26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Niat Bengal Nikmati Tabagsel

Makan di hampir semua rumah makan di Medan adalah surga bagi pecinta kuliner. Kita bisa duduk dengan nyantai tanpa harus buru-buru hengkang. Memang seperti itu budayanya bukan? Setelah makan, kita bahkan bisa santai sambil merokok berbatang-batang.

Tapi, pekan lalu, saya tak menemukan itu. Di beberapa tempat, saya malah terpaksa membungkus makanan yang saya beli. Warung makan yang saya tuju penuh sesak. Dan, itu bukan satu kali serta pada satu warung.

Pertama di warung makan Padangbolak yang ada di Jalan Selamat. Niat makan siang di sana harus saya tunda. Niat saya pun langsung kendur begitu memarkirkan sepeda motor di depan warung yang bernuansa rotan dan kayu itu. Bagaimana tidak, begitu turun sepeda motor, saya lihat tak ada lagi meja yang kosong. Beberapa orang malah tampak berdiri; mengantre.

Tapi, atas nama selera, saya harus tetap belanja di warung itu. Satu-satunya jalan, saya membungkus nasi dan lauk yang saya pesan. Nasi putih, daun ubi tumbuk, sambal tuktuk, dan ikan mas gulai pun saya bawa pulang.

Tiba di rumah, saya lahap makanan itu. Nikmat. Meski saya sadar, jika saya makan di warung yang penuh itu, pasti akan lebih nikmat. Pun, saya bisa memakan berbagai menu yang disediakan.

Esoknya, saya mencoba makan siang di warung makan Sipirok yang ada di Jalan Alfalah. Sial. Kejadiannya sama dengan Padangbolak. Tempat ini lebih ekstrem lagi. Untuk mencari parkir saja sulit.

Tapi, atas nama rindu makanan kampung halaman, saya mampir juga di warung itu. Ya, tak tega mengantre, saya pun membungkus makanan yang saya pesan. Nasi putih, daun ubi tumbuk (lagi), sambal kering teri, dan daging asap saya bawa pulang. Sampai di rumah saya tak sabar menyantapnya. Saya buka bungkusnya. Aroma langsung menyerbu. Saya tambah selera. Saya coba langsung daging asapnya. Daging yang dipotong dadu dilumuri sambal merah dengan irisan bawang merah. Saya makan. Nikmat. Tidak itu saja, saat rasa itu menghentak lidah, langsung terbayang dalam benak saya sosok nenek di kaki Gunung Nanggarajati.

Ya, untuk daging asap, nenek saya memang jagoan. Dulu, ketika sering pulang ke kampung, daging asap nenek yang paling saya incar. Saya selalu memperhatikannya masak di dapur berwarna hitam dan berjendela yang menawarkan pemandangan sawah yang membentang.

Dan, nenek sudah meninggal. Kerinduan itulah yang membuat saya ngotot untuk membungkus makanan dari warung Sipirok tadi; termasuk dengan cita rasa Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) yang tersedia di Kota Medan ini. Entahlah, pekan lalu saya begitu rindu rasa makanan dari kampung saya itu. Itulah sebab, pekan lalu saya berburu makanan Tabagsel.

Kembali ke daging asap, meski tidak seenak masakan nenek, rasa dari daging asap warung makan Sipirok itu ternyata cukup membuat saya puas. Sayang porsinya terlalu sedikit. Seandainya saja saya makan di warung itu, tentunya saya bisa menambah beberapa kali. Ah.
Istri saya tertawa saja melihat tingkah saya. “Makanya, datang lebih cepat. Jangan tidur saja!” katanya.

Makanya, esok harinya, tepatnya hari Kamis lalu saya bangun lebih awal. Jam setengah satu saya sudah menuju sebuah warung dengan cita rasa Tabagsel yang lain. Kali ini saya menuju warung makan Mandailing yang ada di Jalan Sisingamangaraja, tepatnya di depan pool bus ALS. Hasilnya? Saya terlambat juga!

Saya terpaksa duduk di halte yang ada tepat di depan warung itu. Sepeda motor saya pun terparkir menyempit di antara mobil yang berbaris. Kali ini saya harus bertahan, saya tak mau membungkus lagi. Saya harus duduk di dalam warung itu agar puas!

Saya lihat warung itu tetap penuh. Beberapa orang masih berbaris mengantre. Sementara di dalam warung tak ada yang merokok. Artinya, semuanya memang lagi makan. Artinya lagi, tidak ada yang menikmati waktu selesai makan dengan berlama-lama di dalam warung. Ah, sampai kapan saya harus menunggu.

Setelah dua batang rokok, saya lihat ada kursi yang kosong. Ingat, kursi! Meja dalam warung itu adalah meja panjang, jadi kalau menunggu meja kosong bisa sampai kapan kan? Jadi, ketika ada kursi kosong, langsung serobot saja tak peduli meja itu dikuasai siapa. Dan, saya mendapati kursi kosong di meja rombongan keluarga besar yang sedang makan dengan lahap.

