Power tends to corrupts and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu berpotensi disalah gunakan – surat Lord Acton ke Bishop M. Creighton 1887).
Oleh: Sampe L. Purba *
Demokrasi makna dasarnya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang dalam era modern diwujudkan dalam lembaga perwakilan seperti DPR dan Presiden yang memperoleh legitimasinya melalui Pemilu. Lembaga pilihan rakyat tersebut bertugas antara lain membentuk undang-undang, yang mengikat seluruh masyarakat.
Pembuatan Undang-undang memperhatikan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Suatu undang-undang yang terbit telah melalui kajian akademis yang mendalam, memuat konsepsi, pendekatan dan asas-asas dari materi hukum yang perlu diatur, serta pemikiran norma-normanya. Melalui proses dialog, dialektika dan uji publik, maka produk Undang-undang dilahirkan secara beradab. Dalam sistem ketatanegaraan kita, terdapat satu lembaga yang dapat menegasikan undang-undang baik keseluruhan atau sebagian apabila dianggap bertentangan dengan konstitusi, serta menyatakannya tidak memiliki kekuatan mengikat, dan karenanya disebut negative legislator.
Lembaga tersebut bernama Mahkamah Konstitusi, yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi, beranggota 9 (sembilan) orang. Anggota lembaga ini, adalah bagaikan manusia super sakti setengah dewa, memiliki imunitas tinggi terhadap tuduhan kriminal kecuali tertangkap tangan. Putusannya mengikat seketika bagi pihak yang berperkara maupun tidak berperkara (erga omnes) melebihi putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Mereka mengatur mekanisme kode etik sendiri, dan lembaga konstitusi lain seperti Mahkamah Yudisial bahkan tidak berwenang untuk menguji etika, tata krama dan perilaku profesional anggotanya. Hakim Konstitusi bukan merupakan pilihan Rakyat tetapi lembaga tersebut dapat mengebiri seketika produk legislasi yang dihasilkan lembaga DPR dan Presiden pilihan rakyat. Sudden death, algojo yang efektif.
Karena itu akan sangat berbahaya apabila ada kalangan yang berhasil menyesakkan kepentingannya lewat lembaga ini dan memperoleh pengabulan putusan yang tidak cermat. Cukup dengan gerilya kamuflase bahasa yang santun, dan sering menyesatkan publik di media tivi, serta meyakinkan anggota lembaga untuk membatalkan produk undang-undang. Sama berbahayanya adalah apabila ada Hakim Konstitusi yang memanfaatkan kekuasaan dan kewenangannya yang luar biasa secara tidak amanah dan profesional (fiduciary duties), atau melebihi kewenangan (ultra vires), atau tertipu dan tidak aware dalam membuat putusan karena ketidak mengertiannya.
Kalau situasi yang demikian terjadi, maka fungsi dan posisi sebagai pengawal konstitusi telah bermetamorfosa menjadi monster algojo demokrasi.! Dan demokrasi yang kita banggakan, akan tergelincir menjadi tontonan kesengetan (demo crazy), atau monster lihai (demons creati).
Harapan dan Kenyataan
Pertengahan bulan yang lalu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan PUTUSAN, yang amarnya menyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat beberapa pasal dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Terhadap putusan tersebut, telah banyak beredar analisis dan komentar, dan mayoritas dapat menerima bahkan memuji putusan tersebut, sebagai putusan berani, nasionalis dan visioner. Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang. Tetapi marilah kita lihat beberapa inkonsistensi dan kelemahan substantif dari putusan tersebut, baik dari sisi legal standing para pemohon, fakta-fakta persidangan, pertimbangan hukum dan amar putusan, serta dari sisi etikanya.
Legal standing (kedudukan hukum) para pemohon
Terdapat beberapa kelompok yang mewakili pimpinan kelompok keagamaan, kelompok solidaritas juru parkir, pedagang kaki lima, dan perorangan yang tidak pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dengan argumentasi yuridis dan mendasar mengenai bagaimana hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji. Bahkan tidak jelas hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Fakta-fakta Persidangan
Putusan yang tidak dapat membedakan antara fakta, opini maupun ilusi adalah putusan yang kabur. Kelihatannya cenderung mengambil opini dan keterangan yang diberikan oleh ahli pemohon sebagai fakta. Tidak jelas hukum acara mana yang digunakan. Tidak ada cross check dan pembuktian yang cukup dalam sidang-sidang yang sangat dibatasi durasinya, sekalipun frekuensinya banyak. Karena tidak cukupnya bukti tersebut, mahkamah mengambil jalan pintas dengan mengatakan “[3.13.14]. .. sekiranyapun belum ada bukti bahwa BPMIGAS telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BPMIGAS inkonstitusional”.
