26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Moon

Entah kapan itu. Tapi aku ingat, ada hal-hal aneh terjadi pada diriku. sesuatu yang memang tak akan kulupakan selama aku masih hidup.

Cerpen: Fathromi R

Aku sangat suka melihat bulan. Aku bisa berjam-jam menatap bulan tanpa berkedip, sambil memperlihatkan senyum manis, berharap agar bulan pun turut senang melihatku. Aku pun gembira. Ada chemistry tersendiri atas aktifitas ini. Aku senang. Sangat senang melihat ia bersinar-sinar cantik. Kata orang, bulan tak bisa memancarkan cahaya sendiri. Ia hanya meminjam dari cahaya matahari. Maka, mataharilah sebenarnya punca dari cahaya menawan itu. Aku tak peduli soal itu. Yang kutahu, malam ini bulan terlihat sungguh anggun.

“Bukankah itu indah, Moon?” Tanyaku pada selembar pamplet gambar seekor kucing yang terpasang di mading ruangan lantai dua rumahku. Aku hanya tersenyum kecil. Tak ada suara yang kuterima. Gambar itu diam. Dan sepatutnya pula ia diam. Aku kembali melihat bulan. Ah! Kini ia ditutupi awan tipis. Sungguh mengganggu! Apakah tiap hari aku harus menahan sakit karena ada yang mengganggu penglihatanku untuk melihat kemolekan bulan malam ini? Bukankah semalam aku harus menahan kecewa karena langit tak memberiku kesempatan melihat bulan? “Lihat itu Moon! Awan-awan itu tak senang denganku!” aku bicara lagi dengan gambar kucing itu. “Entahlah, Moon. Kesendirian menyakitkan, memang. Jika engkau masih ada di sampingku, aku tentu tidak tertekan seperti ini.” Kataku sendiri. Mengadu.

Aku masih ingat kapan dan bagaimana pertemuanku dengan Moon. Aku menemukan kucing itu –yang saat itu masih sangat kecil- di sudut kota dalam keadaan kelaparan. Aku tak begitu menghiraukannya. Tapi ia mengikutiku. Terus mengikutiku. Padahal aku tahu, rumahnya di gedung megah itu. Aku masih tak begitu menghiraukannya. Aku takut tak bisa memberinya makan. Tapi ia terus mengikutiku. Seakan aku ini ibunya. Sesekali ia tampak seakan ingin menghadangku. Seekor kucing yang cukup lincah.

Mungkin ia telah dibuang majikannya, atau mungkin majikannya hanya butuh ibunya, atau ibunya sendiri yang membuangnya, atau ia dijatuhkan dari langit, atau..
Yang kutahu, saat aku membawanya, aku merasakan ada kesamaan di antara kami. Aku makin yakin, ketika aku sedang menikmati rembulan, ia turut memandang langit, tepatnya bulan yang tengah mengambang itu.
“Ternyata engkau juga sangat suka melihat bulan.”
Itulah kesamaan yang kumaksudkan.

Itu pulalah yang membuat aku menamainya Moon.
Hampir tiap malam saat langit cerah, atau ketika bulan terang, aku dan Moon bersama melihat begitu indahnya bulan. Aku tidak sendiri lagi. Begitu banyak hal yang kuceritakan pada Moon, dan Moon tampak sangat bersemangat mendengarkanku.

“Moon, ada banyak cerita tentang bulan. Entah itu mitos, atau aku pun tak begitu tahu itu, Moon. Di tempat kelahiranku, ribuan kilometer jaraknya dari kota ini, orang-orang banyak percaya tentang mitos bulan. Mereka yakin, di sana ada seorang nenek yang tengah memancing ikan. Engkau tahu ikannya apa Moon? Awan-awan dan segala macam benda yang ada di langit. Langit adalah lautan bagi nenek itu. Ketika aku kecil, aku benarkan kata-kata mereka. Aku teramat takut saat melihat bulan. Jika kita lihat corak di permukaan bulan, akan tampak seperti orang yang tengah memegang kayu yang panjang. Itulah nenek yang mereka sebut tengah memacing ikan. Aku makin percaya. Kata mereka lagi, dunia akan kiamat andai nenek itu selesai memancing, atau semua yang ia ingin pancing telah ia tangkap. Maka, aku pun selalu berharap agar nenek itu terus memancing.” Kataku panjang lebar.
“Saat aku besar. Mereka tak bisa menipuku dengan bualan-bualan kosong semacam itu lagi.” Kataku lagi.

