26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Negeri Para Penyanyi

Cerpen Incek Tirom

Wangsit, langkahnya tak surut menapaki jalan yang mendaki menuju balik gunung Merayapi. Konon katanya, di balik gunung Merayapi itu terdapat sebuah negara yang makmur penuh kebahagian. Tiada negara yang paling membuat rakyatnya bahagia selain negara itu. Yang Kepala Negaranya dijuluki Dewa Kesenangan. Tiada mungkin negara itu dapat membuat bahagia rakyatnya melainkan karena kepala negaranya memiliki kebijakan untuk mengatur daerah kekuasaannya dengan sempurna dan penuh kebijaksanaan. Maka dari itu, Wangsit ingin menemui Kepala Negara itu dan ingin menjadi warga negaranya di sana.

***
Sudah hampir semua negara di belahan bumi ini disinggahi oleh Wangsit. Tetapi belum ada tersiar dari mulut rakyatnya sendiri bahwa negara yang disinggahi Wangsit itu membuat rakyatnya bahagia. Sebab Kepala Negaranya tak berpihak pada rakyat.

Seperti negara Lawak-lawak yang pernah Wangsit singgahi. Negeri yang tanahnya dilimpahi oleh Tuhan Maha Tinggi dengan sumber daya alam yang melimpah ruah. Minyak bumi, batubara, emas, timah dan apa saja sumber daya alam dalam perut bumi berserakkan di bawah tanah negeri itu.
Lain tanah, lain pula lautnya. Lautnya diberkahi lebih dari lima ribu sepesies ikan. Belum lagi mutiara, dan apa saja hasil laut ada di sana. Tetapi, sialnya, negara itu, rakyatnya banyak yang dipekerjakan di luar negeri. Dan konon katanya, rakyatnya yang bekerja di luar negeri itu banyak disiksa oleh majikannya. Ada yang disetrika tubuhnya. Ada yang dicongkel matanya. Segala macam siksaan didapat oleh rakyat yang bekerja di negeri lain itu. Dan bahkan katanya, ada yang dihukum mati.

Dan lebih sialnya lagi, negara Lawak-lawak itu, sumber daya alamnya dimanfaatkan oleh orang-orang asing. Yang paling sial dari segala sial, rakyatnya menjadi pengemis di negeri sendiri. Yang membuat negara itu terkesan tidak sial karena kepala negaranya sering tampil di televisi dan mengatakan, negara kita baik-baik saja!

Mendengarkan cerita dari pengemis di negara Lawak-lawak, Wangsit langsung melangkahkan kakinya pergi dari negara itu dan mencari negara yang memang benar-benar rakyatnya sejahtera dikarenakan kepala negaranya bijaksana.

Itu baru cerita dari negeri Lawak-lawak. Ada lagi cerita dari negeri di belahan bumi lainnya, yang pemimimpin dan wakil rakyatnya, hampir kesemuanya adalah tikus. Tikus memimpin manusia! Tapi mereka tak mengakui diri mereka tikus. Malah mereka menuduh koleganya sendiri adalah tikus. Bos Besar Tikus, Putri Tikus, Jendral Tikus, Haji Tikus. Hampir semua segala profesi dipimpin oleh tikus.

Tersiarlah kabar yang didengar oleh semua rakyat di seantero negeri bahwa seekor tikus menggerogoti kayu, batu, semen, balok, pasir, besi, genteng, apa saja bahan untuk membuat gedung digerogoti tikus. Gedung untuk kepentingan rakyat.

Beramai-ramailah rakyat mencari tikus yang menggerogoti bahan-bahan bangunan. Di balik lemari, di atas loteng, di perkakas dapur, di bawah meja, di tempat sampah, di comberan. Tikus itu tak ada di sana. Ternyata tikus itu diam-diam terbang menyelinap ke pesawat terbang. Lalu pesawat terbang pergi ke sebuah negara tempat para tikus untuk mengeluarkan kotorannya.