Sayur lalapan yang terdiri dari daun pepaya, daun ubi, dan potongan jipang terletak di depan saya. Di piring lalapan itu ada pula sambal merah. Dari gayanya sangat biasa sekali; persis cabai giling di pasar-pasar. Di sampingnya, ada nasi putih yang mengepul. Dan, di sebelahnya, menu yang saya incar: ikan sale. Fiuh.

Maka, tanpa memperhatikan sekeliling, saya mulai makan. Ikan sale berkuah putih itu yang pertama saya sentuh. Sedap. Lalu, nasi putih yang saya lumuri kuah ikan sale tadi. Nikmat. Saya pandangi lalapan itu, daun pepaya begitu menonjol. Pasti pahit, pikir saya. Sambal itu pun kurang mantap dilihat. Tapi, ketika saya lihat sekeliling — dengan kursi-kursi penuh berisi pembeli — mereka begitu lahap menyantap lalapan dan sambal.

Ya, sudah saya nekat mencoba. Busyet! Daun pepaya tak pahit dan sambalnya begitu nikmat: pedas dan asamnya pas. Sambal ala Tabagsel! Nasi tambah langsung saya tumpahkan ke piring utama, padahal piring itu masih penuh. Saya siramkan nasi putih itu dengan kuah ikan sale. Saya comot daun pepaya, jipang, dan daun ubi. Saya ambil sambal yang banyak. Ikan sale saya sobek. Saya naikkan kaki sebelah, memijak kursi panjang. Saya pun makan dengan gila-gilaan. Nikmat.

Nasi saya tambah lagi. Sambal saya tambah lagi. Sementara pembeli terus berganti. Tetap saja semua kursi terisi.

Selesai. Saya sudah cuci tangan. Warung ini menawarkan jendela yang lebar. Angin menyergap badan. Cukup nikmat. Saya ambil rokok. Saya lihat sekeliling, semuanya makan dengan tergesa: selesai makan langsung bayar dan pulang. Lalu, kursi yang ditinggalkan langsung terisi dengan orang lain. Ah, saya masih nyaman. Tapi, sempat merasa tak enak dengan beberapa orang yang tampak mengantre. Ah….

Sudahlah…, saya simpan lagi rokok. Saya ikuti pembeli lain, habis makan langsung pulang. Empat belas ribu rupiah berpindah tangan. Hm, rupanya tidak terlalu mahal. He he he he.

Begitulah kawan, niat bengal menikmati cita rasa Tabagsel tuntas. Ya, meski masih kurang puas karena tak bisa berlama-lama di warung, setidaknya kerinduan pada masakan yang biasa disediakan di kaki Pegunungan Bukit Barisan sana bisa juga dirasakan di sini. Di Medan. Yeahh. (*)

Makan di hampir semua rumah makan di Medan adalah surga bagi pecinta kuliner. Kita bisa duduk dengan nyantai tanpa harus buru-buru hengkang. Memang seperti itu budayanya bukan? Setelah makan, kita bahkan bisa santai sambil merokok berbatang-batang.

Tapi, pekan lalu, saya tak menemukan itu. Di beberapa tempat, saya malah terpaksa membungkus makanan yang saya beli. Warung makan yang saya tuju penuh sesak. Dan, itu bukan satu kali serta pada satu warung.

Pertama di warung makan Padangbolak yang ada di Jalan Selamat. Niat makan siang di sana harus saya tunda. Niat saya pun langsung kendur begitu memarkirkan sepeda motor di depan warung yang bernuansa rotan dan kayu itu. Bagaimana tidak, begitu turun sepeda motor, saya lihat tak ada lagi meja yang kosong. Beberapa orang malah tampak berdiri; mengantre.

Tapi, atas nama selera, saya harus tetap belanja di warung itu. Satu-satunya jalan, saya membungkus nasi dan lauk yang saya pesan. Nasi putih, daun ubi tumbuk, sambal tuktuk, dan ikan mas gulai pun saya bawa pulang.

Tiba di rumah, saya lahap makanan itu. Nikmat. Meski saya sadar, jika saya makan di warung yang penuh itu, pasti akan lebih nikmat. Pun, saya bisa memakan berbagai menu yang disediakan.

Esoknya, saya mencoba makan siang di warung makan Sipirok yang ada di Jalan Alfalah. Sial. Kejadiannya sama dengan Padangbolak. Tempat ini lebih ekstrem lagi. Untuk mencari parkir saja sulit.

Tapi, atas nama rindu makanan kampung halaman, saya mampir juga di warung itu. Ya, tak tega mengantre, saya pun membungkus makanan yang saya pesan. Nasi putih, daun ubi tumbuk (lagi), sambal kering teri, dan daging asap saya bawa pulang. Sampai di rumah saya tak sabar menyantapnya. Saya buka bungkusnya. Aroma langsung menyerbu. Saya tambah selera. Saya coba langsung daging asapnya. Daging yang dipotong dadu dilumuri sambal merah dengan irisan bawang merah. Saya makan. Nikmat. Tidak itu saja, saat rasa itu menghentak lidah, langsung terbayang dalam benak saya sosok nenek di kaki Gunung Nanggarajati.

