30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Ibu Guru Kayona

Beliau baru saja lulus sarjana, ketika beliau harus mendampingi kami menyelesaikan tugas akhir drama sekolah. Nilai itu diperlukan agar nilai-nilai kami bagus. Terutama nilai ujian sekolah, yang menurut sebagian kawan sangat dimudahkan. Beliau mendampingi sebagai tutor kelas kami. Beliau masih malu-malu mengajari kami.

Cerpen  Teguh Afandi

Kami akan menampilkan drama yang sengaja dipilihkannya dari sebuah cerita pendek milik Seno Gumira Ajidarma, “Sepotong Senja untuk Pacarku.” Tentu kami sangat senang dengan beliau, karena kami menulis skenario dibantu beliau. Kami memliki jadwal khusus bertemu, pukul dua siang hari sabtu setiap minggu. Di sana beliau mengajari bagaimana bermain teater yang baik dan mengesankan.

Selama dua bulan kami mempersiapkan drama pungkasan sebagai penentu nilai kelulusan. Beliau meyakinkan kami bahwa asal digarap dengan hati, hasilnya pasti sampai hati. Yang dari hati itulah yang nilainya ajeg dan kekal.
“Kalian pasti akan mengenang Alina dan Sukab, seperti kalian mengenang teman kalian. Ini drama terakhir kalian di kelas seni. Jangan sampai kita merasakan kecewa saat selesai di pentaskan.”
“Sukab dan Alina, tolong kamu aktingnya yang total. Penuh penghayatan. Sementara anggaplah kalian adalah Sukab dan Alina.”

Beliau memberi pengarahan kepada Rindu yang dipilih secara aklamasi sebagai tokoh utama, Alina yang akan dikirimi senja dalam amplop oleh Sukab. Dan yang mendapat peran Sukab adalah Kelana. Mereka berdua memang pantas menjadi sepasang tokoh utama. Mereka memiliki paras yang enak dipandang, kemudian kemahiran aktingnya pun tidak terlalu buruk. Dalam cerita memang hanya akan ada tokoh utama dua, beberapa orang menjadi figuran ketika Sukab menggunting dan memasukan senja dalam amplop. Yang lain berperan sebagai penata panggung, bloking, musik, dekorasi panggung, dan kostum. Aku dalam pementasan itu hanya memiliki tugas yang sangat kecil, yaitu bagian dekorasi, pekerjaanku hanya mengecat batuan pantai yang menjadi latar senja. Hanya menyemprotkan cat hitam, abu-abu pada gundukan kertas semen untuk mengesankan itu batu karang di pinggir pantai.

“Yang lain, meski kalian bukan sebagai peran utama. Tapi peran utama tidak bisa sukses tanpa kerja keras kalian. Besar atau kecil, peran kalian harus dimaksimalkan.”
“Siap!” kami menjawab seperti kumbang yang menggema menerima perintah ratunya.
“Galang, kamu yang serius!” Beliau menepuk bahuku.

Betapa gemetar hati kami, betapa khawatir kami menjelang pementasan. Kami takut juri yang didatangkan khusus dari sekolah lain kurang berkenan. Kami yang memiliki tugas kecil saja takut dan grogi luar biasa, apalagi Rindu dan Kelana yang berperan sebagai tokoh utama. Pentas itu berjalan dengan lancar. Senja berhasil di potong Sukab, dan Alina senang sekaligus heran mengapa ada senja yang indah yang diterima dalam amplop dan itu dari kekasihnya Sukab.
Memang nilai kami dibawah juara pertama dan kedua, tetapi kami puas luar biasa. kami senang usaha kita banyak yang suka. Dan Bu Kayona bangga.
“Kalian hebat luar biasa! Peran utama dan semua yang mendukung, kalian bekerja keras untuk pementasan terakhir ini.”
Suara sorak membahana dari dalam kelas. Kami semua tertawa bahagia.
“Bu kita harus syukuran!”

