29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bakteri yang Mengancam Kesehatan

Ketika Depot Air Minum Diduga Mengandung E.Coli

Bahkan salah satu pakar kesehatan dari USU menyebutkan bakteri tersebut bersarang dalam kotoran manusia (tinja) sehingga depot air minum tersebut terkontaminasi oleh tinja. Lantas siapa yang harus bertanggungjawab?

Kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan Wirya Al-Rahman mengatakan, pihaknya juga sudah resah dengan keberadaan depot air minum yang mengandung bakteri E Coli tersebut.

MENUNGGU: Seorang pekerja air isi ulang menunggu pembeli  salah satu depot air isi ulang Jalan AH Nasution Medan, beberapa waktu lalu. //TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
MENUNGGU: Seorang pekerja air isi ulang menunggu pembeli di salah satu depot air isi ulang Jalan AH Nasution Medan, beberapa waktu lalu. //TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

“Saya memang sudah ditelepon oleh Kadis Kesehatan Kota Medan mengenai keberadaan depot ini. Intinya bagaimana cara mengawasi keberadaan depon tersebut sehingga tidak meresahkan warga,” ungkap Wiria kepada wartawan koran ini, kemarin.

Dia menjelaskan sesuai dengan tupoksi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan, pihaknya memiliki wewenang untuk menerbitkan Surat Izin Usaha (SIUP), Izin Gangguan (HO) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) sesuai dengan pengajuan pemilik.

Khusus untuk usaha depot air minum, setelah ketiga izin ini dikeluarkan maka, pengusaha yang bersangkutan wajib memeriksakan produk yang akan dijualnya kepada masyarakat. Ini berkaitan dengan layak atau tidaknya produk tersebut dipasarkan ke masyarakat.

“Ya, itu memang tugas pengusaha, kalau air minum biasanya diperiksakan dulu ke Dinas Kesehatan atau Balai POM. Apakah air minum tersebut sudah layak dikonsumsi atau tidak,” ungkap Wiria.

Kita ambil saja contoh produk makanan, biasanya dalam kemasan makanan tersebut tertera produk tersebut halal yang bisa dilihat dari label halal yang dibuat oleh MUI. Demikian juga produk air mineral seperti Aqua, Prima dan lain sebagainya. Biasanya dalam kemasan tersebut ada tertera Izin Depkes No sekian, Izin Balai POM No semian dan lain sebagainya.

“Jadi semua produk tersebut tidak sembarangan dijual ke pasaran. Harus melalui mekanisme yang jelas meskipun  perusahaan tersebut sudah mendapat SIUP, HO dan TDP,” beber Wiria.

Di Kota Medan sendiri sambung dia masih banyak depon air minum yang belum mendapat izin dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan. “Yang mendapat izin saja belum tentu produknya bisa dipasarkan ke masyarakat. Konon lagi depot air minum yang tidak memiliki izin. Ini banyak kita lihat di Kota Medan,” terang Wiria.

Bisnis depot air minum menjadi bisnis laris saat ini. Selain produknya dibutuhkan oleh masyarakat, air minum yang dijual di depot tersebut murah. “Kalau menurut saya, Dinas Kesehatan Kota Medan dan Balai POM harus rutin menggelar razia, apakah air minum yang mereka jual layak atau tidak untuk dikonsumsi,” sarannya.

Wiria melanjutkan jika nantinya ditemukan depot yang menjual air minum tidak layak untuk dikonsumsi, maka pihaknya akan menarik izin usaha tersebut. “Jadi sejauh ini belum ada laporan itu. Pasca komunikasi saya dengan pak Kadis Kesehatan, maka mereka akan rutin menggelar razia terutama depot yang telah memiliki izin dari BPPT Kota Medan,” kata Wiria.

Sebelumnya Dinas Kesehatan Kota Medan melalui Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan, Oden Tara Sembiring dalam acara pelatihan jurnalistik hygiene dan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) di Horison Hotel, Berastagi mengatakan,
data Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2010  menyebutkan dari 240 depot air isi ulang yang mendapatkan rekomendasi Dinkes Medan, 48 di antaranya atau sekitar 20 persen airnya terkontaminasi bakteri Essester Coli (E.Coli).

“Dari hasil pemeriksaan yang kita lakukan, masih banyak depot air minum yang mengandung bakteri E.Coli yakni bakteri dari pencemaran tinja, yang berada di dalam usus hewan dan manusia,”ujarnya.

Hanya saja menurut pengakuan Oden, pada 2011 Dinkes tidak melakukan pemeriksaan dikarenakan ketiadaan anggaran melalui program kerja yang diusulkan. Sementara itu, untuk tahun 2012, Oden menyebutkan jika pihaknya  melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah depot air minum isi ulang.
Hanya saja jumlahnya lebih sedikit, yakni terhadap 35 depot air minum, dan 10 diantaranya airnya terkontaminasi bakteri E.Coli.

“Sebenarnya pemeriksaan terkait kualitas kebersihan dan keamanan air di depot air minum isi ulang ini mau diperluas. Namun karena pengambil kebijakan tidak memprioritaskan hal yang menyangkut masyarakat, tentu saja tidak bisa dilakukan karena keterbatasan anggaran,” terangnya.
Oden tidak menampik jika pengambil kebijakan lebih memprioritaskan kepada anggaran pengadaan barang ketimbang kepentingan masyarakat.
“Fakta yang ada tahun 2011, dari 15 program yang menyangkut kepentingan masyarakat ketika diajukan, hanya 11 saja yang disetujui. Bahkan pada 2012 dari 10 pengajuan hanya empat yang disetujui,”ucapnya lagi.

