30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Hana tetap Sekolah, Pilih Tidak Menikah

Kisah Para Geisha Muda di Tengah Modernitas Negeri Sakura

Sejak pendudukan AS terhadap Jepang, Geisha menjadi berkonotasi negatif. Meski begitu, di tengah modernitas yang mengepung, Geisha muncul sebagai simbol seni tradisional Jepang yang elok.

HENNY GALLA, Tokyo

Dalam balutan kimono merah, Hana menari di atas panggung kayu dengan gemulai. Ia memutar tubuhnya yang ramping, tanpa berpindah barang sejengkal dari tempatnya berdiri. Dan “crak!”, ia kepakkan dengan keras kipas kertas di genggaman jemarinya. Wajah putihnya pun tertutup separo. Perlahan, ia membuka lebar tangannya. Sorot matanya lurus, tanpa gurat senyum, meski ia menyadari tengah tenggelam dalam alunan lembut petikan shamisen (gitar tradisional Jepang).

GEISA: Hana (tengah) bersama Akiko (kiri)  Kanae. Ketiganya mewarisi tradisi Negeri Sakura.//HENNY GALLA/JAWA POS/jpnn
GEISA: Hana (tengah) bersama Akiko (kiri) dan Kanae. Ketiganya mewarisi tradisi Negeri Sakura.//HENNY GALLA/JAWA POS/jpnn

Malam itu bukanlah pertama kalinya gadis 19 tahun itu tampil. Sudah lebih dari tiga tahun ia mendapat tugas menyambut para tamu di Meguro Gajoen, gedung resepsi perkawinan yang menyatu dengan hotel dan tempat hiburan keluarga. Gedung itu dibangun pada 1935.

Kali pertama ia manggung saat masih berusia 16 tahun. “Suatu pengalaman yang prestisius,” ungkap Hana sembari tersenyum simpul.
Ia memang hampir selalu menjadi pusat perhatian para tamu asing di tempat yang dulu terkenal dengan nama “Palace of The Dragon God” itu. Di era Kaisar Showa, Meguro Gajoen merupakan kompleks upacara penikahan yang pertama kali dibangun di Jepang.

Kanan kiri dinding Meguro Gajoen masih mempertahankan puluhan ukiran yang mengisahkan kehidupan geisha, sang seniman penghibur. Geisha yang terdiri atas dua huruf kanji gei (seni) dan sha (orang) itu memulai kisahnya sejak abad ke-18. Namun, tak semua menyebut perempuan penghibur Jepang itu dengan geisha. Ada juga yang menyebut dengan geiko atau geigi. Mereka lihai memainkan musik klasik maupun menari.

Hana butuh waktu yang cukup lama untuk menjadi seorang geisha seutuhnya. Ia belajar dengan sungguh-sungguh mengenai bentuk seni, yang tak hanya untuk menghibur, namun merasuk dalam kehidupan pribadi sehari-hari. Bagaimana ia menuangkan teh dari teko dengan tangannya yang gemulai; tutur katanya yang lembut nan cerdas; dan bagaimana ia melayani tamu yang kebanyakan dari kelas menengah ke atas itu.

“Saya belajar terlebih dahulu karakter tamu yang akan datang. Bagaimana background bisnis mereka. Seperti malam ini, mereka adalah orang dengan duit yang bagus,” terangnya sembari mengangguk.

Hana mengaku sejak remaja sudah berkeinginan menjadi geisha. Jauh sebelum tampil secara rutin di Meguro Gajoen, ia belajar pada Akiko, guru geisha-nya di Okiya. Seperti yang banyak dikisahkan, rumah-rumah geisha atau dalam bahasa Jepang disebut Okiya, membawa gadis-gadis dari keluarga miskin untuk dilatih menjadi geisha. Dalam banyak cerita pula, semasa kanak-kanak, geisha seringkali bekerja sebagai pembantu. Setelah itu, dia menyandang gelar geisha pemula (maiko) selama masa pelatihan sampai kemudian dinyatakan lulus sebagai geisha. Salah satu “sekolah” geisha terbesar ada di Kyoto, kota terbesar ketujuh di Jepang.