Demi menjaga harga diri manusia, menjaga harga diri rakyat. Maka diutuslah seorang Pahlawan dari jenis manusia dari golongan rakyat untuk menangkap tikus itu agar dihakimi di negeri sendiri. Kepulangan sang Pahlawan ditunggu-tunggu oleh rakyat. Dan benarlah sang Pahlawan pulang dengan tikus di tangan kanannya. Rakyat bersorak gembira. Tepuk-tepuk tangan riuh-rendah dan acungan jempol tertuju pada sang pahlawan.

Tikus itu tak bergerak digenggamam sang pahlawan. Bila sekilas melihat wajah tikus itu, pastilah merasa iba. Tetapi karena giginya telah mengerat benda-benda keras, sudah pasti bahwa tikus itu bukan tikus biasa. Tikus luar biasa. Luar biasa bahayanya.

Di dalam sebuah gedung peradilan. Didudukkan lah tikus itu di sebuah bangku yang berseberangan dengan meja hakim. Berkas perkara pun dibacakan. Hakim mencecar pertanyaan pada tikus. Kumis tikus bergerak-gerak, sampai akhirnya dari mulut tikus terdengar suara yang besar membahana yang tak seimbang dengan badannya dan kemudian berbicara. Semua orang yang berada di dalam gedung peradilan terkejut dengan apa yang disampaikan tikus, bahwa banyak tikus-tikus lain yang lebih berpengaruh dalam penggerogotan kayu, besi, semen, batu, dan lain sebagainya.

Tercetuslah nama tikus lainnya, Bos Besar tikus dan Putri Tikus. Belum habis mendengarkan cerita negara yang banyak dipimpin para tikus, Wangsit lari terbirit-birit. Sebab seseorang yang menceritakan tentang negaranya itu, perlahan-lahan dari bokongnya keluar buntut yang nyaris seperti buntut tikus.
***

Wangsit memantapkan kakinya di atas pucak gunung. Tubuhnya dibalut oleh keringat lengket lagi lekat. Nafasnya yang tersengal mulai diatur perlahan-lahan agar kembali  nor mal. Gendang telinganya mendengung. Semilir angin menyapu rambutnya. Di depan matanya, lamat-lamat dia melihat sebuah negara yang akan didatanginya. Negara yang pemimpinnya dijuluki Dewa Kesenangan.

Kegembiraan mulai bernyanyi di hatinya. Senyum bahagia menyungging di bibirnya. Dia masih tak menyangka di depan matanya sebuah negara yang konon katanya, rakyatnya makmur sejahtera dan pemimpinnya amanah lagi bijaksana.

Masih teringat jelas di pikiran Wangsit, mengapa ia mencari sebuah negara yang rakyatnya makmur, aman, bahagia lagi sejahtera dikarenakan Kepala Negaranya yang bijaksana.

Terkisahlah saat Wangsit masih menetap di negaranya. Saat itu Wangsit masih kecil, kira-kira umurnya delapan tahun. Ia tinggal bersama kakek dan neneknya yang seorang veteran. Karena Ibunya telah meninggal. Meninggal karena bunuh diri, disebabkan karena ayahnya menghilang begitu saja sesaat melakukan unjuk rasa di depan gedung istana. Berunjuk rasa pada Kepala Negara yang berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun.

Pada suatu malam, rumah kakek dan nenek Wangsit didatangi oleh orang yang mengaku dari pemerintahan. Orang itu memberikan sebuah surat yang isinya hanya dimengerti oleh kakek, nenek, orang yang mengantar surat itu, orang yang menuliskannya dan orang yang memerintahkan surat itu untuk kakek dan nenek Wangsit. Sedangkan Wangsit tidak mengerti apa-apa tentang isi surat itu.
Setelah membaca surat itu, kakek dan nenek Wangsit menangis.

“Sudah berpuluh-puluh tahun kita tinggal di rumah ini Mak!” Kata kakek kepada Istrinya.
Diam sejenak. Mereka saling tatap. Wangsit dari dalam kamarnya memperhatikan di balik gorden pintu.
Kakek melanjutkan.

“Di hari tua kita, tanpa saudara dan sanak famili. Mereka masih tega mengusir kita dari rumah ini! Memanglah orang-orang muda tak mengerti cara balas budi!”