Disinggung mengenai peranan Dinkes dalam perizinan, menurut Oden hanya sebatas memberikan rekomendasi. Sedangkan izinnya dikeluarkan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan.

“Sebelum dikeluarkan izin oleh BPPT, Dinkes Medan melakukan tinjauan terlebih dahulu untuk mengeluarkan rekomendasinya. Dalam hal ini Dinkes Medan juga tidak bisa melakukan penindakan jika masih banyak depot yang mengandung bakteri E.Coli, karena hanya sebatas pembinaan dan sosialisasi,”tegasnya. Disisi lain, Oden juga menilai, pemahaman masyarakat masih rendah mengenai hidup bersih.

Ditambah pola pengelolaan sampah yang belum baik, menjadi alasan mengapa Medan masih sulit menjadi kota yang hygiene. Rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang sanitasi ditandai dengan masih banyaknya masyarakat yang belum memiliki jamban dan masih adanya pola kebiasaan membuang sampah dan buang air besar sembarangan (BABS).

“Buruknya sanitasi ini,  oleh Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai pemicu tingginya diare dikota medan. Bahkan berdasarkan data, kasus diare dalam 2 tahun terakhir mencapai 32.391 pada tahun 2010 dan 30.380 pada tahun 2011,” terangnya.

Pemerintah sendiri, sambungnya, terus berupaya menekan angka ini dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak seperti media massa dan juga lembaga swadaya masyarakat.

Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Medan Dr Mardohar Tambunan menambahkan, pihaknya akan terus melakukan razia atas bakteri E. Coli ini.
“Memang sih pemeriksaan tidak rutin dilakukan karena alasan anggaran. Fokus kita selama ini memang lebih kepada kegiatan yang urgent. Sementara untuk depot, fokus kita lebih kepada pembinaan baik dari alat yang digunakan, sanitasinya, hingga seluruh proses yang harus sesuai dengan prosedur,” jelas.

Namun, Mardohar memastikan jika bakteri E.Coli masih dalam kapasitas yang tercover  alias belum dianggap bermasalah. “Karena di dalam perut kita juga ada E.Coli untuk proses pembusukan. Selama masih dalam ambang batas tertentu, tentunya masih bisa ditoleransi. Dinas Kesehatan akan menindaklanjuti dengan melakukan pembinaan melalui kerja sama dengan petugas laboratorium untuk mengatasi masalah tersebut,” terangnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan (Kadinkes) Medan Edwin Effendi juga mengatakan hal yang sama kalau bakteri E.Coli masih di bawah ambang batas dan tidak membahayakan bila dikomsumsi. (dra/uma)

[table caption=”Hasil Pemeriksaan Tahun ke Tahun” ai=”1″ delimiter=”|”]

Tahun 2010 dari 240 depot air isi ulang yang mendapatkan rekomendasi Dinkes Medan 48 di antaranya airnya terkontaminasi bakteri Essester Coli (E-Coli).
Tahun 2011 Dinkes tidak melakukan pemeriksaan dikarenakan ketiadaan anggaran melalui program kerja yang diusulkan.
Tahun 2012 dari 35 depot air minum yang diperiksa 10 depot diantaranya airnya terkontaminasi bakteri E-Coli.
Tahun 2011 dari 15  yang mengajukan rekomendasi hanya 11 depot yang disetujui.
Tahun 2012 dari 10 depot yang mengajukan rekomendasi hanya 4 depot yang disetujui.

[/table]

Sumber: Data Dinas Kesehatan Kota Medan

Bentuknya Seperti Batang

Pada umumnya,  jika kita mendengar kata bakteri, yang langsung terbayang adalah makluk amat kecil yang berbahaya karena menyebabkan berbagai penyakit. Bakteri Escherichia Coli adalah salah satu jenis bakteri yang sering dibicarakan. Cukup banyak masyarakat yang tahu E. Coli, namun hanya sebatas bakteri ini adalah penyebab infeksi saluran pencernaan. Namun banyak sebenarnya yang patut diketahui dari bakteri ini.

Bakteri e-Coli
Bakteri e-Coli

E. coli merupakan bakteri berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 micrometer dan diamater 0.5 micrometer. Volume sel E. coli berkisar 0.6 hingga 0.7 micrometer kubik. Bakteri ini termasuk umumnya hidup pada rentang 20 hingga 40 derajat C, optimum pada 37 derajat.

Kita mungkin banyak yang tidak tahu jika di usus besar manusia terkandung sejumlah E. coli yang berfungsi membusukkan sisa-sisa makanan. Dari sekian ratus  strain E. coli yang teridentifikasi, hanya sebagian kecil bersifat pathogen, misalnya strain O157:H7.

Bakteri yang namanya berasal dari sang penemu Theodor Escherich yang menemukannya di tahun 1885 ini merupakan jenis bakteri yang menjadi salah satu tulang punggung dunia bioteknologi. Hampir semua rekayasa genetika di dunia bioteknologi selalu melibatkan E.Coli akibat genetikanya yang sederhana dan mudah untuk direkayasa.

Riset di E.Coli menjadi model untuk aplikasi ke bakteri jenis lainnya. Bakteri ini juga merupakan media cloning yang paling sering dipakai. Teknik recombinant DNA tidak akan ada tanpa bantuan bakteri ini.

Banyak industri kimia mengaplikasikan teknologi fermentasi yang memanfaatkan E. coli. Misalnya dalam produksi obat-obatan (insulin, antiobiotik), high value chemicals (1-3 propanediol, lactate). Secara teoritis, ribuan jenis produk kimia bisa dihasilkan oleh bakteri ini asal genetikanya sudah direkayasa sedemikian rupa guna menghasilkan jenis produk tertentu yang diinginkan. Jika mengingat besarnya peranan ilmu bioteknologi dalam aspek-aspek kehidupan manusia, maka tidak bisa dipungkiri juga betapa besar manfaat E. Coli bagi kita.

