24 C
Medan
Tuesday, November 5, 2024
spot_img

Saat Jalan Disemen, Saatnya tak Ada Jalan Keluar

Ada suara manusia berbahasa Indonesia berdialek asing. Bukan dialek Medan. Bukan pula dialek Toba, apalagi dialek Jakarta. Suara-suara itu membahana di gang rumah kontrakan saya. Tepatnya jam dua malam atau Rabu dini hari lalu. Benar-benar aneh.

Dari dalam rumah saya tidak bisa begitu mencerna apa yang diungkapkan manusia-manusia itu. Suara mereka memang keras, namun artikulasinya kurang jelas. Ya, sudah saya buka pintu. Saya sedikit terkejut, tetangga saya rupanya sudah keluar rumah semuanya. Akhirnya saya memilih berdiri di dekat pagar. Dari situ saya baru paham, manusia-manusia yang saya maksud tadi memakai dialek campuran. Sekilas terdengar dialek Banyumasan. Tapi, beberapa suara ada pula yang berdialek Jawa Timuran. Perpaduan yang menarik.

Manusia-manusia yang hadir di gang rumah saya itu berjumlah belasan. Mereka cuek. Mereka cenderung tak peduli dengan warga gang yang sudah di depan rumah masing-masing. Sepertinya mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Beberapa tetangga berkumpul di depan salah satu rumah. Ya sudah, saya bergabung di sana. Begitu sampai di sana dan berbincang, saya tersenyum. Bagaimana tidak, di antara suara dialek Banyumasan dan Jawa Timuran yang membahana, ternyata masih ada dialek Medan.

“Tak betulnya orang nih, masak malam-malam kekgini nyemen jalan,” kata seorang tetangga dengan logat kental Medannya.
Saya tertawa. “Siapa rupanya orang itu Bang,” balas saya.

“Tak tahu, terkejut aku dengar suara orang tuh. Kupikir ada maling yang berondok di gang kita, terus orang tuh kejar,” kata tetangga tadi. “Pas aku keluar, rupanya orang tuh mau nyemen gang kita,” tambahnya.
“Gak dikasih tahu kita?”

“Itu dia, tiba-tiba kali,” balas tetangga tadi. “Kau tanyalah sama orang tuh, kau kan wartawan,” tambahnya lagi.

Ya sudah, saya datangi manusia-manusia itu. Dari perbincangan singkat kami, saya ketahui kalau mereka adalah pekerja yang ditugasi menyemen jalan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Medan. Kenapa harus malam-malam? Mereka tak bisa menjawab. Kenapa mendadak? Mereka juga tak bisa menjawab. Yang bisa mereka jawab hanya kalau mereka diberi tugas. Tidak hanya gang kami, gang sebelah juga mereka semen. Mereka pun kemudian menceritakan soal teknis penyemenan itu.

“Kekgitu katanya, Bang,” kata saya usai menceritakan perbincangan dengan pekerja pada kumpulan tetangga.

“Jadi semuanya disemen? Kekmana dengan saluran air di bawah gang kita ini? Lubang kontrolnya disemen juga?” balas tetangga saya yang lain.

Lalu, saya pun bercerita (tentunya sesuai penjelasan para pekerja itu). Saya katakan, semen akan dilakukan dari ujung gang ke ujung gang lainnya. Lubang kontrol tetap akan dipelihara. Artinya, tetap dibiarkan ada. Dengan kata lain, kami warga gang ‘gak harus khawatir. Lalu, kami tak berbincang lagi. Kami fokus memperhatikan penyemenan di ujung gang ke arah Jalan Rivai Manaf atau yang sering disebut oleh warga Jalan Panglima Denai.

Tak lama kemudian, masuk mobil pikup. Mobil itu masuk dengan jalan mundur dari arah dalam (bukan dari Jalan Panglima Denai). Sebagai informasi, gang kami adalah gang kecil. Dari arah Jalan Panglima Denai, hanya sepeda motor yang bisa masuk ke gang. Sementara dari dalam, hanya satu mobil kecil yang bisa masuk; itupun tak bisa memutar dan ketika ada mobil, gang akan penuh.