“Seminggu batas waktu kita untuk angkat kaki dari rumah ini!” Kata nenek pada suaminya.

Sepanjang malam itu, kakak dan nenek Wangsit bercerita tentang masa perjuangan melawan penjajah, masa merdeka, masa mengisi kemerdekaan, sampai masa tua renta mereka. Wangsit yang tidak bisa tidur mendengarkan cerita kakek dan neneknya dari balik kamar yang saling bersebelahan.

Hari ke empat setelah pemberian surat itu datanglah kembali orang yang memberi surat. Ia memberi peringatan kembali pada kakek dan nenek Wangsit agar segera angkat kaki dan mengosongkan perkakas rumah sebelum tanggal yang ditentukan. Tepat tiga hari, rumahnya akan diratakan dengan tanah.
“Kita harus tetap bertahan di sini Mak!” Kata kakek pada istrinya. Nenek mengangguk dalam.
Tiga hari batas waktu, sebelum itu kakek dan nenek Lonjor harus sudah angkat kaki.

Saat Wangsit pulang sekolah, kakek dan neneknya duduk di bangku goyang di teras depan rumah mereka. Wangsit menyalami tangan ke duanya. Dingin terasa tangan kakek dan neneknya. Masih ada sisa-sisa keringat yang baru saja dilap. Nafas kakek dan neneknya juga masih terasa tersenggal-senggal.
Malam harinya, Wangsit mendengar suara tanah yang sedang digali dengan cangkol dari dalam kamar kakek dan neneknya. Wangsit melengketkan telinganya ke dinding kamar kakek dan neneknya. Suara galian tanah itu terus terdengar jika malam hari.

Sehari sebelum rumah diratakan dengan tanah, kakek, nenek dan Wangsit pergi dari rumah itu. Wangsit merasa bahagia, karena jarang kakek dan neneknya membawanya pergi jalan-jalan meninggalkan rumah.

Wangsit benar-benar tidak tahu di mana kakek dan nenek membawanya. Mereka memasuki halaman yang luas, rumah yang cukup besar tetapi tak megah. Di dalam rumah itu banyak anak-anak yang sebaya dengan Wangsit.

Saat mereka memasuki rumah itu. Mereka disambut oleh seorang lelaki dan seorang perempuan setengah baya. Kakek dan nenek berbincang-bincang dengan ke dua orang itu. Salah satu dari ke dua orang itu memanggil dua orang anak laki-laki sebaya dengan Wangsit. Anak laki-laki itu datang, dan mengajak Wangsit bermain dengan mereka.

Di tengah keasyikan bermain, Wangsit teringat dengan kakek dan neneknya. Wangsit berlari kembali kearah teras rumah. Tetapi tiada siapa-siapa di sana. Seketika Wangsit menangis. Dua teman sebayanya menyusulnya, memegang bahunya, kemudian menuntunnya pada sebuah kamar. Di dalam kamar itu banyak terdapat tempat tidur bertingkat.

Hari pertama tinggal di rumah itu, Wangsit selalu menangis dan selalu murung di dalam kamar sendirian. Ia sedih karena kakek dan neneknya meninggalkannya di rumah besar itu. Tetapi seiring waktu ia bisa melupakan kakek dan neneknya, karena di rumah itu Wangsit merasa sangat senang dan bahagia karena banyak anak yang sebaya dengannya.

Tibalah hari pemerataan rumah dengan tanah. Alat berat buldoser didatangkan. Beramai-ramai orang menyaksikan pemeretaan rumah itu. Mereka tak tahu bahwa kakek dan nenek Wangsit masih berada di rumah itu, di dalam lobang di dalam kamar yang mereka gali pada setiap waktu.
Mulailah alat berat meratakan rumah. Hanya dengan hitungan menit rumah itu mulai rata dengan tanah. Hitungan jam rumah hanya tinggal puing-puing yang rata dengan tanah.