Menurut Prof Thimas Wood dari Departemen Teknik Kimia Universits Texas E.Coli dapat dimodifikasi secara genetik untuk menghasilkan hidrogen dengan jumlah yang berarti, bahkan dapat memproduksi sekitar 140 kali hidrogen yang diproduksi oleh proses alam.

Penemuan ini dapat dipandang sebagai batu loncatan untuk ekonomi berbasis hidrogen di masa depan. Terbarukan, bersih dan efisien adalah kata kunci dari teknologi fuel cell. Kini hidrogen umumnya diproduksi melalui proses “pemecahan air”. Proses ini membutuhkan penggunaan energi yang besar dan mahal. E. Coli sendiri telah digunakan sebelumnya dalam produksi hormon insulin dan pembuatan vaksin.

Prof Wood dan timnya telah mentransformasi bakteri-bakteri ini menjadi pabrik hidrogen mini, dengan menghapus enam gen spesifik dari DNA E. Coli. Pabrik ini membutuhkan pasokan energi dari gula. Kecepatan mengkonversi gula yang alamiah dari E Coli ditingkatkan berkali-kali lipat.
E. Coli memiliki 5000 gen yang dapat bertahan bahkan dalam kingkungan yang kurangmendukung. Hidrogen dapat diproduksi melalui proses fermentasi, tapi menurut Prof Wood ini tidak membutuhkan mesin yang kompleks untuk pemanasan yang ekstensif atau listrik yang banyak. Reaktor yang beliau desain beratnya kurang dari 250 galon bahan bakar yang dapat mensuplai hidrogen untuk rumah untuk penggunaan 24 jam. (net/jpnn)

Bermodal Izin Laboratorium

Salah seorang pengusaha depot air minum Ida yang membuka usaha di Jalan Letda Sujono Medan mengaku, tak terganggu dengan pemberitaan di media massa terkait bakteri E.Coli tercemar dalam air minum isi ulang. “Bakteri E.Coli di dalam air minum isi ulang itu biasanya karena menggunakan air yang kualitas tidak baik. Misalnya saja, mengambil air dari sumut bor,” kata dia, sedangkan dirinya menggunakan air isi ulang yang langsung dibeli dari pihak agen air yang berasal dari air pegunungan.

Alat pengisian ulang air mineral
Alat pengisian ulang air mineral

Pengusaha depot lainnya, Asrul di Jalan Serdang Medan mengaku, Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan pemeriksaan depot air miliknya hanya setahun sekali. “Tapi air isi ulang yang saya jual dari pegunungan dan bebas bakteri,” katanya.

Sedangkan Bobi, karyawan Bonus Water yang membuka depotnya di Jalan Muchtar Basri No 10 A Medan Timur mengaku, air dapot yang mereka jual bukan dari gunung. Tapi, menggunakan air bawah tanah dan izinnya dari Laboratorium Jakarta. “Tapi cabangnya di sini,” ucap Bobi.

Ia menjelaskan, dalam pembersihan air agar menjadi layak diminum melalui beberapa tahapan. Antara lain, kata Bobi, penyaringannya langsung dari mesin penyedot yang juga langsung ke dua tangki yang masing-masing dengan berat dua ton. Dari dua tangki itu, satu tangki untuk air minum dan satu lagi yang untuk kotoran air dipakai untuk menyuci piring atau yang lainnya. “Tangki depot air isi  ulang ini semuanya ada lima, dua untuk membersihkan air dan dan tiga untuk air yang sudah kotor dalam pembersihan,” papar Bobi. Saat Bobi menunjukkan mesin penyedot tersebut ia kurang mengetahui berapa ke dalaman bor yang pasti. Akan tetapi menurutnya dipastikan puluhan meter ke dalam.

Sedangkan,  Ana pemilik depot air di Jalan Bilal Medan Barat mengatakan, air yang dijualkannya tersebut berasal dari air pegunungan Sibolangit. “Tangki air yang ada didapot ini ada tiga dan juga ada mesin penyaringnya. Harga mesinnya sekarangnya Rp25 juta, lebih murah dari pada yang dulu,” ucapnya.
Di tempat terpisah, salah satu perusahaan air minum ternama yakni PT Aqua mengaku sumber mata air yang mereka gunakan berasal dari mata air yang memiliki kedalaman 40 meter dari atas permukaan bumi. Saat wartawan koran ini berkunjung ke markasnya yang berada di Desa Sibolangit, sebelum dijual ke pasaran, air mineral tersebut diproses terlebih dahulu. Prosesnya juga sangat selektif dan membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Tak hanya sebelum dijual ke pasaran juga, sampel air minum tersebut juga diujikan di laboratorium swasta untuk melihat apakah air tersebut sudah layak dikonsumsi atau tidak. Saat ini PT Aqua menyuplai air minum ke daerah Sumut, Aceh dan Sumatera Barat.

Lanjut Ana, saat membuka depot air minum isi ulang, sudah ada surat Dinas Kesehatan Medan.  “Baru ini dinas kesehatan mengecek air ini,” katanya.
Sambungnya, untuk membeli air pegunungan tersebut satu tangki Rp300 ribu atau 6.500 liter dengan. “Satu hari bisa dapat Rp150 ribu dan dapat menghabiskan minimal satu hari itu tiga tangki,” ucap Ana.