Malam selanjutnya, aku kehabisan kata-kata. Tak ada suara. Sunyi. Hanya suara jangkrik bersahut-sahut.
“Sangat indah. Sangat indah.”

Aku berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Moon,
“Apakah itu kamu?”
“Menurutmu?”
Aku mendengar suara itu sangat jelas dan dekat di telingaku. Aku yakin sumber suara itu ada pada kucing penyuka bulan itu. Tapi aku tak melihat sedikitpun mulutnya bergerak-gerak.
“Apakah itu kamu?”
“Menurutmu bagaimana?”
Aku menghela napas. Mungkin aku perlu istirahat. Siang tadi aku memang banyak pekerjaan. Kusadari aku sangat letih. Kutinggalkan Moon yang masih duduk di pinggir jendela dengan cahaya bulan yang tampak merona.
Ia masih tampak antusias. Tak ada tanda-tanda akan beranjak dari duduknya. kepalanya mendongak. Kurasa bulan makin meninggi saat itu.. hingga aku pun terlelap.
***

Malam berikutnya, aku masih melihat bulan. Tak ketinggalan, Moon juga melihat bulan. Tak berkedip. Serupa patung.
“Aku yakin engkau tak akan bicara denganku malam ini.” Kataku.

Tak ada suara. Sudah kuduga. Hari ini aku tidak keletihan seperti semalam. Aku masih punya energi cukup untuk melihat bulan.
“Bicaralah jika engkau memang mau bicara denganku.” Kataku lagi.

Tak ada suara. Aku puas. Sangat puas. Moon ternyata memang tak bisa bicara. Artinya, semalam, aku hanya berhalusinasi.

Selesai menikmati bulan, aku pun istirahat. Sudah dua jam lebih aku duduk di kursi, dan aku harus istirahat. tapi aku tak melihat tanda-tanda Moon akan istirahat. Ia masih melihat bulan penuh semangat. Aku mulai cemburu. Awalnya aku anggap biasa saja. Tapi, saat aku merasa ada yang melebihi aku atas cintaku pada bulan, aku jadi iri.

“Engkau tak seharusnya ada di rumahku ini lagi.” Bentakku suatu malam. Saat itu Moon tengah duduk rapi di tepi jendela rumah, seperti biasa. Apa yang ia buat membuat aku naik muak. Sangat muak.
“O ya. Aku lupa. Engkau tak tahu sama sekali bahasa manusia. Sekarang aku akan membuangmu.”
Aku benar-benar membuangnya.

Sehari, dua hari, tiga hari. Aku merasa cukup senang. Hidupku seperti dulu. Tak ada yang mengganggu. Aku dan bulan bisa kembali saling merindu, saling berbagi pengalaman, saling berbagi rasa –meski hal saling berbagi itu tak lebih dari dalam pikiranku saja-.

Hari keempat, aku dilanda risau. Entah dari mana asalnya. Aku tak paham mengapa aku kembali peduli pada kucing menjengkelkan itu. Seperti ada yang kurang saat aku melihat bulan. Aku merasa sangat sendiri. Sunyi. Bulan mulai tak mau berbual padaku. Aku merasa berdosa pada kucing itu. Pada Moon.

Dan hal yang sangat membuatku malu untuk mengatakan, adalah, aku begitu rindu pada Moon.
Malam itu juga, aku ditemani lampu senter menelusuri lorong-lorong kota. Kucari di tiap sudut kegelapan malam, di tong-tong sampah bekarat, di balik tiang lampu jalanan, di cabang-cabang pepohonan, di atap rumah orang. Aku kewalahan. Ingin menangis, tapi tak bisa.