Sejak seorang calon geisha menginjakkan kaki di rumah barunya, dia sudah dianggap memiliki utang awal sebesar biaya yang dikeluarkan pemilik Okiya. Utang itu terus bertambah lantaran biaya pendidikan geisha, biaya perawatan kecantikan, biaya dokter juga ditalangi pemilik Okiya. Geisha biasanya akan terus mengabdikan diri hingga akhir hayatnya. Namun, ada pula geisha yang mampu menebus kembali kebebasannya sebelum mencapai usia 20-an tahun. Dia terbilang geisha sukses.

Akiko, guru geisha Hana, adalah potret perempuan penghibur yang hampir seluruh hidupnya tercurah menjadi geisha. Dia sudah menjadi geisha sejak masih belia, usia enam tahun. Ia mewarisi profesi ibunya yang pensiun setelah menikah. Lantaran gurunya adalah ibunya sendiri, Akiko tak perlu masuk ke Okiya dengan berbagai syarat.

“Saya sudah 60 tahun menjadi geisha. Dan, geisha adalah hidup yang saya pilih,” ungkap perempuan sepuh itu.

Salah satu pelajaran yang ditularkan Akiko kepada Hana dan Kenae, muridnya yang lain, adalah ilmu dasar geisha berupa style fashion. Dimulai dengan cara mengenakan kimono, mulai obi (ikat pinggang), tabi (kaos kaki), okobo (sandal kayu), dan zori (sandal flat). Akiko mengakui, Hana dan Kanae cepat menangkap pelajarannya. Dalam waktu singkat mereka sudah mahir mengenakan kimono lengkap.

“Yang menggembirakan, di Jepang sekarang anak-anak muda senang mengenakan kimono untuk pergi jalan-jalan. Karena itu, bagi Hana dan Kanae, pelajaran itu tidak sulit,” jelas Akiko.

Selain mengenakan kimono, geisha juga harus bisa merias wajahnya sendiri dengan cepat. Beberapa perlengkapan yang digunakan adalah uguisu no fun atau krim pemutih wajah, komenuka bijin atau pembersih wajah tradisional Jepang yang terbuat dari beras. Ada pula taihaku atau sejenis lilin tebal yang menutup make up putih dan pembentuk alis. Riasan wajah geisha hanya mengenal tiga paduan warna: putih, merah, dan hitam.
“Sekarang Hana sangat lihai menggunakan perlengkapan geisha-nya. Dia bisa memakai kimono hanya dalam waktu 10 menit. Sementara untuk merias wajah dia butuh 20 menit,” jelas Akiko.
Lalu, apakah kisah lama seperti geisha muda harus melelang keperawanan kepada penawar tertinggi masih berlaku hingga kini” “Tidak,” sergah Hana. “Saya tetap sekolah. Dan, teman-teman mendukung saya, meski mereka kaget kalau saya menjadi geisha,” sambungnya.
Dalam sejarahnya, geisha muda harus melelang keperawanan kepada penawar tertinggi, kemudian pendapatan dari lelang itu untuk menebus sebagian utang geisha kepada pemilik Okiya. Setelah itu, mereka harus mencari dana sebanyak-banyaknya atau suami kaya agar dapat membiayai hidupnya yang tinggi, serta membayari sebagian utang geisha terhadap majikan mereka. Memang, geisha yang sukses dalam suatu Okiya akan diadopsi menjadi anak angkat induk semang mereka, dan berhak menggunakan nama keluarga induk semang. Dia juga berhak mewarisi segala kekayaan seisi rumah dan meneruskan tradisi geisha.
Berbanding terbalik dengan cerita lama itu, saat ini seorang geisha tidak boleh menikah. Contohnya, Akiko yang hingga usia senjanya memilih tidak menikah.
“Sebenarnya juga ada rasa untuk ingin menikah. Tapi saya memilih untuk tidak menikah saja,” ungkap Akiko.
Begitu pula Hana yang baru akan menginjak usia 20 tahun. Dia memutuskan untuk tidak menikah. “Menikah membuat karir saya menjadi geisha terganggu,” sambung Hana. (*)

Kisah Para Geisha Muda di Tengah Modernitas Negeri Sakura

Sejak pendudukan AS terhadap Jepang, Geisha menjadi berkonotasi negatif. Meski begitu, di tengah modernitas yang mengepung, Geisha muncul sebagai simbol seni tradisional Jepang yang elok.

