumber, hari berikutnya sekitar pukul 09.00 WIB Sumut Pos menuju ke kawasan Perumnas Mandala Medan.
Narasumber kali ini adalah seorang mantan narapidana yang kini berstatus pensiunan sopir di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Dia bernama lengkap Ahmad Duhabi. Di kediaman yang cukup sederhana, tanpa ada sofa dan kursi mentereng di ruang tamu ,dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, pria itu mempersilahkan kami untuk masuk ke kediamannya. Pada kesempatan itu, pria kelahiran 31 Desember 1945 silam tersebut coba mencairkan suasana yang sempat beku dengan menanyakan tujuan kedatangan kami.

Setelah mendengarkan keinginan kami agar mendapatkan kisah pembantaian PKI, raut sendu dan kerutan kulit di dahi begitu jelas terlihat dari wajahnya. Ahmad Duhabi yang dulunya dikenal sebagai Ahmad Banjar mencoba mengingat kembali kisah mudanya yang turut langsung menghabisi belasan hingga puluhan anggota PKI.

Memang tak banyak kenangan yang tersimpan dalam memorinya. Mengingat perjalanan kisah 47 tahun lalu itu sedikit demi sedikit mulai luntur termakan usia. Hanya beberapa hal yang masih tersimpan di memori ingatannya. “Setiap menghabisi para PKI telinganya saya simpan, itu untuk mengetahui berapa PKI yang sudah saya habisi saat itu. Kalau jumlah pastinya saya tidak tahu, tapi setidaknya ada dua toples ukuran besar yang saya gunakan untuk menyimpang telinga anggota PKI itu,” kenang Ahmad.

Bagi Ahmad apa yang dilakukannya ketika itu adalah bentuk loyalitas kepada pimpinan untuk turut mempertahankan kedaulatan tanah air yang dijunjungnya dari pemberontakan. Dia menambahkan,  ‘mengganyang’  PKI lebih sering terjadipascapembunuhan dua anggota PP, Jacop dan Adlin, di Kampung Kolam. Sehingga tak jarang jasad yang tidak bernyawa lagi ditinggal begitu saja atau dikubur di dalam parit. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa nama Kampung Kolam dianggap angker oleh sebahagian masyarakat.

Namun, tak jarang juga lokasi lain dijadikan tempat eksekusi. Sedangkan mayat korban biasanya dibuang di Sungai Ular karena memiliki arus yang cukup deras. “Paling hanya beberapa saja yang dieksekusi di tempat lain tapi saya kurang ingat lokasinya” ungkapnya.

Ahmad pun beralih ke kisah lain. Tepatnya di akhir perjalanan kisahnya mengeksekusi anggota PKI. Saat itu dia mendapatkan misi menghabisi seorang manajer sebuah perusahan besar di Kota Medan yang disebut-sebut sebagai pendana pergerakan PKI.

Bersama beberapa temannya, Ahmad mendatangi kediaman manajer yang berlokasi di Jalan kapten Jumhana atau tepatnya dekat Bioskop Asia (masa dulu).  Tanpa basa-basi Ahmad langsung menghabisi nyawa manajer itu dengan cara menggorok kepalanya. Tak sampai di situ, dengan penuh tanggung jawab, Ahmad menenteng kepala korbannya dan membawa ke kantor polisi yang tak jauh dari lokasi eksekusi.

“Sehabis membunuhnya saya dituntut lima tahun penjara. Beruntungnya  saya tidak harus menghabisi masa tahanan. Karena setelah dua tahun saya dijamin untuk bebas bersyarat oleh Pimpinan TNI (Sarwo Edi),” kenangnya. (*)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/