25.6 C
Medan
Monday, June 3, 2024

PKI Pintar, Media Lebih Dulu Dibungkamnya …

Tragedi 65 Menurut Wartawan Senior Sumut, Muhammad TWH

Bercerita kisah PKI di Wilayah Sumut terlintas sebuah tanya.
Ya, bagimana peran media dalam mengisahkan kisah-kasih pergerakan hingga pengganyangan PKI di Sumut. Untuk mengetahui lebih dalam hal tersebut, kami memilih Muhammad TWH untuk menjadi narasumber.

PENGHARGAAN: Muhammad TWH saat menunjukkan penghargaan bintang penegak pers pancasila.//kesuma ramadhan/sumutpos
PENGHARGAAN: Muhammad TWH saat menunjukkan penghargaan bintang penegak pers pancasila.//kesuma ramadhan/sumutpos

Pria bernama lengkap Muhammad Tok Wan Haria ini dianggap pantas karena dia seorang jurnalis yang telah memiliki pengalaman 36 tahun di Media Mimbar Umum yang dikenal sebagai salah satu media tertua di Kota Medan.
Saat ditemui di kediamannya Jalan Darussalam Gang Persatuan, kemarin sekitar pukul 08.00 WIB, sambutan hangat lewat ungkapan selamat datang menjadi pembuka kedatangan kami. Menurut pengakuan Muhammad TWH, tahun 1965 pers tidak bisa berbuat banyak. Mengingat saat itu media-media besar di Kota Medan sudah diberangus kebebasannya setelah ada kebijakan pemerintah melalui Menteri Penerangan mencabut izin seluruh koran berpengaruh di Kota Medan.

Apa landasan pencabutan izin tersebut? Muhammad TWH mencoba mengulang kisah tersebut dengan membawa referensi buku karyanya sendiri yang berjudul Perlawanan Pers Sumatera Utara Terhadap PKI tahun penerbitan 1996.

Menurut pengakuan pria yang memulai karir di dunia jurnalistik (Mimbar Umum) sejak tahun 1954 itu, awal perlawanan pers terhadap PKI sendiri terjadi pada pertengahan Oktober 1964. Saat itu, 40 tokoh pers dari seluruh Indonesia melakukan pertemuan di Cipayung. Pertemuan itu khusus membahas gerakan PKI yang dinilai sangat berbahaya karena ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Untuk menyiasati hal itu, sejumlah tokoh yang mengikuti pertemuan mencari cara bagaimana memisahkan Presiden Soekarno dengan PKI yang terkenal dekat.

“Dalam pertemuan yang turut dihadiri Adam Malik itu para tokoh pers memutuskan untuk membangun soliaritas Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Ini dilakukan untuk menghadang ideologi marxisme yang ingin dilekatkan dalam kepemimpinan Soekarno,” terangnya.

Kehadiran BPS yang diketuai Sumantoro (Berita Indonesia) selanjutnya dipopulerkan oleh media-media besar di Indonesia yang saat itu ditulis oleh Sayuti Malik. Setelah terbentuk di Pusat (Jakarta), BPS terus mengembangkan sayapnyadi beberapa Wilayah.

Di Kota Medan, BPS dideklarasikan pada 18 Oktober 1964 yang diketuai oleh Tribuana Said dan Sekretarisnya Arshad Yahya. Sayangnya PKI yang telah menyusup dalam keanggotaan organisasi besar di Indonesia seperti PWI, balik menyerang.   Alhasil pada 24 Februari 1965 Menteri Penerangan mengeluarkan keputusan dengan mencabut izin seluruh koran ternama yang tergabung dalam BPS.

“Koran ditutup, wartawan juga tidak dibenarkan kerja di mana pun karena dianggap telah melawan revolusi,” kisah Muhammad TWH.
Beberapa media Medan yang ditutup yakni Mimbar Umum, Waspada, Suluh Masa, Mimbar Teruna, Gentar Revolusi, Resopim, Harian Indonesia baru,  Bintang Indonesia Cerdas Baru, dan lain-lain.

Penutupan itu juga  mengakibatkan sejumlah tokoh pers berpengaruh dipecat oleh medianya masing-masing. Untuk terus berjuang di dunia pemberitaan sejumlah tokoh pers berlindung di balik media angkatan bersenjata. Hanya saja gelagat tersebut tercium oleh PKI hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan  seluruh wartawan harus keluar dari angkatan bersenjata. “Setelah meletus G30 SPKI baru mulai normal,” kenangnya.

Media kembali terbit pada 1966. “PKI ini pintar. Dibungkamnya dulu corong media, baru mereka menggencarkan aksinya dengan membunuh sejumlah tokoh yang tidak mau ikut dengan ideologinya,” ucap Muhammad TWH.

Disinggung mengenai kisah Kampung Kolam sebagai basis PKI hingga tragedi ‘pengganyangan’ terhadap puluhan PKI. Muhammad TWH menilainya sebagai bentuk dan sikap pembalasan terhadap kematian dua anggota PP M Jacop dan Adlin Prawiranegara.  “Kondisi saat itu adalah situasi perang, bukan melawan penjajah, tapi penjajahan dalam ideologi. Kalau dalam perang, prinsipnya kalau tidak menembak ya ditembak, atau kalau tidak membunuh maka dibunuh,” tegasnya. (*)

Tragedi 65 Menurut Wartawan Senior Sumut, Muhammad TWH

Bercerita kisah PKI di Wilayah Sumut terlintas sebuah tanya.
Ya, bagimana peran media dalam mengisahkan kisah-kasih pergerakan hingga pengganyangan PKI di Sumut. Untuk mengetahui lebih dalam hal tersebut, kami memilih Muhammad TWH untuk menjadi narasumber.