HENNY GALLA, Tokyo

Dalam balutan kimono merah, Hana menari di atas panggung kayu dengan gemulai. Ia memutar tubuhnya yang ramping, tanpa berpindah barang sejengkal dari tempatnya berdiri. Dan “crak!”, ia kepakkan dengan keras kipas kertas di genggaman jemarinya. Wajah putihnya pun tertutup separo. Perlahan, ia membuka lebar tangannya. Sorot matanya lurus, tanpa gurat senyum, meski ia menyadari tengah tenggelam dalam alunan lembut petikan shamisen (gitar tradisional Jepang).

GEISA: Hana (tengah) bersama Akiko (kiri)  Kanae. Ketiganya mewarisi tradisi Negeri Sakura.//HENNY GALLA/JAWA POS/jpnn
GEISA: Hana (tengah) bersama Akiko (kiri) dan Kanae. Ketiganya mewarisi tradisi Negeri Sakura.//HENNY GALLA/JAWA POS/jpnn

Malam itu bukanlah pertama kalinya gadis 19 tahun itu tampil. Sudah lebih dari tiga tahun ia mendapat tugas menyambut para tamu di Meguro Gajoen, gedung resepsi perkawinan yang menyatu dengan hotel dan tempat hiburan keluarga. Gedung itu dibangun pada 1935.

Kali pertama ia manggung saat masih berusia 16 tahun. “Suatu pengalaman yang prestisius,” ungkap Hana sembari tersenyum simpul.
Ia memang hampir selalu menjadi pusat perhatian para tamu asing di tempat yang dulu terkenal dengan nama “Palace of The Dragon God” itu. Di era Kaisar Showa, Meguro Gajoen merupakan kompleks upacara penikahan yang pertama kali dibangun di Jepang.

Kanan kiri dinding Meguro Gajoen masih mempertahankan puluhan ukiran yang mengisahkan kehidupan geisha, sang seniman penghibur. Geisha yang terdiri atas dua huruf kanji gei (seni) dan sha (orang) itu memulai kisahnya sejak abad ke-18. Namun, tak semua menyebut perempuan penghibur Jepang itu dengan geisha. Ada juga yang menyebut dengan geiko atau geigi. Mereka lihai memainkan musik klasik maupun menari.

Hana butuh waktu yang cukup lama untuk menjadi seorang geisha seutuhnya. Ia belajar dengan sungguh-sungguh mengenai bentuk seni, yang tak hanya untuk menghibur, namun merasuk dalam kehidupan pribadi sehari-hari. Bagaimana ia menuangkan teh dari teko dengan tangannya yang gemulai; tutur katanya yang lembut nan cerdas; dan bagaimana ia melayani tamu yang kebanyakan dari kelas menengah ke atas itu.

“Saya belajar terlebih dahulu karakter tamu yang akan datang. Bagaimana background bisnis mereka. Seperti malam ini, mereka adalah orang dengan duit yang bagus,” terangnya sembari mengangguk.

Hana mengaku sejak remaja sudah berkeinginan menjadi geisha. Jauh sebelum tampil secara rutin di Meguro Gajoen, ia belajar pada Akiko, guru geisha-nya di Okiya. Seperti yang banyak dikisahkan, rumah-rumah geisha atau dalam bahasa Jepang disebut Okiya, membawa gadis-gadis dari keluarga miskin untuk dilatih menjadi geisha. Dalam banyak cerita pula, semasa kanak-kanak, geisha seringkali bekerja sebagai pembantu. Setelah itu, dia menyandang gelar geisha pemula (maiko) selama masa pelatihan sampai kemudian dinyatakan lulus sebagai geisha. Salah satu “sekolah” geisha terbesar ada di Kyoto, kota terbesar ketujuh di Jepang.