Sedangkan Doni, pemilik depot air di  Jalan Karya No 29 A Medan Barat mengatakan, sudah dari lima tahun membuka air isi ulang ini. Awalnya, ia mengatakan untuk membeli mesin depot ini harganya Rp20 juta per paketnya. “Per paket itu sudah ada tangki dan pembersihnya, seperti ada dua tangki yang kapasitasnya dua ton dan juga mempunyai saringan ozon (mematikan kuman) dan juga ada mesin untuk steril air  tangki,” katanya.
Dalam sistem kerjanya, Doni menjelaskan, dua mesin ozon dan steril itu untuk membersihkan dan ada lampu yang menyinari dalam waktu produksi yang berfungsi  matikan kuman dan sterilnya air minum tersebut. “Saya punya izin dari laboratorium Dinkes Medan dan dulu pernah dites airnya sekarang tidak pernah lagi,” ucapnya.

Pengonsumsi air depot, Wahyu Fahmi, warga Jalan Bambu Medan mengatakan, untuk membeli air isi ulang tersebut lebih mudah dan tidak lagi memasak. Tapi, akunya, terkadang air yang dibelinya terasa pahit dan tidak enak ditenggorokan. “Ada juga saat diminum tidak enak ditenggorokan dan terasa pahit, tapi untuk saat ini aku belum ada merasakan sakit perut,” ucapnya.

Hal yang tak jauh berbeda yang diungkapkan oleh Nani yang tinggal di Karya. Katanya, jika membeli air minum yang tidak langganannya terkadang tidak enak dirasakan. “Tapi, mau bagaimana lagi, kalau masak air repot. Kalau beli kan murah dan banyak airnya,” kata dia (dra/uma/omi/mag-19)

Murah Tapi Berbahaya

Ilham merupakan satu dari sekian banyak warga Kota Medan yang mengkonsumsi air minum isi ulang. Warga Jalan Sisingamangaraja ini mendapatkan air minum tersebut dari depot air minum yang tak jauh dari rumahnya.

“Memang kami di rumah mengkonsumsi air minum isi ulang. Selain harganya murah, caranya juga lebih praktis,” ungkap Ilham kepada wartawan koran ini, kemarin.

Dia mengaku harga satu galon air mineral yang dibelinya Rp5.000 ribu per galon. Dia membandingkan jika memasak air di rumah dengan kompor gas maka biayanya akan lebih mahal dan prosesnya juga cukup lama. “Memang dulu air minum kami dimasak, tetapi sekarang cukup membeli air isi ulang saja,” ungkapnya.

Dia juga menyebutkan selain air isi ulang, ada juga isi ulang air mineral merek Aqua, hanya saja harganya sedikit lebih mahal yakni Rp13 ribu. “Ya, karena ada yang lebih murah, maka kita beli yang lebih murah saja,” tuturnya.

Lantas bagaimana dengan pemberitaan yang menyebutkan air mineral isi ulang tersebut mengandung bakteri E.Coli yang dapat membahayakan orang yang mengkonsumsinya?   Ditanya begitu Ilham menjawab, “Kalau saya sebelum ada korban yang saya lihat maka saya kurang percaya. Apalagi saya lihat banyak juga orang yang mengkonsumsi air minum tersebut,” ujarnya.

Sebelumnya pakar kesehatan Universitas Sumatera Utara yang namanya tak ingin disebutkan. “Bakteri E.Coli ini biasanya merupakan tanda kontaminasi feses manusia (kotoran manusia) pada sumber air minum,” papar dia secara khusus pada Sumut Pos, belum lama ini.

Kemudian, lanjutnya, ada tidaknya kontaminasi oleh bakteri pada air minum sebenarnya tergantung tempat pengambilan air yang dilakukan depot air minum tersebut. Misalnya, depot air minum yang sumber airnya dari air PDAM dan air sumur yang galiannya dekat dengan septi tank, jumlah kuantitas bakterinya akan jauh sangat berbeda.

“Jadi sebelum membeli air minum, terlebih dahulu mengecek sumber airnya,” saran dia.

Selain itu, kehadiran bakteri E.Coli juga bisa dipicu karena penggunaan ultraviolet yang tidak sesuai antara kapasitas dan kecepatan air yang melewati penyinaran ultraviolet tersebut. Akibat air terlalu cepat, maka bakterinya tidak mati.

Idealnya, untuk depot air minum isi ulang, kapasitas ultraviolet minimal adalah tipe 5 GPM atau daya lampu 30 watt dan kecepatan air yang melewati UV tersebut adalah 19 liter (1 galon ) per 1 menit 15 detik dan jangan lebih cepat dari itu. “Penyebab lain adalah kurangnya kebersihan depot dan lingkungan sekitar,” ujar sang dokter.

Tak hanya itu, sambungnya, karena keterbatasan modal, banyak yang membeli paket depot air yang harganya murah sehingga peralatan di bawah standar minimum. Harusnya, minimal menggunakan tabung berisi media pasir silika, karbon aktif, ultraviolet minimal tiype 5 GPM dan penyaringan micro filter/filter sedimen berukuran mulai 10 mikron sampai 01 mikron.

“Penyebab tambahan karena kurangnya kesadaran pemilik depot memeriksakan depotnya dalam 3 bulan sekali ke Dinas kesehatan setempat. Kontaminasi bakteri E.Coli ini biasanya merupakan tanda kontaminasi feses manusia (kotoran manusia) pada sumber air minum,” papar dia sembari mengatakan kalau tubuh manusia memiliki sistem pertahanan yang dapat menghalau bakteri-bakteri patogen yang masuk, sehingga jangan begitu khawatir mengkonsumsi air isi ulang tersebut. (dra/uma/omi/mag-19)

Ketika Depot Air Minum Diduga Mengandung E.Coli

Bahkan salah satu pakar kesehatan dari USU menyebutkan bakteri tersebut bersarang dalam kotoran manusia (tinja) sehingga depot air minum tersebut terkontaminasi oleh tinja. Lantas siapa yang harus bertanggungjawab?

Kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan Wirya Al-Rahman mengatakan, pihaknya juga sudah resah dengan keberadaan depot air minum yang mengandung bakteri E Coli tersebut.

MENUNGGU: Seorang pekerja air isi ulang menunggu pembeli  salah satu depot air isi ulang Jalan AH Nasution Medan, beberapa waktu lalu. //TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
MENUNGGU: Seorang pekerja air isi ulang menunggu pembeli di salah satu depot air isi ulang Jalan AH Nasution Medan, beberapa waktu lalu. //TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

“Saya memang sudah ditelepon oleh Kadis Kesehatan Kota Medan mengenai keberadaan depot ini. Intinya bagaimana cara mengawasi keberadaan depon tersebut sehingga tidak meresahkan warga,” ungkap Wiria kepada wartawan koran ini, kemarin.

Dia menjelaskan sesuai dengan tupoksi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan, pihaknya memiliki wewenang untuk menerbitkan Surat Izin Usaha (SIUP), Izin Gangguan (HO) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) sesuai dengan pengajuan pemilik.

Khusus untuk usaha depot air minum, setelah ketiga izin ini dikeluarkan maka, pengusaha yang bersangkutan wajib memeriksakan produk yang akan dijualnya kepada masyarakat. Ini berkaitan dengan layak atau tidaknya produk tersebut dipasarkan ke masyarakat.

“Ya, itu memang tugas pengusaha, kalau air minum biasanya diperiksakan dulu ke Dinas Kesehatan atau Balai POM. Apakah air minum tersebut sudah layak dikonsumsi atau tidak,” ungkap Wiria.

Kita ambil saja contoh produk makanan, biasanya dalam kemasan makanan tersebut tertera produk tersebut halal yang bisa dilihat dari label halal yang dibuat oleh MUI. Demikian juga produk air mineral seperti Aqua, Prima dan lain sebagainya. Biasanya dalam kemasan tersebut ada tertera Izin Depkes No sekian, Izin Balai POM No semian dan lain sebagainya.

“Jadi semua produk tersebut tidak sembarangan dijual ke pasaran. Harus melalui mekanisme yang jelas meskipun  perusahaan tersebut sudah mendapat SIUP, HO dan TDP,” beber Wiria.

Di Kota Medan sendiri sambung dia masih banyak depon air minum yang belum mendapat izin dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan. “Yang mendapat izin saja belum tentu produknya bisa dipasarkan ke masyarakat. Konon lagi depot air minum yang tidak memiliki izin. Ini banyak kita lihat di Kota Medan,” terang Wiria.

Bisnis depot air minum menjadi bisnis laris saat ini. Selain produknya dibutuhkan oleh masyarakat, air minum yang dijual di depot tersebut murah. “Kalau menurut saya, Dinas Kesehatan Kota Medan dan Balai POM harus rutin menggelar razia, apakah air minum yang mereka jual layak atau tidak untuk dikonsumsi,” sarannya.

Wiria melanjutkan jika nantinya ditemukan depot yang menjual air minum tidak layak untuk dikonsumsi, maka pihaknya akan menarik izin usaha tersebut. “Jadi sejauh ini belum ada laporan itu. Pasca komunikasi saya dengan pak Kadis Kesehatan, maka mereka akan rutin menggelar razia terutama depot yang telah memiliki izin dari BPPT Kota Medan,” kata Wiria.

Sebelumnya Dinas Kesehatan Kota Medan melalui Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan, Oden Tara Sembiring dalam acara pelatihan jurnalistik hygiene dan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) di Horison Hotel, Berastagi mengatakan,
data Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2010  menyebutkan dari 240 depot air isi ulang yang mendapatkan rekomendasi Dinkes Medan, 48 di antaranya atau sekitar 20 persen airnya terkontaminasi bakteri Essester Coli (E.Coli).

“Dari hasil pemeriksaan yang kita lakukan, masih banyak depot air minum yang mengandung bakteri E.Coli yakni bakteri dari pencemaran tinja, yang berada di dalam usus hewan dan manusia,”ujarnya.

Hanya saja menurut pengakuan Oden, pada 2011 Dinkes tidak melakukan pemeriksaan dikarenakan ketiadaan anggaran melalui program kerja yang diusulkan. Sementara itu, untuk tahun 2012, Oden menyebutkan jika pihaknya  melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah depot air minum isi ulang.
Hanya saja jumlahnya lebih sedikit, yakni terhadap 35 depot air minum, dan 10 diantaranya airnya terkontaminasi bakteri E.Coli.

“Sebenarnya pemeriksaan terkait kualitas kebersihan dan keamanan air di depot air minum isi ulang ini mau diperluas. Namun karena pengambil kebijakan tidak memprioritaskan hal yang menyangkut masyarakat, tentu saja tidak bisa dilakukan karena keterbatasan anggaran,” terangnya.
Oden tidak menampik jika pengambil kebijakan lebih memprioritaskan kepada anggaran pengadaan barang ketimbang kepentingan masyarakat.
“Fakta yang ada tahun 2011, dari 15 program yang menyangkut kepentingan masyarakat ketika diajukan, hanya 11 saja yang disetujui. Bahkan pada 2012 dari 10 pengajuan hanya empat yang disetujui,”ucapnya lagi.

Disinggung mengenai peranan Dinkes dalam perizinan, menurut Oden hanya sebatas memberikan rekomendasi. Sedangkan izinnya dikeluarkan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Medan.