Malam itu kuputuskan untuk pulang setelah duduk sebentar di kursi taman kota yang tampak sepi. Kulihat bulan makin meninggi, makin tertutup awan suram. Sejak bertahun-tahun lalu aku membuat langkah menyukai bulan, baru hari ini aku mulai berpikir soal mengapa aku harus berlelah-lelah melihat benda yang tak pernah sama sekali turun untuk menjengukku, bahkan untuk menyapa ‘hai’ atas balasan dari yang telah aku perbuat selama ini. Mungkin kedengarannya aku gila untuk mendapatkan pamrih dari selingkar cahaya yang –kuakui- selalu bertingkah dingin, sedingin malam ini?
Esoknya, sepulang dari kerja, aku mencari Moon seisi kota. Tak berhasil. Kubuat pamplet dengan gambar Moon di sana, di bawah gambar itu kutulis; kucing hilang, berbulu abu-abu. Bagi yang menjumpai mohon hubungi nomor ini, tulisku. Aku yakin, dengan melihat gambar, mereka sudah mengerti. Di tiang-tiang lampu jalan, pepohonan, kedai-kedai, taman, halte, semua kupasang pemberitahuan itu.
Setelahnya, kutunggu beberapa hari, beberapa minggu, tak ada hasil.

Dengan perasaan kecewa, kutatap rembulan pada malam ketiga puluh sejak aku kehilangan Moon. bulan Purnama.
“Moon, purnama.”

Aku mulai terbiasa berkomunikasi dengan gambar Moon, sebagai tanda keputus asaan aku mencari Moon. Aku merasa Moon sudah hadir di rumah ini, di dinding itu. Aku senang, sangat senang. Terpaksa senang.
“Bukankah itu indah, Moon?”
Beberapa saat setelah itu, aku terlelap. Dalam tidur aku bermimpi Moon bicara padaku, ia tidak lagi tinggal di bumi, juga tidak di bulan, tapi sekarang ia aman, katanya. Aku sangat bahagia mengetahui itu. Sangat bahagia.***

Fathromi R,
penulis cerpen. Karya-karyanya mewarnai berbagai media massa. aktif di Forum Lingkar Pena

Entah kapan itu. Tapi aku ingat, ada hal-hal aneh terjadi pada diriku. sesuatu yang memang tak akan kulupakan selama aku masih hidup.

Cerpen: Fathromi R

Aku sangat suka melihat bulan. Aku bisa berjam-jam menatap bulan tanpa berkedip, sambil memperlihatkan senyum manis, berharap agar bulan pun turut senang melihatku. Aku pun gembira. Ada chemistry tersendiri atas aktifitas ini. Aku senang. Sangat senang melihat ia bersinar-sinar cantik. Kata orang, bulan tak bisa memancarkan cahaya sendiri. Ia hanya meminjam dari cahaya matahari. Maka, mataharilah sebenarnya punca dari cahaya menawan itu. Aku tak peduli soal itu. Yang kutahu, malam ini bulan terlihat sungguh anggun.

“Bukankah itu indah, Moon?” Tanyaku pada selembar pamplet gambar seekor kucing yang terpasang di mading ruangan lantai dua rumahku. Aku hanya tersenyum kecil. Tak ada suara yang kuterima. Gambar itu diam. Dan sepatutnya pula ia diam. Aku kembali melihat bulan. Ah! Kini ia ditutupi awan tipis. Sungguh mengganggu! Apakah tiap hari aku harus menahan sakit karena ada yang mengganggu penglihatanku untuk melihat kemolekan bulan malam ini? Bukankah semalam aku harus menahan kecewa karena langit tak memberiku kesempatan melihat bulan? “Lihat itu Moon! Awan-awan itu tak senang denganku!” aku bicara lagi dengan gambar kucing itu. “Entahlah, Moon. Kesendirian menyakitkan, memang. Jika engkau masih ada di sampingku, aku tentu tidak tertekan seperti ini.” Kataku sendiri. Mengadu.