Sejak seorang calon geisha menginjakkan kaki di rumah barunya, dia sudah dianggap memiliki utang awal sebesar biaya yang dikeluarkan pemilik Okiya. Utang itu terus bertambah lantaran biaya pendidikan geisha, biaya perawatan kecantikan, biaya dokter juga ditalangi pemilik Okiya. Geisha biasanya akan terus mengabdikan diri hingga akhir hayatnya. Namun, ada pula geisha yang mampu menebus kembali kebebasannya sebelum mencapai usia 20-an tahun. Dia terbilang geisha sukses.

Akiko, guru geisha Hana, adalah potret perempuan penghibur yang hampir seluruh hidupnya tercurah menjadi geisha. Dia sudah menjadi geisha sejak masih belia, usia enam tahun. Ia mewarisi profesi ibunya yang pensiun setelah menikah. Lantaran gurunya adalah ibunya sendiri, Akiko tak perlu masuk ke Okiya dengan berbagai syarat.

“Saya sudah 60 tahun menjadi geisha. Dan, geisha adalah hidup yang saya pilih,” ungkap perempuan sepuh itu.

Salah satu pelajaran yang ditularkan Akiko kepada Hana dan Kenae, muridnya yang lain, adalah ilmu dasar geisha berupa style fashion. Dimulai dengan cara mengenakan kimono, mulai obi (ikat pinggang), tabi (kaos kaki), okobo (sandal kayu), dan zori (sandal flat). Akiko mengakui, Hana dan Kanae cepat menangkap pelajarannya. Dalam waktu singkat mereka sudah mahir mengenakan kimono lengkap.

“Yang menggembirakan, di Jepang sekarang anak-anak muda senang mengenakan kimono untuk pergi jalan-jalan. Karena itu, bagi Hana dan Kanae, pelajaran itu tidak sulit,” jelas Akiko.

Selain mengenakan kimono, geisha juga harus bisa merias wajahnya sendiri dengan cepat. Beberapa perlengkapan yang digunakan adalah uguisu no fun atau krim pemutih wajah, komenuka bijin atau pembersih wajah tradisional Jepang yang terbuat dari beras. Ada pula taihaku atau sejenis lilin tebal yang menutup make up putih dan pembentuk alis. Riasan wajah geisha hanya mengenal tiga paduan warna: putih, merah, dan hitam.
“Sekarang Hana sangat lihai menggunakan perlengkapan geisha-nya. Dia bisa memakai kimono hanya dalam waktu 10 menit. Sementara untuk merias wajah dia butuh 20 menit,” jelas Akiko.
Lalu, apakah kisah lama seperti geisha muda harus melelang keperawanan kepada penawar tertinggi masih berlaku hingga kini” “Tidak,” sergah Hana. “Saya tetap sekolah. Dan, teman-teman mendukung saya, meski mereka kaget kalau saya menjadi geisha,” sambungnya.
Dalam sejarahnya, geisha muda harus melelang keperawanan kepada penawar tertinggi, kemudian pendapatan dari lelang itu untuk menebus sebagian utang geisha kepada pemilik Okiya. Setelah itu, mereka harus mencari dana sebanyak-banyaknya atau suami kaya agar dapat membiayai hidupnya yang tinggi, serta membayari sebagian utang geisha terhadap majikan mereka. Memang, geisha yang sukses dalam suatu Okiya akan diadopsi menjadi anak angkat induk semang mereka, dan berhak menggunakan nama keluarga induk semang. Dia juga berhak mewarisi segala kekayaan seisi rumah dan meneruskan tradisi geisha.
Berbanding terbalik dengan cerita lama itu, saat ini seorang geisha tidak boleh menikah. Contohnya, Akiko yang hingga usia senjanya memilih tidak menikah.
“Sebenarnya juga ada rasa untuk ingin menikah. Tapi saya memilih untuk tidak menikah saja,” ungkap Akiko.
Begitu pula Hana yang baru akan menginjak usia 20 tahun. Dia memutuskan untuk tidak menikah. “Menikah membuat karir saya menjadi geisha terganggu,” sambung Hana. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/