“Sebelum dikeluarkan izin oleh BPPT, Dinkes Medan melakukan tinjauan terlebih dahulu untuk mengeluarkan rekomendasinya. Dalam hal ini Dinkes Medan juga tidak bisa melakukan penindakan jika masih banyak depot yang mengandung bakteri E.Coli, karena hanya sebatas pembinaan dan sosialisasi,”tegasnya. Disisi lain, Oden juga menilai, pemahaman masyarakat masih rendah mengenai hidup bersih.

Ditambah pola pengelolaan sampah yang belum baik, menjadi alasan mengapa Medan masih sulit menjadi kota yang hygiene. Rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang sanitasi ditandai dengan masih banyaknya masyarakat yang belum memiliki jamban dan masih adanya pola kebiasaan membuang sampah dan buang air besar sembarangan (BABS).

“Buruknya sanitasi ini,  oleh Dinas Kesehatan Kota Medan sebagai pemicu tingginya diare dikota medan. Bahkan berdasarkan data, kasus diare dalam 2 tahun terakhir mencapai 32.391 pada tahun 2010 dan 30.380 pada tahun 2011,” terangnya.

Pemerintah sendiri, sambungnya, terus berupaya menekan angka ini dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak seperti media massa dan juga lembaga swadaya masyarakat.

Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Medan Dr Mardohar Tambunan menambahkan, pihaknya akan terus melakukan razia atas bakteri E. Coli ini.
“Memang sih pemeriksaan tidak rutin dilakukan karena alasan anggaran. Fokus kita selama ini memang lebih kepada kegiatan yang urgent. Sementara untuk depot, fokus kita lebih kepada pembinaan baik dari alat yang digunakan, sanitasinya, hingga seluruh proses yang harus sesuai dengan prosedur,” jelas.

Namun, Mardohar memastikan jika bakteri E.Coli masih dalam kapasitas yang tercover  alias belum dianggap bermasalah. “Karena di dalam perut kita juga ada E.Coli untuk proses pembusukan. Selama masih dalam ambang batas tertentu, tentunya masih bisa ditoleransi. Dinas Kesehatan akan menindaklanjuti dengan melakukan pembinaan melalui kerja sama dengan petugas laboratorium untuk mengatasi masalah tersebut,” terangnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan (Kadinkes) Medan Edwin Effendi juga mengatakan hal yang sama kalau bakteri E.Coli masih di bawah ambang batas dan tidak membahayakan bila dikomsumsi. (dra/uma)

[table caption=”Hasil Pemeriksaan Tahun ke Tahun” ai=”1″ delimiter=”|”]

Tahun 2010 dari 240 depot air isi ulang yang mendapatkan rekomendasi Dinkes Medan 48 di antaranya airnya terkontaminasi bakteri Essester Coli (E-Coli).
Tahun 2011 Dinkes tidak melakukan pemeriksaan dikarenakan ketiadaan anggaran melalui program kerja yang diusulkan.
Tahun 2012 dari 35 depot air minum yang diperiksa 10 depot diantaranya airnya terkontaminasi bakteri E-Coli.
Tahun 2011 dari 15  yang mengajukan rekomendasi hanya 11 depot yang disetujui.
Tahun 2012 dari 10 depot yang mengajukan rekomendasi hanya 4 depot yang disetujui.

[/table]

Sumber: Data Dinas Kesehatan Kota Medan

Bentuknya Seperti Batang

Pada umumnya,  jika kita mendengar kata bakteri, yang langsung terbayang adalah makluk amat kecil yang berbahaya karena menyebabkan berbagai penyakit. Bakteri Escherichia Coli adalah salah satu jenis bakteri yang sering dibicarakan. Cukup banyak masyarakat yang tahu E. Coli, namun hanya sebatas bakteri ini adalah penyebab infeksi saluran pencernaan. Namun banyak sebenarnya yang patut diketahui dari bakteri ini.

Bakteri e-Coli
Bakteri e-Coli

E. coli merupakan bakteri berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 micrometer dan diamater 0.5 micrometer. Volume sel E. coli berkisar 0.6 hingga 0.7 micrometer kubik. Bakteri ini termasuk umumnya hidup pada rentang 20 hingga 40 derajat C, optimum pada 37 derajat.

Kita mungkin banyak yang tidak tahu jika di usus besar manusia terkandung sejumlah E. coli yang berfungsi membusukkan sisa-sisa makanan. Dari sekian ratus  strain E. coli yang teridentifikasi, hanya sebagian kecil bersifat pathogen, misalnya strain O157:H7.

Bakteri yang namanya berasal dari sang penemu Theodor Escherich yang menemukannya di tahun 1885 ini merupakan jenis bakteri yang menjadi salah satu tulang punggung dunia bioteknologi. Hampir semua rekayasa genetika di dunia bioteknologi selalu melibatkan E.Coli akibat genetikanya yang sederhana dan mudah untuk direkayasa.

Riset di E.Coli menjadi model untuk aplikasi ke bakteri jenis lainnya. Bakteri ini juga merupakan media cloning yang paling sering dipakai. Teknik recombinant DNA tidak akan ada tanpa bantuan bakteri ini.

Banyak industri kimia mengaplikasikan teknologi fermentasi yang memanfaatkan E. coli. Misalnya dalam produksi obat-obatan (insulin, antiobiotik), high value chemicals (1-3 propanediol, lactate). Secara teoritis, ribuan jenis produk kimia bisa dihasilkan oleh bakteri ini asal genetikanya sudah direkayasa sedemikian rupa guna menghasilkan jenis produk tertentu yang diinginkan. Jika mengingat besarnya peranan ilmu bioteknologi dalam aspek-aspek kehidupan manusia, maka tidak bisa dipungkiri juga betapa besar manfaat E. Coli bagi kita.