Nah, dari arah dalam itu mobil pikup tadi jalan mundur. Dia berhenti dan pekerja langsung membuka penutup pikup tadi, semen pun langsung tumpah. Begitu semen tumpah di gang, pekerja langsung meratakannya. Kerja mereka begitu cepat. Ingat saya, hanya tiga kali mobil pikup itu masuk gang. Penyemenan pun selesai. Saat pengerjaan, tetangga saya membuatkan teh manas panas untuk pekerja. Intinya, warga gang mendukung pembangunan (heheheheh). Dengan kata lain, meski sempat suntuk karena terganggu tidur, proses penyemenan gang kami biarkan berjalan lancar.

Masalah muncul ketika pagi. Semen belum kering. Kami terjebak. Sepeda motor kami tak ada yang bisa keluar rumah. Harusnya bisa saja, tapi semen akan berbekas bukan? Atas nama mendukung pembangunan, kami pun rela berangkat kerja naik angkutan kota. Setidaknya, itu kan hanya untuk satu hari.

Sayangnya, menjelang siang turun pula hujan. Semen kembali mencair. Warga protes. Gang kami pun jadi kumuh.Harusnya kalau semen bagus, dia sudah kering sebelum hujan turun. Artinya, warga pun curiga ada yang tak benar dari proyek itu. Parahnya lagi, setelah kami perhatikan, penyemenan malam itu tidak tuntas. Ada sepuluh meter di arah Jalan Panglima Denai yang belum disemen. Pun, di arah dalam, ada sekitar sepuluh meter yang belum disemen juga.

Ujung-ujungnya, tim manusia berdialek aneh itu datang lagi malam hari. Sekira pukul sepuluh malam, mereka menyemen gang yang tersisa. Tak pelak, kami makin terjebak. Harusnya terjebak sehari, jadi dua hari. Merepotkan sekali. Idealnya, pikir warga gang, proyek itu harus memakai strategi. Ya, jangan kami dikepung seperti itu. Bukankah lebih baik disemen satu sisi dulu; misalnya yang dari arah Jalan Panglima Denai dulu. Jika begitu, kami kan tidak terkepung karena kami bisa keluar gang dari arah dalam, begitu juga sebaliknya. Parahnya lagi, ketika hari Kamisnya, pagi hari,  ada anggota  tim proyek itu datang. Dia memasuki gang dengan sepeda motornya. Dia lalui semen yang belum kering itu. Bekas bannya sangat ketara. Dan, dia memfoto gang kami. Menariknya yang dia foto adalah gang yang disemen pada malam Kamis pukul sepuluh malam itu. Artinya, yang dia foto adalah yang bagus.

“Woi penipu!” teriak tetangga saya.

Sang pefoto ngacir.
“Lihat, yang difoto yang bagus aja! Kurang ajar! Lihat yang kalian semen ini, becek!” geram tetangga saya.
Sang pefoto sudah tak ada lagi.

“Iya, yang disemen belakangan ini lebih bagus. Warnanya lihat?” balas yang lain sambil menunjukkan bagian yang disemen pada malam Kamis.
“Kalau tahu gini, kita larang aja mereka nyemen. Kan, masih bagus yang kita semen dulu. Sekarang gang kita malah tambah kumuh. Dasar, cuma ngabisin anggaran saja,” sahut lainnya.
Tetangga yang lebih bijak bicara agak kalem. Tapi, kalimatnya membuat saya miris. “Kita ganti saja nama gang kita, jangan Gang Astra lagi, tapi Gang Kumuh. Atau, Gang Perkim?” katanya. “Bisa kau masukan ke koran?” tambahnya.
Saya mengangguk. Fiuh.