“Pasti.” Bu Kayona bungah dan bergerak semakin trengginas.
“Apalagi Sukab dan Alina jadian, Bu?”
“Maksudmu Kelana dan Rindu?”
Yang disebut namanya merah tersipu. Mereka menunduk menerima ejekan kawan satu kelas. Dan Bu Kayona tersenyum sambil mendekati Rindu.
****
“Drama itu memang luar biasa?” Zainal yang dahulu bertugas sebagai koordinator tim musik.
“Sampai sekarang aku tidak bisa lupa.” Hery, yang oleh Bu Kayona sebagai tim panggung. Dia adalah ketua timku waktu itu.
“Hery, aku suka idemu yang membuat senja dari kertas emas. Karena pikirku waktu itu, cukup pakai sorot lampu warna merah.” Aku memuji kejeniusan Hery.
“Benar. Itu pentas yang bagus.”

“Aku senang instrumen yang dipakai ketika memotong senja. Sedikit satire tapi romantis.”
Aku bersama Zainal, Hery, dan Darius saling mengenang pentas seni di acara reuni.
“Gimana kabar Rindu dan Kelana? Sejak jadian dan lulus, kok jarang terdengar kabarnya?”
“Ooo, si Sukab dan Alina. Masih tetap bersama.”

“Mereka sudah menikah, RIndu kabarnya sudah isi tujuh bulan.”
“Apa mereka tidak datang?”

“Datang. Mereka berdua konfirmasi.”
“Ini berkah Sepotong Senja untuk Pacarku. “

“Berkah lagi, karena ini pilihan Bu Kayona. Coba kalau kita ikut pilihan ketua kelas dulu, ya kita bakal pakai Dayang Sumbi.” Aku mencoba mengingatkan mereka kepada Bu Kayona.
“Benar, Lang. Pilihan Bu Kayona memang tepat.”

“Beliau hadir, tidak hari ini?” aku bertanya kepada Hery yang tahun ini sebagai koordinator reuni kelas, dan sebab itu pula rumahnya menjadi markas kelas kami tahun ini.
“Aku tidak memiliki kontak beliau. Kamu nggak ngabari Beliau, Lang?” balik Hery bertanya kepadaku.

“Sudah. Seminggu lalu kutelepon. Beliau sendiri yang mengangkat. Beliau senang mendapat undangan ini, tetapi sepertinya tidak bisa hadir. Ada kesibukan lain mungkin.”
“Kamu, harusnya kamu datang saja ke rumahnya.” Hery memojokkanku.
“Selain Galang siapa lagi yang istimewa di mata Bu Kayona?”

Kini kami tertawa berderai. Bagian ini yang paling aku tidak suka dari reuni. Memang masa-masa sekolah indah untuk dikenang. Tetapi sekarang masing-masing punya kehidupan sendiri. Kenakalan dan keisengan mungkin asyik untuk diungkit dan kembali ditertawakan bersama-sama. Tetapi cinta lama, cinta pertama, janganlah dikenang. Aku sudah meminang gadis pilihanku sendiri yang bukan kawan sekolah. Maka akan sangat risih mendengar, aku yang dahulu pernah menyatakan rasa di hati kepada Bu Kayona.

Remaja yang sudah dewasa. Di sela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa, masih kusempatkan berkunjung di rumah Bu Kayona. Bu Kayona berbagi tips dan nasihat, agar memanfaatkan waktu  di kampus dengan baik. Kala itu Bu Kayona masih saja sendiri, padahal usianya sudah dua puluh lima. Aku tidak bisa memungkiri kalau aku suka kepada beliau. Memang lebih tua dariku enam tahun, tetapi apa usia menjadi syarat tumbuhnya cinta? Aku lebih muda, karena aku memang tidak bisa memilih kapan harus dilahirkan. Kalau cinta harus tumbuh dari sepasang lelaki dan perempuan —dimana lelaki harus lebih tua atau sebaya—, cinta itu sudah tidak kembali alami.
Hanya Hery yang menjadi tempatku membagi rasa. Hery juga yang menguatkan untuk menyampaikan perasaan cintaku pada Bu Kayona.
“Tetapi kamu harus siap, Lang. Kamu masih anak muda, masih kuliah bahkan. Kalau beliau orientasinya sudah bukan lagi main-main, tetapi menikah.”
“Kalau dia mau menunggu sampai aku lulus kuliah, apa salah?”

“Tidak!Tapi jangan egois. Beliau juga tidak mau dicap perawan tua, kan?”
“Iya, tapi….”

“Tapi aku akan tetap mendukungmu. Maju terus, Lang.”
Tiga hari sebelum tahun baru, aku ke rumah Bu Kayona. Rumah asri dengan beberapa pohon nangka dan mangga di pekarangan. Aku duduk di ruang tamu, sengaja aku bawa setangkai anyelir dalam plastik transparan.
“Kamu? Masih liburan natal?”