PENGHARGAAN: Muhammad TWH saat menunjukkan penghargaan bintang penegak pers pancasila.//kesuma ramadhan/sumutpos
PENGHARGAAN: Muhammad TWH saat menunjukkan penghargaan bintang penegak pers pancasila.//kesuma ramadhan/sumutpos

Pria bernama lengkap Muhammad Tok Wan Haria ini dianggap pantas karena dia seorang jurnalis yang telah memiliki pengalaman 36 tahun di Media Mimbar Umum yang dikenal sebagai salah satu media tertua di Kota Medan.
Saat ditemui di kediamannya Jalan Darussalam Gang Persatuan, kemarin sekitar pukul 08.00 WIB, sambutan hangat lewat ungkapan selamat datang menjadi pembuka kedatangan kami. Menurut pengakuan Muhammad TWH, tahun 1965 pers tidak bisa berbuat banyak. Mengingat saat itu media-media besar di Kota Medan sudah diberangus kebebasannya setelah ada kebijakan pemerintah melalui Menteri Penerangan mencabut izin seluruh koran berpengaruh di Kota Medan.

Apa landasan pencabutan izin tersebut? Muhammad TWH mencoba mengulang kisah tersebut dengan membawa referensi buku karyanya sendiri yang berjudul Perlawanan Pers Sumatera Utara Terhadap PKI tahun penerbitan 1996.

Menurut pengakuan pria yang memulai karir di dunia jurnalistik (Mimbar Umum) sejak tahun 1954 itu, awal perlawanan pers terhadap PKI sendiri terjadi pada pertengahan Oktober 1964. Saat itu, 40 tokoh pers dari seluruh Indonesia melakukan pertemuan di Cipayung. Pertemuan itu khusus membahas gerakan PKI yang dinilai sangat berbahaya karena ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Untuk menyiasati hal itu, sejumlah tokoh yang mengikuti pertemuan mencari cara bagaimana memisahkan Presiden Soekarno dengan PKI yang terkenal dekat.

“Dalam pertemuan yang turut dihadiri Adam Malik itu para tokoh pers memutuskan untuk membangun soliaritas Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Ini dilakukan untuk menghadang ideologi marxisme yang ingin dilekatkan dalam kepemimpinan Soekarno,” terangnya.

Kehadiran BPS yang diketuai Sumantoro (Berita Indonesia) selanjutnya dipopulerkan oleh media-media besar di Indonesia yang saat itu ditulis oleh Sayuti Malik. Setelah terbentuk di Pusat (Jakarta), BPS terus mengembangkan sayapnyadi beberapa Wilayah.

Di Kota Medan, BPS dideklarasikan pada 18 Oktober 1964 yang diketuai oleh Tribuana Said dan Sekretarisnya Arshad Yahya. Sayangnya PKI yang telah menyusup dalam keanggotaan organisasi besar di Indonesia seperti PWI, balik menyerang.   Alhasil pada 24 Februari 1965 Menteri Penerangan mengeluarkan keputusan dengan mencabut izin seluruh koran ternama yang tergabung dalam BPS.

“Koran ditutup, wartawan juga tidak dibenarkan kerja di mana pun karena dianggap telah melawan revolusi,” kisah Muhammad TWH.
Beberapa media Medan yang ditutup yakni Mimbar Umum, Waspada, Suluh Masa, Mimbar Teruna, Gentar Revolusi, Resopim, Harian Indonesia baru,  Bintang Indonesia Cerdas Baru, dan lain-lain.

Penutupan itu juga  mengakibatkan sejumlah tokoh pers berpengaruh dipecat oleh medianya masing-masing. Untuk terus berjuang di dunia pemberitaan sejumlah tokoh pers berlindung di balik media angkatan bersenjata. Hanya saja gelagat tersebut tercium oleh PKI hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan  seluruh wartawan harus keluar dari angkatan bersenjata. “Setelah meletus G30 SPKI baru mulai normal,” kenangnya.

Media kembali terbit pada 1966. “PKI ini pintar. Dibungkamnya dulu corong media, baru mereka menggencarkan aksinya dengan membunuh sejumlah tokoh yang tidak mau ikut dengan ideologinya,” ucap Muhammad TWH.

Disinggung mengenai kisah Kampung Kolam sebagai basis PKI hingga tragedi ‘pengganyangan’ terhadap puluhan PKI. Muhammad TWH menilainya sebagai bentuk dan sikap pembalasan terhadap kematian dua anggota PP M Jacop dan Adlin Prawiranegara.  “Kondisi saat itu adalah situasi perang, bukan melawan penjajah, tapi penjajahan dalam ideologi. Kalau dalam perang, prinsipnya kalau tidak menembak ya ditembak, atau kalau tidak membunuh maka dibunuh,” tegasnya. (*)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

Terpopuler

Artikel Terbaru

/