Cerpen Muzammil Frasdia
Rumah itu berada di sela-sela bangunan tinggi pinggir kali sungai. Rumah yang bila dipandang dari kejauhan terlihat mirip seperti rumah pengungsi, dan kali itulah yang menyediakannya tempat untuk mandi, nyuci, masak, serta buang air besar. Selama 15 tahun Sarimin hidup seorang diri, tak ada lagi seorang istri atau buah hati yang merawatnya bila ia sedang sakit atau yang menghibur saat jiwanya seperti terkubur.
Kejadian tahun 2000 silam itu sungguh masih menyisakan luka yang amat mendalam bagi hati Sarimin yang sampai saat ini belum bisa menerima keadaan saat kereta api yang melintas kencang dari arah Surabaya menuju Malang merenggut nyawa istri dan anaknya yang hendak menyeberangi rel kereta. Pagi itu sekitar pukul 08.00 wib, warga yang berada di sepanjang jalur rel beramai-ramai menyaksikan dua mayat perempuan tergeletak di atas tanah.
Kini Sarimin hanya mengunggulkan dirinya sendiri di mata Tuhan yang memberinya nafas untuk terus berjuang mengarungi kehidupan. Baginya, menjadi tukang cukur keliling adalah kemampuan satunya-satunya yang ia miliki untuk dapat bertahan hidup meski hasil yang ia peroleh tidak seberapa. Namun dari sana ia berharap selalu ingin tersenyum untuk dirinya sendiri juga pekerjaannya sebagai tukang cukur keliling.
***
Pagi ini ia kembali melangkahkan kedua kakinya menemui pelanggan-pelanggan yang ada. Dari rumah ke rumah ia datangi satu persatu menawarkan jasa sebagai tukang cukur keliling. Style rambut plontos, standar, mohak, cepak, sampai gaya jabrik semua Sarimin kuasai dari keahliannya sebagai pemotong rambut.
“Pak?” seseorang memanggil.
Ia menoleh ke arah suara tersebut. Lalu menghampirinya.
“Pak, saya mau cukur rambut,” ucap seorang lelaki mempertegas keinginannya.
“Iya Mas,” jawab Sarimin terburu-buru dan langsung menyiapkan alat-alat cukurnya. Sebuah kursi lipat dari kayu ia persiapkan untuk laki-laki itu.
“Mari mas, silahkan duduk”. Sembari ia menyelimuti sebuah kain ke bagian tubuh laki-laki itu agar nantinya rambut-rambut yang ia potong tidak menempel di baju dan celana yang ia pakai. Segala sesuatunya seperti sudah matang untuk digunakan.
“Mau dipotong seperti apa Mas?” tanya Sarimin.
“Potong biasa saja, yang penting kelihatan rapi dan bersih.”
“Baik mas.”
Gunting dan sisir mulai menjamah rambut laki-laki itu secara perlahan-lahan. Bunyi mengiris terdengar dari gigitan mata gunting memotong gumpalan rambut yang tebal. Rambut hitam itu terlihat mulai berguguran satu persatu dari kepalanya. Seperti jatuhnya daun-daun kering di musim gugur, mungkin juga di hati Sarimin yang saat ini merasa bahagia karena ada satu warga ingin bercukur.
Sekitar kurang lebih 15 menit tangan Sarimin bergerak-gerak di atas kepala laki-laki itu. Diperiksanya lagi dan lagi hasil guntingannya dari arah samping, depan, hingga belakang. Takut ada yang terasa masih perlu untuk dirapikan.
“Sudah Mas. Silahkan dilihat hasilnya. Barangkali masih ada yang perlu ditambah atau dikurangi.”
Laki-laki itu tersenyum dalam cermin. Mengoreksi hasil pekerjaan Sarimin dengan teliti.
“Cukup Pak. Makasih. Sekarang rambutku terlihat rapi dan bersih. Bahkan serasa enteng untuk dibawa kemana-mana. Berapa semuanya?”
“Tiga ribu rupiah Mas,” ucap sarimin malu.
**
Sehari berlalu. Senja memancar dari dua bangunan tinggi yang berdiri gagah di samping gubuk Sarimin. Sinarnya menembus air kali yang keruh yang mengalir di sepanjang aliran sungai. Di samping gubuk, Sarimin merebahkan tubuh di atas rumput kering yang ujungnya terasa menusuk punggungnya. Tatapannya terarah lurus ke atas, seperti menjunjung langit kelam yang menjadi bagian hidupnya saat ini. Tiba-tiba suara adzan berkumandang. Sarimin buru-buru pergi ke kali. Membasuh tubuhnya dengan sabun mandi. Kemudian menghadap Ilahi.
Malam hari yang dingin menyelimuti gubuk Sarimin. Bulan remang memancar di antara ruas-ruas ranting kering yang berdiri di pinggir kali. Bau sampah kota yang pengap beterbangan kemana-mana. Tikus, anjing, kucing berkeliaran di antara tumpukan-tumpukan sampah yang menggunung itu. Ada juga ribuan lalat yang tak kelihatan wujudnya ramai mengerubungi benda-benda seperti kaleng susu, softex, sisa makanan restoran, ban bekas, bangkai ikan, ayam, itik, ular dan lain-lain. Sedang di dalam gubuk itu Sarimin mengaji, suaranya sendu melafadkan ayat-ayat suci. Mengirim doa untuk arwah istri dan anaknya yang sudah tiada.
***
Matahari terbit. Ini hari yang entah keberapanya Sarimin harus kembali bekerja sebagai tukang cukur keliling. Dibawanya tas yang memuat perlengkapan untuk mencukur, sedang tangan kanannya menjinjing kursi kayu lipatan tempat pelanggannya duduk saat rambutnya digunting. Tepat jam tujuh, Sarimin pergi berkeliling menemui pelanggan-pelanggannya. Di datanginya rumah warga satu persatu sambil meneriakkan suara “ Cukur-cukur” di sepanjang jalan. Namun hari ini sepertinya sepi. Tak ada satupun dari warganya yang mau bercukur rambut. Dari sekian bentuk rambut yang ada semua masih terlihat baru dipotong. Di matanya ia berharap rambut-rambut itu lekas tumbuh dan memangilnya kembali untuk bercukur.
Sarimin pulang sebelum waktunya ia harus kembali menemui rumah gubuknya. Sepi pelanggan membuat dirinya enggan berkeliling dan lebih memilih istirahat di rumah gubuk dari pada mencari pelanggannya yang hari ini tak ada satupun yang ingin bercukur. Kepalanya yang juga terasa pusing sebelah, ia rebahkan pelan-pelan di atas tempat tidur. Wajahnya kosong. Ditatapnya jam dinding kamarnya yang tiba-tiba mati.
***
Sebulan berlalu. Sarimin masih pulas tertidur di atas kasurnya yang sepi. Hingga pagi demi pagi ia biarkan pergi begitu saja. Di luar, para pelanggannya sudah kesal menunggu dirinya untuk bercukur rambut. Namun Sarimin tak jua datang menemui. Saat itu pula, ada salah seorang warga bertanya: “Kemana Sarimin pergi?”.
Surabaya, 2012