“Iya. Saya mau berbicara.”
“Ya. Aku simpan anyelirmu, ya?”
“Saya mencintaimu.”
Bu Kayona terdiam. Sejenak ada ragu dari binar matanya. Mulutnya terkunci dari bicara. Tetapi air matanya turun dari ceruk mata, dan mengalir di lereng pipi.
“Galang, tidak bisa!”

“Memang saya masih kecil. Tapi saya serius Bu. Kalau ibu mau, biarkan saya menyelesaikan kuliah dan setelah itu kita menikah. Memang mungkin usia ibu, waktu itu 28. Tapi itu tidak terlalu tua. Tidak ada yang salah kalau suami lebih muda bukan?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku sedang menunggu kekasihku, Galang.”
“Menunggu?”
“Kamu tidak usah tahu.”

“Aku harus tahu. Karena cerita itu yang membuat perasaanku ibu tolak.”
Bu Kayona menangis. Dia sesenggukan dan bicara yang kurang jelas terdengar.

“Dia kawan kuliah ibu. Kita jadian seminggu sebelum wisuda. Aku mengajar di SMA, dia ke Perancis melanjutkan studi master dan doktoralnya. Surat dan emailnya datang di awal-awal keberangkatannya. Dia berjanji akan mengirimkan foto senja terindah di Paris. Tetapi, sampai sekarang dia tidak pernah pulang. Aku menunggu. Aku menunggu senja yang dia potong dari Paris. Aku menunggu….”
Kutinggalkan. Aku tidak pernah berjanji kepada kekasihku untuk memotretkan senja terindah. Aku takut kekasihku akan menunggu seperti Bu Kayona.
“Galang, itu Bu Kayona datang.”

Aku geragapan. Tak disangka beliau datang. Beliau masih sendiri. Sepertinya beliau masih menunggu kiriman senja dari kekasihnya.
“Mungkin sampai usianya senja….”
Kuberbisik pelan.(*)

(Jogja 2012)
(Untuk Bu Sri Harini, SPd Guru Kimia paling cantik)

Beliau baru saja lulus sarjana, ketika beliau harus mendampingi kami menyelesaikan tugas akhir drama sekolah. Nilai itu diperlukan agar nilai-nilai kami bagus. Terutama nilai ujian sekolah, yang menurut sebagian kawan sangat dimudahkan. Beliau mendampingi sebagai tutor kelas kami. Beliau masih malu-malu mengajari kami.

Cerpen  Teguh Afandi

Kami akan menampilkan drama yang sengaja dipilihkannya dari sebuah cerita pendek milik Seno Gumira Ajidarma, “Sepotong Senja untuk Pacarku.” Tentu kami sangat senang dengan beliau, karena kami menulis skenario dibantu beliau. Kami memliki jadwal khusus bertemu, pukul dua siang hari sabtu setiap minggu. Di sana beliau mengajari bagaimana bermain teater yang baik dan mengesankan.

Selama dua bulan kami mempersiapkan drama pungkasan sebagai penentu nilai kelulusan. Beliau meyakinkan kami bahwa asal digarap dengan hati, hasilnya pasti sampai hati. Yang dari hati itulah yang nilainya ajeg dan kekal.
“Kalian pasti akan mengenang Alina dan Sukab, seperti kalian mengenang teman kalian. Ini drama terakhir kalian di kelas seni. Jangan sampai kita merasakan kecewa saat selesai di pentaskan.”
“Sukab dan Alina, tolong kamu aktingnya yang total. Penuh penghayatan. Sementara anggaplah kalian adalah Sukab dan Alina.”

Beliau memberi pengarahan kepada Rindu yang dipilih secara aklamasi sebagai tokoh utama, Alina yang akan dikirimi senja dalam amplop oleh Sukab. Dan yang mendapat peran Sukab adalah Kelana. Mereka berdua memang pantas menjadi sepasang tokoh utama. Mereka memiliki paras yang enak dipandang, kemudian kemahiran aktingnya pun tidak terlalu buruk. Dalam cerita memang hanya akan ada tokoh utama dua, beberapa orang menjadi figuran ketika Sukab menggunting dan memasukan senja dalam amplop. Yang lain berperan sebagai penata panggung, bloking, musik, dekorasi panggung, dan kostum. Aku dalam pementasan itu hanya memiliki tugas yang sangat kecil, yaitu bagian dekorasi, pekerjaanku hanya mengecat batuan pantai yang menjadi latar senja. Hanya menyemprotkan cat hitam, abu-abu pada gundukan kertas semen untuk mengesankan itu batu karang di pinggir pantai.