Aku masih ingat kapan dan bagaimana pertemuanku dengan Moon. Aku menemukan kucing itu –yang saat itu masih sangat kecil- di sudut kota dalam keadaan kelaparan. Aku tak begitu menghiraukannya. Tapi ia mengikutiku. Terus mengikutiku. Padahal aku tahu, rumahnya di gedung megah itu. Aku masih tak begitu menghiraukannya. Aku takut tak bisa memberinya makan. Tapi ia terus mengikutiku. Seakan aku ini ibunya. Sesekali ia tampak seakan ingin menghadangku. Seekor kucing yang cukup lincah.

Mungkin ia telah dibuang majikannya, atau mungkin majikannya hanya butuh ibunya, atau ibunya sendiri yang membuangnya, atau ia dijatuhkan dari langit, atau..
Yang kutahu, saat aku membawanya, aku merasakan ada kesamaan di antara kami. Aku makin yakin, ketika aku sedang menikmati rembulan, ia turut memandang langit, tepatnya bulan yang tengah mengambang itu.
“Ternyata engkau juga sangat suka melihat bulan.”
Itulah kesamaan yang kumaksudkan.

Itu pulalah yang membuat aku menamainya Moon.
Hampir tiap malam saat langit cerah, atau ketika bulan terang, aku dan Moon bersama melihat begitu indahnya bulan. Aku tidak sendiri lagi. Begitu banyak hal yang kuceritakan pada Moon, dan Moon tampak sangat bersemangat mendengarkanku.

“Moon, ada banyak cerita tentang bulan. Entah itu mitos, atau aku pun tak begitu tahu itu, Moon. Di tempat kelahiranku, ribuan kilometer jaraknya dari kota ini, orang-orang banyak percaya tentang mitos bulan. Mereka yakin, di sana ada seorang nenek yang tengah memancing ikan. Engkau tahu ikannya apa Moon? Awan-awan dan segala macam benda yang ada di langit. Langit adalah lautan bagi nenek itu. Ketika aku kecil, aku benarkan kata-kata mereka. Aku teramat takut saat melihat bulan. Jika kita lihat corak di permukaan bulan, akan tampak seperti orang yang tengah memegang kayu yang panjang. Itulah nenek yang mereka sebut tengah memacing ikan. Aku makin percaya. Kata mereka lagi, dunia akan kiamat andai nenek itu selesai memancing, atau semua yang ia ingin pancing telah ia tangkap. Maka, aku pun selalu berharap agar nenek itu terus memancing.” Kataku panjang lebar.
“Saat aku besar. Mereka tak bisa menipuku dengan bualan-bualan kosong semacam itu lagi.” Kataku lagi.

Malam selanjutnya, aku kehabisan kata-kata. Tak ada suara. Sunyi. Hanya suara jangkrik bersahut-sahut.
“Sangat indah. Sangat indah.”

Aku berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Moon,
“Apakah itu kamu?”
“Menurutmu?”
Aku mendengar suara itu sangat jelas dan dekat di telingaku. Aku yakin sumber suara itu ada pada kucing penyuka bulan itu. Tapi aku tak melihat sedikitpun mulutnya bergerak-gerak.
“Apakah itu kamu?”
“Menurutmu bagaimana?”
Aku menghela napas. Mungkin aku perlu istirahat. Siang tadi aku memang banyak pekerjaan. Kusadari aku sangat letih. Kutinggalkan Moon yang masih duduk di pinggir jendela dengan cahaya bulan yang tampak merona.
Ia masih tampak antusias. Tak ada tanda-tanda akan beranjak dari duduknya. kepalanya mendongak. Kurasa bulan makin meninggi saat itu.. hingga aku pun terlelap.
***

Malam berikutnya, aku masih melihat bulan. Tak ketinggalan, Moon juga melihat bulan. Tak berkedip. Serupa patung.
“Aku yakin engkau tak akan bicara denganku malam ini.” Kataku.

Tak ada suara. Sudah kuduga. Hari ini aku tidak keletihan seperti semalam. Aku masih punya energi cukup untuk melihat bulan.
“Bicaralah jika engkau memang mau bicara denganku.” Kataku lagi.

Tak ada suara. Aku puas. Sangat puas. Moon ternyata memang tak bisa bicara. Artinya, semalam, aku hanya berhalusinasi.

