25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Narasumber Kompeten

Oleh: VINCENT WIJAYA
Ombudsman Sumut Media Group

SEPEKAN lalu Dewan Pers turun ke Medan untuk menyelesaikan konflik pemberitaan sejumlah media pers dengan beberapa pihak. Salah satu suratkabar Grup Sumut Pos ikut ‘disidangkan’ oleh Dewan Pers, dengan alasan pemberitaannya merugikan PT TPL yang berlokasi di Porsea, Sumatera Utara.

VINCENT WIJAYA
VINCENT WIJAYA

Suratkabar ini memang rajin menunaikan tanggung jawabnya memberikan informasi kepada masyarakat dengan memberitakan pengaduan dan keluhan masyarakat. Mulai soal dana Community Development (CD) yang tak maksimal disalurkan ke masyarakat, pengelolaan lingkungan hutan, hingga penyerobotan lahan.

Suratkabar ini tak pernah luput memberitakan semua peristiwa yang mengemuka di masyarakat itu—sekali lagi: peristiwa ini merupakan fakta lapangan. Misalnya, masalah dana CD bermula dari temuan anggota DPRD setempat, soal pengelolaan lingkungan berdasarkan laporan masyarakat yang mengeluhkan pembabatan hutan untuk kebutuhan bahan baku PT TPL, dan konflik penyerobotan lahan masyarakat. Dalam semua pemberitaan tersebut, suratkabar ini selalu berimbang, dengan tak pernah luput mengonfirmasikannya kepada pihak TPL.

Tetapi, entah mengapa, dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Dewan Pers sepekan lalu suratkabar ini dalam posisi terpojok. Semua pemberitaan tersebut dianggap mempunyai “opini menghakimi’, tidak seimbang karena porsi keterangan pihak TPL dianggap terlalu sedikit. Selain itu, narasumber berita dari masyarakat disebutkan tidak ‘kompeten’ dan tanpa diuji pula. Maka Dewan Pers memberi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) agar suratkabar ini memuat iklan permintaan maaf kepada TPL serta memuat hak jawab dari perusahaan tersebut.

Kalau Dewan Pers cermat, sepatutnya bisa menyimak bahwa semua sajian suratkabar ini sudah memenuhi standar pemberitaan yang diamanahkan oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang tentang Pers No.40/1999. Lihat saja, narasumber adalah anggota DPRD, masyarakat, dan aktivis lingkungan dari Walhi serta LSM lainnya. Bahkan pihak humas TPL sendiri juga ikut menjadi narasumber pemberitaan tersebut.

Semua narasumber itu punya kompetensi terhadap persoalan yang diberitakan oleh suratkabar ini. Anggota DPRD adalah wakil rakyat yang notabene dipilih rakyat untuk mengurus persoalan mereka, aktivis lingkungan punya perhatian terhadap masalah pengelolaan hutan dan lingkungan lainnya, masyarakat adalah pihak yang terlibat langsung dengan masalah yang diberitakan. Sedangkan humas PT TPL tentu berkompetensi menjelaskan persoalan tersebut.

Wartawan mengutip semua narasumber di atas sesuai standar profesional, sebagaimana amanah pasal 2 KEJ yang meminta “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Standar profesional itu berarti wartawan harus menghasilkan berita yang faktual dengan sumber jelas. Nah, bukankah semua peristiwa itu faktual? Para narasumber pun mempunyai posisi dan status yang cukup jelas. Semua dikutip sesuai porsinya, sehingga pemberitaan seyogianya sudah cukup proporsional dan berimbang.

Suratkabar ini pun menyiarkan berita itu semata-mata untuk memenuhi fungsinya sebagai media kontrol sosial sekaligus demi menjalankan peranan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui permasalahan tersebut, sembari melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Semua fungsi dan peranan ini termaktub dalam pasal 3 dan pasal 6 UU Pers No.40/1999. Toh, persoalan TPL juga berkaitan dengan kepentingan umum, apalagi bersinggungan dengan masyarakat dan lingkungan pula.

Tetapi peristiwa yang dialami suratkabar ini, saat difasilitasi oleh Dewan Pers untuk ‘berdamai’ dengan pihak PT TPL tempo hari, menyarankan agar wartawan selain cover both side, harus bisa memilih narasumber ‘kompeten’ pula.