“Yang lain, meski kalian bukan sebagai peran utama. Tapi peran utama tidak bisa sukses tanpa kerja keras kalian. Besar atau kecil, peran kalian harus dimaksimalkan.”
“Siap!” kami menjawab seperti kumbang yang menggema menerima perintah ratunya.
“Galang, kamu yang serius!” Beliau menepuk bahuku.

Betapa gemetar hati kami, betapa khawatir kami menjelang pementasan. Kami takut juri yang didatangkan khusus dari sekolah lain kurang berkenan. Kami yang memiliki tugas kecil saja takut dan grogi luar biasa, apalagi Rindu dan Kelana yang berperan sebagai tokoh utama. Pentas itu berjalan dengan lancar. Senja berhasil di potong Sukab, dan Alina senang sekaligus heran mengapa ada senja yang indah yang diterima dalam amplop dan itu dari kekasihnya Sukab.
Memang nilai kami dibawah juara pertama dan kedua, tetapi kami puas luar biasa. kami senang usaha kita banyak yang suka. Dan Bu Kayona bangga.
“Kalian hebat luar biasa! Peran utama dan semua yang mendukung, kalian bekerja keras untuk pementasan terakhir ini.”
Suara sorak membahana dari dalam kelas. Kami semua tertawa bahagia.
“Bu kita harus syukuran!”

“Pasti.” Bu Kayona bungah dan bergerak semakin trengginas.
“Apalagi Sukab dan Alina jadian, Bu?”
“Maksudmu Kelana dan Rindu?”
Yang disebut namanya merah tersipu. Mereka menunduk menerima ejekan kawan satu kelas. Dan Bu Kayona tersenyum sambil mendekati Rindu.
****
“Drama itu memang luar biasa?” Zainal yang dahulu bertugas sebagai koordinator tim musik.
“Sampai sekarang aku tidak bisa lupa.” Hery, yang oleh Bu Kayona sebagai tim panggung. Dia adalah ketua timku waktu itu.
“Hery, aku suka idemu yang membuat senja dari kertas emas. Karena pikirku waktu itu, cukup pakai sorot lampu warna merah.” Aku memuji kejeniusan Hery.
“Benar. Itu pentas yang bagus.”

“Aku senang instrumen yang dipakai ketika memotong senja. Sedikit satire tapi romantis.”
Aku bersama Zainal, Hery, dan Darius saling mengenang pentas seni di acara reuni.
“Gimana kabar Rindu dan Kelana? Sejak jadian dan lulus, kok jarang terdengar kabarnya?”
“Ooo, si Sukab dan Alina. Masih tetap bersama.”

“Mereka sudah menikah, RIndu kabarnya sudah isi tujuh bulan.”
“Apa mereka tidak datang?”

“Datang. Mereka berdua konfirmasi.”
“Ini berkah Sepotong Senja untuk Pacarku. “

“Berkah lagi, karena ini pilihan Bu Kayona. Coba kalau kita ikut pilihan ketua kelas dulu, ya kita bakal pakai Dayang Sumbi.” Aku mencoba mengingatkan mereka kepada Bu Kayona.
“Benar, Lang. Pilihan Bu Kayona memang tepat.”

“Beliau hadir, tidak hari ini?” aku bertanya kepada Hery yang tahun ini sebagai koordinator reuni kelas, dan sebab itu pula rumahnya menjadi markas kelas kami tahun ini.
“Aku tidak memiliki kontak beliau. Kamu nggak ngabari Beliau, Lang?” balik Hery bertanya kepadaku.

“Sudah. Seminggu lalu kutelepon. Beliau sendiri yang mengangkat. Beliau senang mendapat undangan ini, tetapi sepertinya tidak bisa hadir. Ada kesibukan lain mungkin.”
“Kamu, harusnya kamu datang saja ke rumahnya.” Hery memojokkanku.
“Selain Galang siapa lagi yang istimewa di mata Bu Kayona?”