Setelah Wangsit beranjak dewasa, seorang lelaki setengah baya yang kini telah tua menceritakan pada Wangsit bahwa rumah tempat tinggalnya dulu bersama kakek dan neneknya diratakan dengan tanah. Kakek dan neneknya mengantarkannya ke panti asuhan ini, dan berpesan padanya agar ketika Wangsit sudah dewasa, carilah negara yang pemimpinnya mampu berlaku adil dan dapat mensejahterakan rakyat. Agar di hari tuanya tak sengsara seperti kakek dan neneknya. Mendengar cerita itu air mata Wangsit menangis, hatinya tercabik-cabik. Perih.***

Tanpa sadar air mata Wangsit menetes mengenang peristiwa yang menimpa kakek dan neneknya. Tetapi perlahan senyum mulai mengembang di bibirnya karena di depan matanya adalah sebuah negara yang selama ini yang ia cari-cari.

Sebelum langit gelap, sebelum malam tiba. Maka Wangsit melangkahkan kakinya menuruni jalanan curam menuju negara itu. Tepatlah Wangsit sampai ke negara itu saat malam. Sesampainya di sana beribu-ribu orang berbondong-bondong entah ke mana. Maka ditanyakanlah kepada salah satu orang.
“Mau ke mana orang-orang berbondong-bondong, wahai saudara?”

“Tidak kah kau tahu! Saat ini di istana, Kepala Negara dan menteri-menterinya lagi mengadakan konser musik!” Seseorang itu sambil berlalu dan terburu-buru menyusul yang lainnya.

Rasa penasaran Wangsit pun membuncah ingin melihat Kepala Negara yang bijaksana di istana negara. Wangsit pun ikut bersama beribu-ribu orang yang berdesak-desakan di depan istana. Lamat dilihatnyalah Kepala Negara sedang memegang mik dan menyanyikan sebuah lagu. Suaranya pun begitu merdu. Beribu-ribu orang berjoged ria mendengar dendangan musik yang khas. Joged yang juga khas dengan dua jari jempol tangan yang dijentikkan. Berputar-putar.

Ingin rasanya Wangsit ikut borjoged ria bersama ribuan orang lainnya. Tetapi ia masih merasa canggung untuk ikut bergoyang. Hanya satu kakinya lah yang dihentak-hentakkannya ke tanah. Dari kejauhan Wangsit hanya memperhatikan Kepala Negara yang terus bernyanyi beratus-ratus lagu yang bergantian dengan menteri-menterinya. Tanpa terasa pagi pun menjelang. Beribu-ribu orang, satu-persatu mulai meninggalkan halaman istana negara dengan keadaan letih. Mereka sempoyongan dihantam joged ria satu malaman.

Saat orang berhamburan pulang, Wangsit menerobos masuk ke dalam istana negara menemui Kepala Negara. Ia ingin memastikan apakah Kepala Negara yang tadi menyanyi itu adalah benar dijuluki Dewa Kesenangan.

Diikutinyalah Kepala Negara sampai masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan itu berkumpulah Kepala Negara dan para menteri. Di dinding ruangan itu, tepat di atas meja kerja Kepala Negara, terpajang gambar Kepala Negara berukuran dua meter yang sedang memegang gitar kepala buntung. Di gambar itu Kepala Negara mengenakan pakaian putih dengan syal yang tersampir di bahu. Tanpa menunggu waktu Wangsit kontan bertanya pada Kepala Negara.

“Apakah benar Kepala Negara yang dijuluki Dewa Kesenangan?”

Kontan seisi ruangan terdiam. Sebentar. Kemudian tawa pecah terbahak-bahak. Kekeh. Mereka memegangi perut. Tak tahan.
“Dewa Kesenangan? Hahaha. Bukan. Bukan. Akulah Kepala Negara yang dijuluki Raja Dangdut! Sungguh terlalu!”
Seketika tawa kembali meledak.

Wangsit diam mematung memandangi poto Kepala Negara yang terpajang di dinding di atas meja kerja. Benarkah dengan cara bernayanyi dan berjoged rakyat akan bahagia? Gumamnya. Bumi terus berputar entah sampai kapan. Dan masih banyak “Wangsit-Wangsit” lainnya menunggu Kepala Negara yang berpihak kepada rakyat.