Ya, untuk daging asap, nenek saya memang jagoan. Dulu, ketika sering pulang ke kampung, daging asap nenek yang paling saya incar. Saya selalu memperhatikannya masak di dapur berwarna hitam dan berjendela yang menawarkan pemandangan sawah yang membentang.

Dan, nenek sudah meninggal. Kerinduan itulah yang membuat saya ngotot untuk membungkus makanan dari warung Sipirok tadi; termasuk dengan cita rasa Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) yang tersedia di Kota Medan ini. Entahlah, pekan lalu saya begitu rindu rasa makanan dari kampung saya itu. Itulah sebab, pekan lalu saya berburu makanan Tabagsel.

Kembali ke daging asap, meski tidak seenak masakan nenek, rasa dari daging asap warung makan Sipirok itu ternyata cukup membuat saya puas. Sayang porsinya terlalu sedikit. Seandainya saja saya makan di warung itu, tentunya saya bisa menambah beberapa kali. Ah.
Istri saya tertawa saja melihat tingkah saya. “Makanya, datang lebih cepat. Jangan tidur saja!” katanya.

Makanya, esok harinya, tepatnya hari Kamis lalu saya bangun lebih awal. Jam setengah satu saya sudah menuju sebuah warung dengan cita rasa Tabagsel yang lain. Kali ini saya menuju warung makan Mandailing yang ada di Jalan Sisingamangaraja, tepatnya di depan pool bus ALS. Hasilnya? Saya terlambat juga!

Saya terpaksa duduk di halte yang ada tepat di depan warung itu. Sepeda motor saya pun terparkir menyempit di antara mobil yang berbaris. Kali ini saya harus bertahan, saya tak mau membungkus lagi. Saya harus duduk di dalam warung itu agar puas!

Saya lihat warung itu tetap penuh. Beberapa orang masih berbaris mengantre. Sementara di dalam warung tak ada yang merokok. Artinya, semuanya memang lagi makan. Artinya lagi, tidak ada yang menikmati waktu selesai makan dengan berlama-lama di dalam warung. Ah, sampai kapan saya harus menunggu.

Setelah dua batang rokok, saya lihat ada kursi yang kosong. Ingat, kursi! Meja dalam warung itu adalah meja panjang, jadi kalau menunggu meja kosong bisa sampai kapan kan? Jadi, ketika ada kursi kosong, langsung serobot saja tak peduli meja itu dikuasai siapa. Dan, saya mendapati kursi kosong di meja rombongan keluarga besar yang sedang makan dengan lahap.

Sayur lalapan yang terdiri dari daun pepaya, daun ubi, dan potongan jipang terletak di depan saya. Di piring lalapan itu ada pula sambal merah. Dari gayanya sangat biasa sekali; persis cabai giling di pasar-pasar. Di sampingnya, ada nasi putih yang mengepul. Dan, di sebelahnya, menu yang saya incar: ikan sale. Fiuh.

Maka, tanpa memperhatikan sekeliling, saya mulai makan. Ikan sale berkuah putih itu yang pertama saya sentuh. Sedap. Lalu, nasi putih yang saya lumuri kuah ikan sale tadi. Nikmat. Saya pandangi lalapan itu, daun pepaya begitu menonjol. Pasti pahit, pikir saya. Sambal itu pun kurang mantap dilihat. Tapi, ketika saya lihat sekeliling — dengan kursi-kursi penuh berisi pembeli — mereka begitu lahap menyantap lalapan dan sambal.

Ya, sudah saya nekat mencoba. Busyet! Daun pepaya tak pahit dan sambalnya begitu nikmat: pedas dan asamnya pas. Sambal ala Tabagsel! Nasi tambah langsung saya tumpahkan ke piring utama, padahal piring itu masih penuh. Saya siramkan nasi putih itu dengan kuah ikan sale. Saya comot daun pepaya, jipang, dan daun ubi. Saya ambil sambal yang banyak. Ikan sale saya sobek. Saya naikkan kaki sebelah, memijak kursi panjang. Saya pun makan dengan gila-gilaan. Nikmat.

Nasi saya tambah lagi. Sambal saya tambah lagi. Sementara pembeli terus berganti. Tetap saja semua kursi terisi.

Selesai. Saya sudah cuci tangan. Warung ini menawarkan jendela yang lebar. Angin menyergap badan. Cukup nikmat. Saya ambil rokok. Saya lihat sekeliling, semuanya makan dengan tergesa: selesai makan langsung bayar dan pulang. Lalu, kursi yang ditinggalkan langsung terisi dengan orang lain. Ah, saya masih nyaman. Tapi, sempat merasa tak enak dengan beberapa orang yang tampak mengantre. Ah….

Sudahlah…, saya simpan lagi rokok. Saya ikuti pembeli lain, habis makan langsung pulang. Empat belas ribu rupiah berpindah tangan. Hm, rupanya tidak terlalu mahal. He he he he.

Begitulah kawan, niat bengal menikmati cita rasa Tabagsel tuntas. Ya, meski masih kurang puas karena tak bisa berlama-lama di warung, setidaknya kerinduan pada masakan yang biasa disediakan di kaki Pegunungan Bukit Barisan sana bisa juga dirasakan di sini. Di Medan. Yeahh. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/