Begitulah, saya tulis lantun ini. Bukan hanya karena permintaan tetangga, tapi karena sangat tak nyaman tinggal di gang yang jalannya kumuh. Apalagi, ketika telah berkorban selama dua hari saat penyemenan itu. Hm, pernahkah Pak Kadis Perkim merasakan hal semacam ini? (*)

 

Ada suara manusia berbahasa Indonesia berdialek asing. Bukan dialek Medan. Bukan pula dialek Toba, apalagi dialek Jakarta. Suara-suara itu membahana di gang rumah kontrakan saya. Tepatnya jam dua malam atau Rabu dini hari lalu. Benar-benar aneh.

Dari dalam rumah saya tidak bisa begitu mencerna apa yang diungkapkan manusia-manusia itu. Suara mereka memang keras, namun artikulasinya kurang jelas. Ya, sudah saya buka pintu. Saya sedikit terkejut, tetangga saya rupanya sudah keluar rumah semuanya. Akhirnya saya memilih berdiri di dekat pagar. Dari situ saya baru paham, manusia-manusia yang saya maksud tadi memakai dialek campuran. Sekilas terdengar dialek Banyumasan. Tapi, beberapa suara ada pula yang berdialek Jawa Timuran. Perpaduan yang menarik.

Manusia-manusia yang hadir di gang rumah saya itu berjumlah belasan. Mereka cuek. Mereka cenderung tak peduli dengan warga gang yang sudah di depan rumah masing-masing. Sepertinya mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Beberapa tetangga berkumpul di depan salah satu rumah. Ya sudah, saya bergabung di sana. Begitu sampai di sana dan berbincang, saya tersenyum. Bagaimana tidak, di antara suara dialek Banyumasan dan Jawa Timuran yang membahana, ternyata masih ada dialek Medan.

“Tak betulnya orang nih, masak malam-malam kekgini nyemen jalan,” kata seorang tetangga dengan logat kental Medannya.
Saya tertawa. “Siapa rupanya orang itu Bang,” balas saya.

“Tak tahu, terkejut aku dengar suara orang tuh. Kupikir ada maling yang berondok di gang kita, terus orang tuh kejar,” kata tetangga tadi. “Pas aku keluar, rupanya orang tuh mau nyemen gang kita,” tambahnya.
“Gak dikasih tahu kita?”

“Itu dia, tiba-tiba kali,” balas tetangga tadi. “Kau tanyalah sama orang tuh, kau kan wartawan,” tambahnya lagi.

Ya sudah, saya datangi manusia-manusia itu. Dari perbincangan singkat kami, saya ketahui kalau mereka adalah pekerja yang ditugasi menyemen jalan oleh Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Medan. Kenapa harus malam-malam? Mereka tak bisa menjawab. Kenapa mendadak? Mereka juga tak bisa menjawab. Yang bisa mereka jawab hanya kalau mereka diberi tugas. Tidak hanya gang kami, gang sebelah juga mereka semen. Mereka pun kemudian menceritakan soal teknis penyemenan itu.

“Kekgitu katanya, Bang,” kata saya usai menceritakan perbincangan dengan pekerja pada kumpulan tetangga.

“Jadi semuanya disemen? Kekmana dengan saluran air di bawah gang kita ini? Lubang kontrolnya disemen juga?” balas tetangga saya yang lain.

Lalu, saya pun bercerita (tentunya sesuai penjelasan para pekerja itu). Saya katakan, semen akan dilakukan dari ujung gang ke ujung gang lainnya. Lubang kontrol tetap akan dipelihara. Artinya, tetap dibiarkan ada. Dengan kata lain, kami warga gang ‘gak harus khawatir. Lalu, kami tak berbincang lagi. Kami fokus memperhatikan penyemenan di ujung gang ke arah Jalan Rivai Manaf atau yang sering disebut oleh warga Jalan Panglima Denai.

Tak lama kemudian, masuk mobil pikup. Mobil itu masuk dengan jalan mundur dari arah dalam (bukan dari Jalan Panglima Denai). Sebagai informasi, gang kami adalah gang kecil. Dari arah Jalan Panglima Denai, hanya sepeda motor yang bisa masuk ke gang. Sementara dari dalam, hanya satu mobil kecil yang bisa masuk; itupun tak bisa memutar dan ketika ada mobil, gang akan penuh.

