Soal rindu memang tak hanya berhubungan dengan cinta. Rindu itu bisa menerpa seseorang karena sesuatu yang sering dia hadapi telah hilang. Misalnya, ketika seseorang sering dimarahi oleh orang lain, maka suatu saat dia pasti akan rindu dimarahi lagi. Kenapa?
Itulah yang namanya perasaan; sesuatu yang misterius. Misalnya, apa yang dialami Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Syamsul Arifin. Ya, kini dia memang masih di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba. Sudah dua tahun Syamsul berada di tempat itu. Tepatnya, sejak ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 22 Oktober 2010 lalu.
Nah, Syamsul melalui kuasa hukumnya tiba-tiba membuat pernyataan rindu. Dia terkenang dengan hubungannya dengan para jurnalis di Medan dan Langkat. Dia rindu berinteraksi lagi dengan para kuli tinta. Dia terkenang dengan hubungan baiknya dengan para pemburu berita. Dan, mungkin, dia rindu dikelilingi wartawan dengan segudang pertanyaan yang tentunya bisa menjebak.
Begitulah rindu, dia tidak selalu tentang cinta ala anak remaja yang curi-curi pandang di pusat perbelanjaan tengah kota. Seperti yang saya katakan tadi, rindu itu bisa berawal dari kenangan pahit juga. Syamsul misalnya, bukankah sesuatu yang pahit ketika kasus korupsinya terus diberitakan? Tapi lihatlah, dia malah rindu!
Ceritanya, Syamsul merasa berkat dukungan para wartawan, dia bisa menjadi politisi ternama, bisa menjadi bupati, dan akhirnya menjadi gubernur Sumut. Bahkan, pemberitaan persidangan kasusnya juga dianggap oleh Syamsul telah membantunya.
“Membantu menyampaikan informasi ke masyarakat mengenai duduk persoalannya. Itu juga dianggap Pak Syamsul sebagai hal yang positif dari kawan-kawan media,” begitu urai pengacara Syamsul, Abdul Hakim Siagian.
Kisah ini malah mengingat saya pada seorang pejabat tinggi lainnya di Sumut. Setelah dia lengser karena masa tugasnya habis, dia malah mau mencalonkan lagi. Pencalonannya malah turun ‘kelas’. Jika sebelumnya dia gubernur, dia malah mencalonkan diri jadi wali kota. Alasannya? Hm, dia rindu dengan kenangan dikawal voorijder. Suara voorijder itu membuat dia merasa bangga dan nyaman.
Ingat pula saya dengan seorang narapidana yang sempat ditahan sekian tahun di LP Tanjunggusta. Setelah bebas, dia malah rindu dengan aroma sel dan kehidupan di LP itu. Untung, dia tidak rindu untuk menikmati hal itu lagi.
Sekali lagi, begitulah soal rindu. Maka, perasaan Syamsul patut dicatat. Rindu semacam apa yang dia maksud, adakah dia rindu yang menyenangkan atau sebaliknya? Atau, mungkinkah dia memamerkan rindu untuk menyimpan dendam? Entahlah, seperti kata pepatah: tinggi gunung bisa didaki, dalam hati siapa yang tahu. Bukankah begitu? (*)