Seorang blogger bernama Ismail Elfash menulis opininya di laman web koran nasional ternama. Kecaman sinis yang dialamatkan pada cagubsu Effendi Simbolon itu dimuat pada 16 November 2012. Jauh sebelum Effendi menolak pemberian ulos kepada Meneg BUMN Dahlan Iskan. Simak tulisannya.
MASIH segar dalam ingatan, rasanya baru kemarin, kasus Dahlan Iskan versus DPR menyeruak. Asal muasal permasalahannya adalah laporan BPK tentang inefisiensi PLN Rp37 Triliun sewaktu dipimpin Dahlan Iskan. Dahlan dikeroyok anggota dewan. Tapi Dahlan punya senjata penangkis, berupa kartu trup nama-nama anggota dewan pemeras BUMN. Permasalahan semakin runcing, publik semakin heboh, memandang keberanian seorang Dahlan mengungkap kebobrokan anggota DPRn
Ada satu nama anggota DPR yang kelihatannya sangat angkuh. Sok benar sendiri dan merasa paling suci. Dia adalah Effendi Simbolon. Komentar-komentar dan gayanya sangat arogan, belagu, dan sok. Dia sangat benci, menyerang, dan memojokkan Dahlan Iskan. Kelakuannya sungguh menjauhkan kemartabatan anggota dewan yang terhormat, sungguh sebuah kebodohan dan kekerdilan cara berfikir dari seorang Effendi Simbolon dalam menanggapi sebuah permasalahan. Kebencianlah yang dikedepankan. Padahal publik bisa melihat, merasakan, dan menilai.
Publik tidak melihat Dahlan Iskan sebagai individu, melainkan ada permasalahan yang jauh lebih besar dari itu, yakni keberanian mengungkap kebobrokan (kongkalingkong) anggota dewan dengan BUMN. Selama ini sering terdengar namun sulit dibuktikan. Persis seperti kentut; tercium bau tapi tak kelihatan. Maka, tanpa keberanian seorang Dahlan Iskan nyaris kebobrokan anggota dewan tidak akan terbongkar, dan reformasi birokrasi BUMN akan menjadi sia-sia.
Effendi Simbolon tanpa tedeng aling-aling melontarkan komentar-komentar yang ekstra-pedasnya kepada Dahlan. Komentarnya sangat menyudutkan, menghakimi, menghina, bahkan menyakitkan. Komentar ekstra-pedasnya itu antara lain:
- Effendi Simbolon: Dahlan Iskan heboh seperti cacing. (Detikcom, 13/11/2012)
- Effendi Simbolon Hendak Usir Dahlan Iskan dari DPR. (Detikcom, 13/11/2012)
- Simbolon: PLN Nombok, Siapa Suruh PLN Kejar Elektrifikasi.(Panpage: Catatan Dahlan Iskan)
- Effendi Simbolon Sindir Dahlan Iskan yang dinilainya kerap berakting. “Pak Dahlan nyatet nggak apa yang disampaikan teman-teman? Ini verifikasi lho pak. Kalaupun akting, akting juga catet-catetlah (Detikcom, 13/11/2012)
- Effendi Simbolon: Dahlan mengalihkan isu pemborosan PLN Rp37 Triliun. (Detikcom, 08/11/2012)
Kini, efisode Dahlan Iskan versus DPR sedikit mereda. Berakhir, dengan laporan nama-nama anggota DPR pemeras BUMN. Namun DPR ngotot minta bukti dari Dahlan. Padahal, orang bodoh pun bisa menilai ‘mana ada tukang palak mau dikasih kuitansi?’. Keberanian seorang Dahlan bak bola liar. Muncul pengakuan Hotbonar Sinaga (mantan Dirut Jamsostek) yang pernah dipalak, ada pengakuan Dirut RNI Hasan Putro. Ada pula pembenaran dari Menteri BUMN sebelumnya Laksamana Sukardi dan Sofyan Djalil.
Wahai anggota DPR, apakah itu semua bukan bukti? Bola liar itu terus mengelinding, menggilas para pelaku white colar crime. Seskab Dipo Alam melaporkan tiga kementerian dan oknum anggota DPR ke KPK terkait adanya dugaan kongkalikong anggaran.
Kini berita heboh kembali terjadi. Objek beritanya masih orang yang sama: Effendi Simbolon. Namun topiknya berbeda. Lain dulu, lain sekarang. Kini orang yang menyerang Dahlan itu mendaftar menjadi calon gubernur Sumut. Adakah yang salah? Jelas tidak! Namun ingatan publik dapat mengingat dengan jelas tentang siapa figur tersebut dan bagaimana track record-nya.
Sehingga tidak salah kalau setiap berita tentang Effendi Simbolon, komentar-komentarnya kebanyakan sumir, miring, dan balas dendam. Banyak yang menilai action Effendi Simbolon menyerang Dahlan hanya untuk menaikkan rating, mengejar popularitas, dan menjadikan terkenal. Karena tujuan yang sebenarnya adalah biar terkenal dan terpilih menjadi gubernur Sumut.
Inilah sebuah fenomena baru dimana publik bisa melihat dan menilai. Logika politisi tidak bisa membohongi logika publik. Maka bersiaplah siapa yang melukai hati publik, satu saat publik akan menjadi hakim. Siapa menanam, dia memanen. Siapa membenci kebenaran, dia mendapatkan balasan setimpal. (*)