Nah, dari arah dalam itu mobil pikup tadi jalan mundur. Dia berhenti dan pekerja langsung membuka penutup pikup tadi, semen pun langsung tumpah. Begitu semen tumpah di gang, pekerja langsung meratakannya. Kerja mereka begitu cepat. Ingat saya, hanya tiga kali mobil pikup itu masuk gang. Penyemenan pun selesai. Saat pengerjaan, tetangga saya membuatkan teh manas panas untuk pekerja. Intinya, warga gang mendukung pembangunan (heheheheh). Dengan kata lain, meski sempat suntuk karena terganggu tidur, proses penyemenan gang kami biarkan berjalan lancar.

Masalah muncul ketika pagi. Semen belum kering. Kami terjebak. Sepeda motor kami tak ada yang bisa keluar rumah. Harusnya bisa saja, tapi semen akan berbekas bukan? Atas nama mendukung pembangunan, kami pun rela berangkat kerja naik angkutan kota. Setidaknya, itu kan hanya untuk satu hari.

Sayangnya, menjelang siang turun pula hujan. Semen kembali mencair. Warga protes. Gang kami pun jadi kumuh.Harusnya kalau semen bagus, dia sudah kering sebelum hujan turun. Artinya, warga pun curiga ada yang tak benar dari proyek itu. Parahnya lagi, setelah kami perhatikan, penyemenan malam itu tidak tuntas. Ada sepuluh meter di arah Jalan Panglima Denai yang belum disemen. Pun, di arah dalam, ada sekitar sepuluh meter yang belum disemen juga.

Ujung-ujungnya, tim manusia berdialek aneh itu datang lagi malam hari. Sekira pukul sepuluh malam, mereka menyemen gang yang tersisa. Tak pelak, kami makin terjebak. Harusnya terjebak sehari, jadi dua hari. Merepotkan sekali. Idealnya, pikir warga gang, proyek itu harus memakai strategi. Ya, jangan kami dikepung seperti itu. Bukankah lebih baik disemen satu sisi dulu; misalnya yang dari arah Jalan Panglima Denai dulu. Jika begitu, kami kan tidak terkepung karena kami bisa keluar gang dari arah dalam, begitu juga sebaliknya. Parahnya lagi, ketika hari Kamisnya, pagi hari,  ada anggota  tim proyek itu datang. Dia memasuki gang dengan sepeda motornya. Dia lalui semen yang belum kering itu. Bekas bannya sangat ketara. Dan, dia memfoto gang kami. Menariknya yang dia foto adalah gang yang disemen pada malam Kamis pukul sepuluh malam itu. Artinya, yang dia foto adalah yang bagus.

“Woi penipu!” teriak tetangga saya.

Sang pefoto ngacir.
“Lihat, yang difoto yang bagus aja! Kurang ajar! Lihat yang kalian semen ini, becek!” geram tetangga saya.
Sang pefoto sudah tak ada lagi.

“Iya, yang disemen belakangan ini lebih bagus. Warnanya lihat?” balas yang lain sambil menunjukkan bagian yang disemen pada malam Kamis.
“Kalau tahu gini, kita larang aja mereka nyemen. Kan, masih bagus yang kita semen dulu. Sekarang gang kita malah tambah kumuh. Dasar, cuma ngabisin anggaran saja,” sahut lainnya.
Tetangga yang lebih bijak bicara agak kalem. Tapi, kalimatnya membuat saya miris. “Kita ganti saja nama gang kita, jangan Gang Astra lagi, tapi Gang Kumuh. Atau, Gang Perkim?” katanya. “Bisa kau masukan ke koran?” tambahnya.
Saya mengangguk. Fiuh.

Begitulah, saya tulis lantun ini. Bukan hanya karena permintaan tetangga, tapi karena sangat tak nyaman tinggal di gang yang jalannya kumuh. Apalagi, ketika telah berkorban selama dua hari saat penyemenan itu. Hm, pernahkah Pak Kadis Perkim merasakan hal semacam ini? (*)

 

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/