Tanjung Pasir,  Kualuh Selatan,  11 Januari 2013

Cerpen Incek Tirom

Wangsit, langkahnya tak surut menapaki jalan yang mendaki menuju balik gunung Merayapi. Konon katanya, di balik gunung Merayapi itu terdapat sebuah negara yang makmur penuh kebahagian. Tiada negara yang paling membuat rakyatnya bahagia selain negara itu. Yang Kepala Negaranya dijuluki Dewa Kesenangan. Tiada mungkin negara itu dapat membuat bahagia rakyatnya melainkan karena kepala negaranya memiliki kebijakan untuk mengatur daerah kekuasaannya dengan sempurna dan penuh kebijaksanaan. Maka dari itu, Wangsit ingin menemui Kepala Negara itu dan ingin menjadi warga negaranya di sana.

***
Sudah hampir semua negara di belahan bumi ini disinggahi oleh Wangsit. Tetapi belum ada tersiar dari mulut rakyatnya sendiri bahwa negara yang disinggahi Wangsit itu membuat rakyatnya bahagia. Sebab Kepala Negaranya tak berpihak pada rakyat.

Seperti negara Lawak-lawak yang pernah Wangsit singgahi. Negeri yang tanahnya dilimpahi oleh Tuhan Maha Tinggi dengan sumber daya alam yang melimpah ruah. Minyak bumi, batubara, emas, timah dan apa saja sumber daya alam dalam perut bumi berserakkan di bawah tanah negeri itu.
Lain tanah, lain pula lautnya. Lautnya diberkahi lebih dari lima ribu sepesies ikan. Belum lagi mutiara, dan apa saja hasil laut ada di sana. Tetapi, sialnya, negara itu, rakyatnya banyak yang dipekerjakan di luar negeri. Dan konon katanya, rakyatnya yang bekerja di luar negeri itu banyak disiksa oleh majikannya. Ada yang disetrika tubuhnya. Ada yang dicongkel matanya. Segala macam siksaan didapat oleh rakyat yang bekerja di negeri lain itu. Dan bahkan katanya, ada yang dihukum mati.

Dan lebih sialnya lagi, negara Lawak-lawak itu, sumber daya alamnya dimanfaatkan oleh orang-orang asing. Yang paling sial dari segala sial, rakyatnya menjadi pengemis di negeri sendiri. Yang membuat negara itu terkesan tidak sial karena kepala negaranya sering tampil di televisi dan mengatakan, negara kita baik-baik saja!

Mendengarkan cerita dari pengemis di negara Lawak-lawak, Wangsit langsung melangkahkan kakinya pergi dari negara itu dan mencari negara yang memang benar-benar rakyatnya sejahtera dikarenakan kepala negaranya bijaksana.

Itu baru cerita dari negeri Lawak-lawak. Ada lagi cerita dari negeri di belahan bumi lainnya, yang pemimimpin dan wakil rakyatnya, hampir kesemuanya adalah tikus. Tikus memimpin manusia! Tapi mereka tak mengakui diri mereka tikus. Malah mereka menuduh koleganya sendiri adalah tikus. Bos Besar Tikus, Putri Tikus, Jendral Tikus, Haji Tikus. Hampir semua segala profesi dipimpin oleh tikus.

Tersiarlah kabar yang didengar oleh semua rakyat di seantero negeri bahwa seekor tikus menggerogoti kayu, batu, semen, balok, pasir, besi, genteng, apa saja bahan untuk membuat gedung digerogoti tikus. Gedung untuk kepentingan rakyat.

Beramai-ramailah rakyat mencari tikus yang menggerogoti bahan-bahan bangunan. Di balik lemari, di atas loteng, di perkakas dapur, di bawah meja, di tempat sampah, di comberan. Tikus itu tak ada di sana. Ternyata tikus itu diam-diam terbang menyelinap ke pesawat terbang. Lalu pesawat terbang pergi ke sebuah negara tempat para tikus untuk mengeluarkan kotorannya.