Menurut Prof Thimas Wood dari Departemen Teknik Kimia Universits Texas E.Coli dapat dimodifikasi secara genetik untuk menghasilkan hidrogen dengan jumlah yang berarti, bahkan dapat memproduksi sekitar 140 kali hidrogen yang diproduksi oleh proses alam.

Penemuan ini dapat dipandang sebagai batu loncatan untuk ekonomi berbasis hidrogen di masa depan. Terbarukan, bersih dan efisien adalah kata kunci dari teknologi fuel cell. Kini hidrogen umumnya diproduksi melalui proses “pemecahan air”. Proses ini membutuhkan penggunaan energi yang besar dan mahal. E. Coli sendiri telah digunakan sebelumnya dalam produksi hormon insulin dan pembuatan vaksin.

Prof Wood dan timnya telah mentransformasi bakteri-bakteri ini menjadi pabrik hidrogen mini, dengan menghapus enam gen spesifik dari DNA E. Coli. Pabrik ini membutuhkan pasokan energi dari gula. Kecepatan mengkonversi gula yang alamiah dari E Coli ditingkatkan berkali-kali lipat.
E. Coli memiliki 5000 gen yang dapat bertahan bahkan dalam kingkungan yang kurangmendukung. Hidrogen dapat diproduksi melalui proses fermentasi, tapi menurut Prof Wood ini tidak membutuhkan mesin yang kompleks untuk pemanasan yang ekstensif atau listrik yang banyak. Reaktor yang beliau desain beratnya kurang dari 250 galon bahan bakar yang dapat mensuplai hidrogen untuk rumah untuk penggunaan 24 jam. (net/jpnn)

Bermodal Izin Laboratorium

Salah seorang pengusaha depot air minum Ida yang membuka usaha di Jalan Letda Sujono Medan mengaku, tak terganggu dengan pemberitaan di media massa terkait bakteri E.Coli tercemar dalam air minum isi ulang. “Bakteri E.Coli di dalam air minum isi ulang itu biasanya karena menggunakan air yang kualitas tidak baik. Misalnya saja, mengambil air dari sumut bor,” kata dia, sedangkan dirinya menggunakan air isi ulang yang langsung dibeli dari pihak agen air yang berasal dari air pegunungan.

Alat pengisian ulang air mineral
Alat pengisian ulang air mineral

Pengusaha depot lainnya, Asrul di Jalan Serdang Medan mengaku, Dinas Kesehatan Kota Medan melakukan pemeriksaan depot air miliknya hanya setahun sekali. “Tapi air isi ulang yang saya jual dari pegunungan dan bebas bakteri,” katanya.

Sedangkan Bobi, karyawan Bonus Water yang membuka depotnya di Jalan Muchtar Basri No 10 A Medan Timur mengaku, air dapot yang mereka jual bukan dari gunung. Tapi, menggunakan air bawah tanah dan izinnya dari Laboratorium Jakarta. “Tapi cabangnya di sini,” ucap Bobi.

Ia menjelaskan, dalam pembersihan air agar menjadi layak diminum melalui beberapa tahapan. Antara lain, kata Bobi, penyaringannya langsung dari mesin penyedot yang juga langsung ke dua tangki yang masing-masing dengan berat dua ton. Dari dua tangki itu, satu tangki untuk air minum dan satu lagi yang untuk kotoran air dipakai untuk menyuci piring atau yang lainnya. “Tangki depot air isi  ulang ini semuanya ada lima, dua untuk membersihkan air dan dan tiga untuk air yang sudah kotor dalam pembersihan,” papar Bobi. Saat Bobi menunjukkan mesin penyedot tersebut ia kurang mengetahui berapa ke dalaman bor yang pasti. Akan tetapi menurutnya dipastikan puluhan meter ke dalam.

Sedangkan,  Ana pemilik depot air di Jalan Bilal Medan Barat mengatakan, air yang dijualkannya tersebut berasal dari air pegunungan Sibolangit. “Tangki air yang ada didapot ini ada tiga dan juga ada mesin penyaringnya. Harga mesinnya sekarangnya Rp25 juta, lebih murah dari pada yang dulu,” ucapnya.
Di tempat terpisah, salah satu perusahaan air minum ternama yakni PT Aqua mengaku sumber mata air yang mereka gunakan berasal dari mata air yang memiliki kedalaman 40 meter dari atas permukaan bumi. Saat wartawan koran ini berkunjung ke markasnya yang berada di Desa Sibolangit, sebelum dijual ke pasaran, air mineral tersebut diproses terlebih dahulu. Prosesnya juga sangat selektif dan membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Tak hanya sebelum dijual ke pasaran juga, sampel air minum tersebut juga diujikan di laboratorium swasta untuk melihat apakah air tersebut sudah layak dikonsumsi atau tidak. Saat ini PT Aqua menyuplai air minum ke daerah Sumut, Aceh dan Sumatera Barat.

Lanjut Ana, saat membuka depot air minum isi ulang, sudah ada surat Dinas Kesehatan Medan.  “Baru ini dinas kesehatan mengecek air ini,” katanya.
Sambungnya, untuk membeli air pegunungan tersebut satu tangki Rp300 ribu atau 6.500 liter dengan. “Satu hari bisa dapat Rp150 ribu dan dapat menghabiskan minimal satu hari itu tiga tangki,” ucap Ana.