Inilah suguhan pertimbangan hukum yang dapat dipersepsikan sebagai monster demokrasi, dimana Mahkamah Konstitusi telah mempertontonkan secara efektif peran, fungsi dan tajinya sebagai penafsir tunggal kebenaran. Siapa sebetulnya yang sudah mengkonstruksikan dalam fikirannya menyatakan inkonstitusional BPMIGAS tanpa didukung bukti?. Dalam ajaran hukum pidana, ada istilah “Actus non facit reum, nisi mens sit rea”, yang lebih kurang berarti kejahatan itu awalnya adalah dari fikiran jahat.
Etika dan Konsistensi
Termohon dalam Uji material Undang-undang adalah Pemerintah dan DPR. Di sini ada problem etika, inkonsistensi dan potensi conflict of interest dari para pemohon maupun saksi pemohon. Tiga dari delapan hakim konstitusi berpotensi conflict of interest sebab dua hakim Konstitusi adalah anggota DPR yang membuat UU tersebut dan ikut membidani lahirnya BPMIGAS. Mahfud MD saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan sempat menjadi Menteri Hukum dan Perundangan-Undangan di era Presiden Gus Dur. Dua saksi ahli merupakan pejabat tinggi setingkat Menteri yang ikut menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan IMF untuk menggulirkan UU Migas.
Dari sisi penggugat, terdapat lima orang yang pernah berstatus sebagai anggota DPR ketika UU Migas disahkan. Kwik Kian Gie misalnya, sebagai Menko Ekuin, dalam suratnya tgl 20 Januari 2000 dalam LOI dengan IMF pada butir 80 menyatakan “ Di sektor migas, pemerintah berkomitmen penuh mengganti UU yang ada dengan kerangka hukum modern, serta merestrukturisasi dan mereformasi Pertamina”.
Setali tiga uang dengan Rizal Ramli, Menko Ekuin berikutnya pada tanggal 17 Mei 2000 pada butir 43 suratnya ke IMF menyatakan “Pemerintah juga tetap berkomitmen terhadap pembaharuan sektor energi yang tercantum dalam MEFP Januari” . Apakah ini problem etika, inkonsistensi, lupa ingatan atau mau jadi pahlawan kesiangan? Asas Hakim Tidak Boleh Aktif Berdasarkan asas umum yang berlaku di dunia peradilan, adalah hakim tidak boleh aktif untuk mencari kasus, menginisiasi penyelidikan, advokasi atau mendorong orang atau pihak untuk membawa kasusnya ke pengadilan. Fungsi itu ada pada masyarakat, dan petugas hukum lainnya seperti penyelidik, penyidik dan sebagainya.
Dalam kasus pengujian UU migas, ternyata bp MMD – sang Ketua MK, terkesan mengambil sikap aktif. Dalam wawancara beliau di Bisnis Indonesia, 29 November 2012 “ … Kalau dibawa ke sini (MK), nanti kita selesaikan secara tegas kalau memang fakta hukumnya ada, dan ternyata fakta hukumnya memang ada. Dulu orang ngga berani menyentuh, tapi saya bilang meja saya bisa. Palu saya bisa menyelesaikan itu kalau memang ada kesulitan di bidang itu….”
Dan ketika pemohon mendaftarkan uji materi tersebut pada tanggal 29 Maret 2012, Ketua MK menerima pihak yang berperkara di kantor MK pada hari yang sama. Sesuatu yang dilarang oleh kode etik MK sendiri….!!! (lihat foto Tempo edisi 19 -25 November 2012 hal. 111).
Publik berhak tahu dan yakin bahwa mereka berada di dalam garda pengawalan para hakim konstitusi yang adalah negarawan, para profesional mumpuni dan para begawan keadilan yang tidak mempunyai agenda tersendiri. Dan bukan di tangan seorang atau beberapa orang Algojo sudden death Demokrasi.
* Pengamat dan Pemerhati Media