Wah… memang tidak mudah menjadi wartawan di negeri ini.***

Oleh: VINCENT WIJAYA
Ombudsman Sumut Media Group

SEPEKAN lalu Dewan Pers turun ke Medan untuk menyelesaikan konflik pemberitaan sejumlah media pers dengan beberapa pihak. Salah satu suratkabar Grup Sumut Pos ikut ‘disidangkan’ oleh Dewan Pers, dengan alasan pemberitaannya merugikan PT TPL yang berlokasi di Porsea, Sumatera Utara.

VINCENT WIJAYA
VINCENT WIJAYA

Suratkabar ini memang rajin menunaikan tanggung jawabnya memberikan informasi kepada masyarakat dengan memberitakan pengaduan dan keluhan masyarakat. Mulai soal dana Community Development (CD) yang tak maksimal disalurkan ke masyarakat, pengelolaan lingkungan hutan, hingga penyerobotan lahan.

Suratkabar ini tak pernah luput memberitakan semua peristiwa yang mengemuka di masyarakat itu—sekali lagi: peristiwa ini merupakan fakta lapangan. Misalnya, masalah dana CD bermula dari temuan anggota DPRD setempat, soal pengelolaan lingkungan berdasarkan laporan masyarakat yang mengeluhkan pembabatan hutan untuk kebutuhan bahan baku PT TPL, dan konflik penyerobotan lahan masyarakat. Dalam semua pemberitaan tersebut, suratkabar ini selalu berimbang, dengan tak pernah luput mengonfirmasikannya kepada pihak TPL.

Tetapi, entah mengapa, dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Dewan Pers sepekan lalu suratkabar ini dalam posisi terpojok. Semua pemberitaan tersebut dianggap mempunyai “opini menghakimi’, tidak seimbang karena porsi keterangan pihak TPL dianggap terlalu sedikit. Selain itu, narasumber berita dari masyarakat disebutkan tidak ‘kompeten’ dan tanpa diuji pula. Maka Dewan Pers memberi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) agar suratkabar ini memuat iklan permintaan maaf kepada TPL serta memuat hak jawab dari perusahaan tersebut.

Kalau Dewan Pers cermat, sepatutnya bisa menyimak bahwa semua sajian suratkabar ini sudah memenuhi standar pemberitaan yang diamanahkan oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang tentang Pers No.40/1999. Lihat saja, narasumber adalah anggota DPRD, masyarakat, dan aktivis lingkungan dari Walhi serta LSM lainnya. Bahkan pihak humas TPL sendiri juga ikut menjadi narasumber pemberitaan tersebut.

Semua narasumber itu punya kompetensi terhadap persoalan yang diberitakan oleh suratkabar ini. Anggota DPRD adalah wakil rakyat yang notabene dipilih rakyat untuk mengurus persoalan mereka, aktivis lingkungan punya perhatian terhadap masalah pengelolaan hutan dan lingkungan lainnya, masyarakat adalah pihak yang terlibat langsung dengan masalah yang diberitakan. Sedangkan humas PT TPL tentu berkompetensi menjelaskan persoalan tersebut.

Wartawan mengutip semua narasumber di atas sesuai standar profesional, sebagaimana amanah pasal 2 KEJ yang meminta “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.” Standar profesional itu berarti wartawan harus menghasilkan berita yang faktual dengan sumber jelas. Nah, bukankah semua peristiwa itu faktual? Para narasumber pun mempunyai posisi dan status yang cukup jelas. Semua dikutip sesuai porsinya, sehingga pemberitaan seyogianya sudah cukup proporsional dan berimbang.

Suratkabar ini pun menyiarkan berita itu semata-mata untuk memenuhi fungsinya sebagai media kontrol sosial sekaligus demi menjalankan peranan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui permasalahan tersebut, sembari melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Semua fungsi dan peranan ini termaktub dalam pasal 3 dan pasal 6 UU Pers No.40/1999. Toh, persoalan TPL juga berkaitan dengan kepentingan umum, apalagi bersinggungan dengan masyarakat dan lingkungan pula.

Tetapi peristiwa yang dialami suratkabar ini, saat difasilitasi oleh Dewan Pers untuk ‘berdamai’ dengan pihak PT TPL tempo hari, menyarankan agar wartawan selain cover both side, harus bisa memilih narasumber ‘kompeten’ pula.

Wah… memang tidak mudah menjadi wartawan di negeri ini.***

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/