Sedangkan Doni, pemilik depot air di  Jalan Karya No 29 A Medan Barat mengatakan, sudah dari lima tahun membuka air isi ulang ini. Awalnya, ia mengatakan untuk membeli mesin depot ini harganya Rp20 juta per paketnya. “Per paket itu sudah ada tangki dan pembersihnya, seperti ada dua tangki yang kapasitasnya dua ton dan juga mempunyai saringan ozon (mematikan kuman) dan juga ada mesin untuk steril air  tangki,” katanya.
Dalam sistem kerjanya, Doni menjelaskan, dua mesin ozon dan steril itu untuk membersihkan dan ada lampu yang menyinari dalam waktu produksi yang berfungsi  matikan kuman dan sterilnya air minum tersebut. “Saya punya izin dari laboratorium Dinkes Medan dan dulu pernah dites airnya sekarang tidak pernah lagi,” ucapnya.

Pengonsumsi air depot, Wahyu Fahmi, warga Jalan Bambu Medan mengatakan, untuk membeli air isi ulang tersebut lebih mudah dan tidak lagi memasak. Tapi, akunya, terkadang air yang dibelinya terasa pahit dan tidak enak ditenggorokan. “Ada juga saat diminum tidak enak ditenggorokan dan terasa pahit, tapi untuk saat ini aku belum ada merasakan sakit perut,” ucapnya.

Hal yang tak jauh berbeda yang diungkapkan oleh Nani yang tinggal di Karya. Katanya, jika membeli air minum yang tidak langganannya terkadang tidak enak dirasakan. “Tapi, mau bagaimana lagi, kalau masak air repot. Kalau beli kan murah dan banyak airnya,” kata dia (dra/uma/omi/mag-19)

Murah Tapi Berbahaya

Ilham merupakan satu dari sekian banyak warga Kota Medan yang mengkonsumsi air minum isi ulang. Warga Jalan Sisingamangaraja ini mendapatkan air minum tersebut dari depot air minum yang tak jauh dari rumahnya.

“Memang kami di rumah mengkonsumsi air minum isi ulang. Selain harganya murah, caranya juga lebih praktis,” ungkap Ilham kepada wartawan koran ini, kemarin.

Dia mengaku harga satu galon air mineral yang dibelinya Rp5.000 ribu per galon. Dia membandingkan jika memasak air di rumah dengan kompor gas maka biayanya akan lebih mahal dan prosesnya juga cukup lama. “Memang dulu air minum kami dimasak, tetapi sekarang cukup membeli air isi ulang saja,” ungkapnya.

Dia juga menyebutkan selain air isi ulang, ada juga isi ulang air mineral merek Aqua, hanya saja harganya sedikit lebih mahal yakni Rp13 ribu. “Ya, karena ada yang lebih murah, maka kita beli yang lebih murah saja,” tuturnya.

Lantas bagaimana dengan pemberitaan yang menyebutkan air mineral isi ulang tersebut mengandung bakteri E.Coli yang dapat membahayakan orang yang mengkonsumsinya?   Ditanya begitu Ilham menjawab, “Kalau saya sebelum ada korban yang saya lihat maka saya kurang percaya. Apalagi saya lihat banyak juga orang yang mengkonsumsi air minum tersebut,” ujarnya.

Sebelumnya pakar kesehatan Universitas Sumatera Utara yang namanya tak ingin disebutkan. “Bakteri E.Coli ini biasanya merupakan tanda kontaminasi feses manusia (kotoran manusia) pada sumber air minum,” papar dia secara khusus pada Sumut Pos, belum lama ini.

Kemudian, lanjutnya, ada tidaknya kontaminasi oleh bakteri pada air minum sebenarnya tergantung tempat pengambilan air yang dilakukan depot air minum tersebut. Misalnya, depot air minum yang sumber airnya dari air PDAM dan air sumur yang galiannya dekat dengan septi tank, jumlah kuantitas bakterinya akan jauh sangat berbeda.

“Jadi sebelum membeli air minum, terlebih dahulu mengecek sumber airnya,” saran dia.

Selain itu, kehadiran bakteri E.Coli juga bisa dipicu karena penggunaan ultraviolet yang tidak sesuai antara kapasitas dan kecepatan air yang melewati penyinaran ultraviolet tersebut. Akibat air terlalu cepat, maka bakterinya tidak mati.

Idealnya, untuk depot air minum isi ulang, kapasitas ultraviolet minimal adalah tipe 5 GPM atau daya lampu 30 watt dan kecepatan air yang melewati UV tersebut adalah 19 liter (1 galon ) per 1 menit 15 detik dan jangan lebih cepat dari itu. “Penyebab lain adalah kurangnya kebersihan depot dan lingkungan sekitar,” ujar sang dokter.

Tak hanya itu, sambungnya, karena keterbatasan modal, banyak yang membeli paket depot air yang harganya murah sehingga peralatan di bawah standar minimum. Harusnya, minimal menggunakan tabung berisi media pasir silika, karbon aktif, ultraviolet minimal tiype 5 GPM dan penyaringan micro filter/filter sedimen berukuran mulai 10 mikron sampai 01 mikron.

“Penyebab tambahan karena kurangnya kesadaran pemilik depot memeriksakan depotnya dalam 3 bulan sekali ke Dinas kesehatan setempat. Kontaminasi bakteri E.Coli ini biasanya merupakan tanda kontaminasi feses manusia (kotoran manusia) pada sumber air minum,” papar dia sembari mengatakan kalau tubuh manusia memiliki sistem pertahanan yang dapat menghalau bakteri-bakteri patogen yang masuk, sehingga jangan begitu khawatir mengkonsumsi air isi ulang tersebut. (dra/uma/omi/mag-19)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/