26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Manusia Juga

Tidak selalu enak menjadi publik figur. Terserah itu pejabat, ulama, artis, atlet, pengusaha, atau apapun itu. Pasalnya, ketika kita menjadi publik figur, ada anggapan warga kalau kita bukan manusia.

Ya, seorang publik figur semacam dituntut tak boleh salah. Tidak boleh pula terlihat begitu emosi. Dewasa. Penuh solusi. Intinya, seorang publik figur harus terus berada di tataran ideal; sempurna.

Maka, ketika mengetahui kalau Kapoldasu Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro emosi melihat anggotanya yang tak ‘becus’ tadi malam di Kantor Gubernur Sumatera Utara yang berada di Jalan Diponegoro, ada warga yang merasa hal itu konyol. Baginya, seorang pemimpin tidak boleh semacam itu, apalagi emosi Kapoldasu diluapkan di depan umum. Kasarnya, Kapoldasu dianggap kurang dewasa.

Nah, itu dia, menjadi publik figur kadang tidak menyenangkan bukan? Padahal kalau kita mau bijak melihat dan memandang Kapoldasu sebagai manusia juga, kita akan paham dengan emosi si Kapoldasu tadi. Bayangkan saja, sejak pagi sang Kapoldasu sudah bertugas mengamankan para buruh. Ketika malam, ketika konsentrasi mulai berkurang, dan kewaspadaan mulai aus, tiba-tiba pagar Kantor Gubsu dirobohkan massa. Tak pelak, Kapoldasu terkejut dan emosi mengetahui itu. Bagaimana tidak, harusnya hal itu kan bisa diantisipasi anggotanya.

Menariknya lagi, tadi malam, Kapoldasu pun terlihat begitu manusiawi (selain menunjukkan amarah). Perhatikan kalimatnya pada buruh, “Kalau kalian lapar, saya juga lapar. Kalau kalian capek, saya juga capek. Kalian tahu saya juga dari pagi bersama kalian,” begitu katanya. Artinya, sebagai publik figur, Kapoldasu ingin dianggap sebagai manusia juga.

Dia pun meminta buruh bersabar soal tuntutan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). “Kalau saya bisa putuskan, tapi saya tidak punya kewenangan itu. Kalau Pak Gubsu tetap dengan upah Rp1.375.000, ya kita tunggu,” katanya sembari menekankan kalau sebagai Kapolda pun dia punya batas.
Ya, soal UMP bukan domain dia. Soal itu urusan gubernur, di Sumut jadi pekerjaan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho. Nah, Gatot juga manusia kan? Tentunya dia tidak bisa langsung memenuhi permintaan buruh. Menentukan UMP tidak bisa dilakukannya sendiri, banyak pihak yang dilibatkan.

Lalu, buruh harus bagaimana? Setidaknya, sebagai manusia, buruh juga butuh penghidupan yang layak. Berharap pada pengusaha rasanya sulit juga, pasalnya pengusaha juga manusia. Buktinya, pengusaha pun mulai tak nyaman dengan aksi buruh yang terus minta kenaikan upah. Kalau biaya produksi tak bisa menutupi perusahaan, bagaimana? Pengusaha bisa menutup perusahaannya kan? Buruh juga yang rugi kan? Ayolah, pengusaha kan juga manusia yang pastinya butuh makan dan senang-senang.

Lalu, ketika semua manusia, kemana lagi manusia-manusia yang tertindas mengadu? Hm siapa yang tertindas? Bukankah posisi Kapoldasu, Gatot, buruh, dan pengusaha untuk kasus ini kan sama-sama tertindas. Ya, keempatnya sama-sama tidak bisa mendapatkan yang diinginkan dan tidak bisa berbuat banyak terhadap keadaan. Ya, semuanya masih manusia. Begitukan? (*)

Tidak selalu enak menjadi publik figur. Terserah itu pejabat, ulama, artis, atlet, pengusaha, atau apapun itu. Pasalnya, ketika kita menjadi publik figur, ada anggapan warga kalau kita bukan manusia.

Ya, seorang publik figur semacam dituntut tak boleh salah. Tidak boleh pula terlihat begitu emosi. Dewasa. Penuh solusi. Intinya, seorang publik figur harus terus berada di tataran ideal; sempurna.

Maka, ketika mengetahui kalau Kapoldasu Irjen Pol Wisjnu Amat Sastro emosi melihat anggotanya yang tak ‘becus’ tadi malam di Kantor Gubernur Sumatera Utara yang berada di Jalan Diponegoro, ada warga yang merasa hal itu konyol. Baginya, seorang pemimpin tidak boleh semacam itu, apalagi emosi Kapoldasu diluapkan di depan umum. Kasarnya, Kapoldasu dianggap kurang dewasa.

Nah, itu dia, menjadi publik figur kadang tidak menyenangkan bukan? Padahal kalau kita mau bijak melihat dan memandang Kapoldasu sebagai manusia juga, kita akan paham dengan emosi si Kapoldasu tadi. Bayangkan saja, sejak pagi sang Kapoldasu sudah bertugas mengamankan para buruh. Ketika malam, ketika konsentrasi mulai berkurang, dan kewaspadaan mulai aus, tiba-tiba pagar Kantor Gubsu dirobohkan massa. Tak pelak, Kapoldasu terkejut dan emosi mengetahui itu. Bagaimana tidak, harusnya hal itu kan bisa diantisipasi anggotanya.

Menariknya lagi, tadi malam, Kapoldasu pun terlihat begitu manusiawi (selain menunjukkan amarah). Perhatikan kalimatnya pada buruh, “Kalau kalian lapar, saya juga lapar. Kalau kalian capek, saya juga capek. Kalian tahu saya juga dari pagi bersama kalian,” begitu katanya. Artinya, sebagai publik figur, Kapoldasu ingin dianggap sebagai manusia juga.

Dia pun meminta buruh bersabar soal tuntutan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). “Kalau saya bisa putuskan, tapi saya tidak punya kewenangan itu. Kalau Pak Gubsu tetap dengan upah Rp1.375.000, ya kita tunggu,” katanya sembari menekankan kalau sebagai Kapolda pun dia punya batas.
Ya, soal UMP bukan domain dia. Soal itu urusan gubernur, di Sumut jadi pekerjaan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho. Nah, Gatot juga manusia kan? Tentunya dia tidak bisa langsung memenuhi permintaan buruh. Menentukan UMP tidak bisa dilakukannya sendiri, banyak pihak yang dilibatkan.

Lalu, buruh harus bagaimana? Setidaknya, sebagai manusia, buruh juga butuh penghidupan yang layak. Berharap pada pengusaha rasanya sulit juga, pasalnya pengusaha juga manusia. Buktinya, pengusaha pun mulai tak nyaman dengan aksi buruh yang terus minta kenaikan upah. Kalau biaya produksi tak bisa menutupi perusahaan, bagaimana? Pengusaha bisa menutup perusahaannya kan? Buruh juga yang rugi kan? Ayolah, pengusaha kan juga manusia yang pastinya butuh makan dan senang-senang.

Lalu, ketika semua manusia, kemana lagi manusia-manusia yang tertindas mengadu? Hm siapa yang tertindas? Bukankah posisi Kapoldasu, Gatot, buruh, dan pengusaha untuk kasus ini kan sama-sama tertindas. Ya, keempatnya sama-sama tidak bisa mendapatkan yang diinginkan dan tidak bisa berbuat banyak terhadap keadaan. Ya, semuanya masih manusia. Begitukan? (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/