Selesai menikmati bulan, aku pun istirahat. Sudah dua jam lebih aku duduk di kursi, dan aku harus istirahat. tapi aku tak melihat tanda-tanda Moon akan istirahat. Ia masih melihat bulan penuh semangat. Aku mulai cemburu. Awalnya aku anggap biasa saja. Tapi, saat aku merasa ada yang melebihi aku atas cintaku pada bulan, aku jadi iri.

“Engkau tak seharusnya ada di rumahku ini lagi.” Bentakku suatu malam. Saat itu Moon tengah duduk rapi di tepi jendela rumah, seperti biasa. Apa yang ia buat membuat aku naik muak. Sangat muak.
“O ya. Aku lupa. Engkau tak tahu sama sekali bahasa manusia. Sekarang aku akan membuangmu.”
Aku benar-benar membuangnya.

Sehari, dua hari, tiga hari. Aku merasa cukup senang. Hidupku seperti dulu. Tak ada yang mengganggu. Aku dan bulan bisa kembali saling merindu, saling berbagi pengalaman, saling berbagi rasa –meski hal saling berbagi itu tak lebih dari dalam pikiranku saja-.

Hari keempat, aku dilanda risau. Entah dari mana asalnya. Aku tak paham mengapa aku kembali peduli pada kucing menjengkelkan itu. Seperti ada yang kurang saat aku melihat bulan. Aku merasa sangat sendiri. Sunyi. Bulan mulai tak mau berbual padaku. Aku merasa berdosa pada kucing itu. Pada Moon.

Dan hal yang sangat membuatku malu untuk mengatakan, adalah, aku begitu rindu pada Moon.
Malam itu juga, aku ditemani lampu senter menelusuri lorong-lorong kota. Kucari di tiap sudut kegelapan malam, di tong-tong sampah bekarat, di balik tiang lampu jalanan, di cabang-cabang pepohonan, di atap rumah orang. Aku kewalahan. Ingin menangis, tapi tak bisa.

Malam itu kuputuskan untuk pulang setelah duduk sebentar di kursi taman kota yang tampak sepi. Kulihat bulan makin meninggi, makin tertutup awan suram. Sejak bertahun-tahun lalu aku membuat langkah menyukai bulan, baru hari ini aku mulai berpikir soal mengapa aku harus berlelah-lelah melihat benda yang tak pernah sama sekali turun untuk menjengukku, bahkan untuk menyapa ‘hai’ atas balasan dari yang telah aku perbuat selama ini. Mungkin kedengarannya aku gila untuk mendapatkan pamrih dari selingkar cahaya yang –kuakui- selalu bertingkah dingin, sedingin malam ini?
Esoknya, sepulang dari kerja, aku mencari Moon seisi kota. Tak berhasil. Kubuat pamplet dengan gambar Moon di sana, di bawah gambar itu kutulis; kucing hilang, berbulu abu-abu. Bagi yang menjumpai mohon hubungi nomor ini, tulisku. Aku yakin, dengan melihat gambar, mereka sudah mengerti. Di tiang-tiang lampu jalan, pepohonan, kedai-kedai, taman, halte, semua kupasang pemberitahuan itu.
Setelahnya, kutunggu beberapa hari, beberapa minggu, tak ada hasil.

Dengan perasaan kecewa, kutatap rembulan pada malam ketiga puluh sejak aku kehilangan Moon. bulan Purnama.
“Moon, purnama.”

Aku mulai terbiasa berkomunikasi dengan gambar Moon, sebagai tanda keputus asaan aku mencari Moon. Aku merasa Moon sudah hadir di rumah ini, di dinding itu. Aku senang, sangat senang. Terpaksa senang.
“Bukankah itu indah, Moon?”
Beberapa saat setelah itu, aku terlelap. Dalam tidur aku bermimpi Moon bicara padaku, ia tidak lagi tinggal di bumi, juga tidak di bulan, tapi sekarang ia aman, katanya. Aku sangat bahagia mengetahui itu. Sangat bahagia.***

Fathromi R,
penulis cerpen. Karya-karyanya mewarnai berbagai media massa. aktif di Forum Lingkar Pena

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/