26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Diperas Mafia, Dikerjain ‘Saudara’ di Tanah Suci

Hiruk-pikuk tahunan di setiap musim haji, bukan sekadar riuh pengantar menuju embarkasi pemberangkatan. Emosi dan tangisan selalu terjadi bagi calon jamaah haji yang ternyata gagal berangkat. Padahal, sudah telanjur membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).

Mengapa ini bisa terjadi? Pengamat masalah haji, Muhammad Subarkah, menyebut, pemicu masalahnya sangat lah kompleks. Dia menduga mafia antarnegara sudah lama beroperasi, menangguk keuntungan lewat aksi tipu-tipu. Mafia profesional, sudah mapan, menggarap calon jemaah haji yang sudah lansia, pendidikan rendah, dan ngebet ingin segera bersimpuh di Baitullah Makkah. “Saya yakin mafia ini melibatkan oknum di Kemenag dan Kedubes RI di Arab Saudi, juga menyebar calo-calo ke daerah-daerah,” ujar Muhammad Subarkah.

Penulis buku Lelaki Buta Melihat Kabah ini menjelaskan modus operasi mafia yang rutin dilakukan. Yakni memberikan harapan bahwa ada kuota tambahan yang akan diberikan pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia. “Misal untuk tahun ini, minta tambahan kuota 30 ribu. Nyatanya tidak diberikan, sementara sudah banyak yang membayar. Akhirnya banyak yang gagal berangkat,” imbuh wartawan senior itu.

 

Mafia selalu bisa mendapatkan mangsa, lanjut dia, karena masyarakat Indonesia sendiri cenderung tidak sabaran dan main terabas aturan untuk bisa beribadah haji.  Faktor lain adalah rendahnya tingkat pendidikan mayoritas calon jamaah haji Indonesia. Sudah pendidikan rendah, sebagian besar sudah tua renta. “Gampang dikerjai mafia,” imbuhnya.

Yang memperparah, banyak dari mereka yang sama sekali tak paham bahasa Arab dan tak bisa berbahasa Indonesia. Bisanya cuman bahasa daerah.  Bukan itu saja, mereka juga digarap mafia penjahat yang punya jaringan di Makkah dan Madinah. Mereka beroperasi dengan sasaran khusus, yakni jamaah tua renta dan yang hanya bisa bahasa daerah.

Siapa yang menggarap? Justru para penipunya adalah orang yang berasal dari daerah yang sama dengan jamaah itu, yang sudah lama berdomisili di negeri Kurma itu.

“Misalnya, yang  dari Batak diajak bicara bahasa batak, ngobrol, jalan-jalan. Dibilang tasnya dibawakan, ternyata uang puluhan juta lenyap. Stres, sakit, dan meninggal di sana ,” bebernya. (sam)

Hiruk-pikuk tahunan di setiap musim haji, bukan sekadar riuh pengantar menuju embarkasi pemberangkatan. Emosi dan tangisan selalu terjadi bagi calon jamaah haji yang ternyata gagal berangkat. Padahal, sudah telanjur membayar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).

Mengapa ini bisa terjadi? Pengamat masalah haji, Muhammad Subarkah, menyebut, pemicu masalahnya sangat lah kompleks. Dia menduga mafia antarnegara sudah lama beroperasi, menangguk keuntungan lewat aksi tipu-tipu. Mafia profesional, sudah mapan, menggarap calon jemaah haji yang sudah lansia, pendidikan rendah, dan ngebet ingin segera bersimpuh di Baitullah Makkah. “Saya yakin mafia ini melibatkan oknum di Kemenag dan Kedubes RI di Arab Saudi, juga menyebar calo-calo ke daerah-daerah,” ujar Muhammad Subarkah.

Penulis buku Lelaki Buta Melihat Kabah ini menjelaskan modus operasi mafia yang rutin dilakukan. Yakni memberikan harapan bahwa ada kuota tambahan yang akan diberikan pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia. “Misal untuk tahun ini, minta tambahan kuota 30 ribu. Nyatanya tidak diberikan, sementara sudah banyak yang membayar. Akhirnya banyak yang gagal berangkat,” imbuh wartawan senior itu.

 

Mafia selalu bisa mendapatkan mangsa, lanjut dia, karena masyarakat Indonesia sendiri cenderung tidak sabaran dan main terabas aturan untuk bisa beribadah haji.  Faktor lain adalah rendahnya tingkat pendidikan mayoritas calon jamaah haji Indonesia. Sudah pendidikan rendah, sebagian besar sudah tua renta. “Gampang dikerjai mafia,” imbuhnya.

Yang memperparah, banyak dari mereka yang sama sekali tak paham bahasa Arab dan tak bisa berbahasa Indonesia. Bisanya cuman bahasa daerah.  Bukan itu saja, mereka juga digarap mafia penjahat yang punya jaringan di Makkah dan Madinah. Mereka beroperasi dengan sasaran khusus, yakni jamaah tua renta dan yang hanya bisa bahasa daerah.

Siapa yang menggarap? Justru para penipunya adalah orang yang berasal dari daerah yang sama dengan jamaah itu, yang sudah lama berdomisili di negeri Kurma itu.

“Misalnya, yang  dari Batak diajak bicara bahasa batak, ngobrol, jalan-jalan. Dibilang tasnya dibawakan, ternyata uang puluhan juta lenyap. Stres, sakit, dan meninggal di sana ,” bebernya. (sam)

Artikel Terkait

Tragedi Akhir Tahun si Logo Merah

Incar Bule karena Hasil Lebih Besar

Baru Mudik Usai Lebaran

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/