Kini kami tertawa berderai. Bagian ini yang paling aku tidak suka dari reuni. Memang masa-masa sekolah indah untuk dikenang. Tetapi sekarang masing-masing punya kehidupan sendiri. Kenakalan dan keisengan mungkin asyik untuk diungkit dan kembali ditertawakan bersama-sama. Tetapi cinta lama, cinta pertama, janganlah dikenang. Aku sudah meminang gadis pilihanku sendiri yang bukan kawan sekolah. Maka akan sangat risih mendengar, aku yang dahulu pernah menyatakan rasa di hati kepada Bu Kayona.

Remaja yang sudah dewasa. Di sela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa, masih kusempatkan berkunjung di rumah Bu Kayona. Bu Kayona berbagi tips dan nasihat, agar memanfaatkan waktu  di kampus dengan baik. Kala itu Bu Kayona masih saja sendiri, padahal usianya sudah dua puluh lima. Aku tidak bisa memungkiri kalau aku suka kepada beliau. Memang lebih tua dariku enam tahun, tetapi apa usia menjadi syarat tumbuhnya cinta? Aku lebih muda, karena aku memang tidak bisa memilih kapan harus dilahirkan. Kalau cinta harus tumbuh dari sepasang lelaki dan perempuan —dimana lelaki harus lebih tua atau sebaya—, cinta itu sudah tidak kembali alami.
Hanya Hery yang menjadi tempatku membagi rasa. Hery juga yang menguatkan untuk menyampaikan perasaan cintaku pada Bu Kayona.
“Tetapi kamu harus siap, Lang. Kamu masih anak muda, masih kuliah bahkan. Kalau beliau orientasinya sudah bukan lagi main-main, tetapi menikah.”
“Kalau dia mau menunggu sampai aku lulus kuliah, apa salah?”

“Tidak!Tapi jangan egois. Beliau juga tidak mau dicap perawan tua, kan?”
“Iya, tapi….”

“Tapi aku akan tetap mendukungmu. Maju terus, Lang.”
Tiga hari sebelum tahun baru, aku ke rumah Bu Kayona. Rumah asri dengan beberapa pohon nangka dan mangga di pekarangan. Aku duduk di ruang tamu, sengaja aku bawa setangkai anyelir dalam plastik transparan.
“Kamu? Masih liburan natal?”

“Iya. Saya mau berbicara.”
“Ya. Aku simpan anyelirmu, ya?”
“Saya mencintaimu.”
Bu Kayona terdiam. Sejenak ada ragu dari binar matanya. Mulutnya terkunci dari bicara. Tetapi air matanya turun dari ceruk mata, dan mengalir di lereng pipi.
“Galang, tidak bisa!”

“Memang saya masih kecil. Tapi saya serius Bu. Kalau ibu mau, biarkan saya menyelesaikan kuliah dan setelah itu kita menikah. Memang mungkin usia ibu, waktu itu 28. Tapi itu tidak terlalu tua. Tidak ada yang salah kalau suami lebih muda bukan?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku sedang menunggu kekasihku, Galang.”
“Menunggu?”
“Kamu tidak usah tahu.”

“Aku harus tahu. Karena cerita itu yang membuat perasaanku ibu tolak.”
Bu Kayona menangis. Dia sesenggukan dan bicara yang kurang jelas terdengar.

“Dia kawan kuliah ibu. Kita jadian seminggu sebelum wisuda. Aku mengajar di SMA, dia ke Perancis melanjutkan studi master dan doktoralnya. Surat dan emailnya datang di awal-awal keberangkatannya. Dia berjanji akan mengirimkan foto senja terindah di Paris. Tetapi, sampai sekarang dia tidak pernah pulang. Aku menunggu. Aku menunggu senja yang dia potong dari Paris. Aku menunggu….”
Kutinggalkan. Aku tidak pernah berjanji kepada kekasihku untuk memotretkan senja terindah. Aku takut kekasihku akan menunggu seperti Bu Kayona.
“Galang, itu Bu Kayona datang.”

Aku geragapan. Tak disangka beliau datang. Beliau masih sendiri. Sepertinya beliau masih menunggu kiriman senja dari kekasihnya.
“Mungkin sampai usianya senja….”
Kuberbisik pelan.(*)

(Jogja 2012)
(Untuk Bu Sri Harini, SPd Guru Kimia paling cantik)

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/