Demi menjaga harga diri manusia, menjaga harga diri rakyat. Maka diutuslah seorang Pahlawan dari jenis manusia dari golongan rakyat untuk menangkap tikus itu agar dihakimi di negeri sendiri. Kepulangan sang Pahlawan ditunggu-tunggu oleh rakyat. Dan benarlah sang Pahlawan pulang dengan tikus di tangan kanannya. Rakyat bersorak gembira. Tepuk-tepuk tangan riuh-rendah dan acungan jempol tertuju pada sang pahlawan.

Tikus itu tak bergerak digenggamam sang pahlawan. Bila sekilas melihat wajah tikus itu, pastilah merasa iba. Tetapi karena giginya telah mengerat benda-benda keras, sudah pasti bahwa tikus itu bukan tikus biasa. Tikus luar biasa. Luar biasa bahayanya.

Di dalam sebuah gedung peradilan. Didudukkan lah tikus itu di sebuah bangku yang berseberangan dengan meja hakim. Berkas perkara pun dibacakan. Hakim mencecar pertanyaan pada tikus. Kumis tikus bergerak-gerak, sampai akhirnya dari mulut tikus terdengar suara yang besar membahana yang tak seimbang dengan badannya dan kemudian berbicara. Semua orang yang berada di dalam gedung peradilan terkejut dengan apa yang disampaikan tikus, bahwa banyak tikus-tikus lain yang lebih berpengaruh dalam penggerogotan kayu, besi, semen, batu, dan lain sebagainya.

Tercetuslah nama tikus lainnya, Bos Besar tikus dan Putri Tikus. Belum habis mendengarkan cerita negara yang banyak dipimpin para tikus, Wangsit lari terbirit-birit. Sebab seseorang yang menceritakan tentang negaranya itu, perlahan-lahan dari bokongnya keluar buntut yang nyaris seperti buntut tikus.
***

Wangsit memantapkan kakinya di atas pucak gunung. Tubuhnya dibalut oleh keringat lengket lagi lekat. Nafasnya yang tersengal mulai diatur perlahan-lahan agar kembali  nor mal. Gendang telinganya mendengung. Semilir angin menyapu rambutnya. Di depan matanya, lamat-lamat dia melihat sebuah negara yang akan didatanginya. Negara yang pemimpinnya dijuluki Dewa Kesenangan.

Kegembiraan mulai bernyanyi di hatinya. Senyum bahagia menyungging di bibirnya. Dia masih tak menyangka di depan matanya sebuah negara yang konon katanya, rakyatnya makmur sejahtera dan pemimpinnya amanah lagi bijaksana.

Masih teringat jelas di pikiran Wangsit, mengapa ia mencari sebuah negara yang rakyatnya makmur, aman, bahagia lagi sejahtera dikarenakan Kepala Negaranya yang bijaksana.

Terkisahlah saat Wangsit masih menetap di negaranya. Saat itu Wangsit masih kecil, kira-kira umurnya delapan tahun. Ia tinggal bersama kakek dan neneknya yang seorang veteran. Karena Ibunya telah meninggal. Meninggal karena bunuh diri, disebabkan karena ayahnya menghilang begitu saja sesaat melakukan unjuk rasa di depan gedung istana. Berunjuk rasa pada Kepala Negara yang berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun.

Pada suatu malam, rumah kakek dan nenek Wangsit didatangi oleh orang yang mengaku dari pemerintahan. Orang itu memberikan sebuah surat yang isinya hanya dimengerti oleh kakek, nenek, orang yang mengantar surat itu, orang yang menuliskannya dan orang yang memerintahkan surat itu untuk kakek dan nenek Wangsit. Sedangkan Wangsit tidak mengerti apa-apa tentang isi surat itu.
Setelah membaca surat itu, kakek dan nenek Wangsit menangis.

“Sudah berpuluh-puluh tahun kita tinggal di rumah ini Mak!” Kata kakek kepada Istrinya.
Diam sejenak. Mereka saling tatap. Wangsit dari dalam kamarnya memperhatikan di balik gorden pintu.
Kakek melanjutkan.

“Di hari tua kita, tanpa saudara dan sanak famili. Mereka masih tega mengusir kita dari rumah ini! Memanglah orang-orang muda tak mengerti cara balas budi!”

“Seminggu batas waktu kita untuk angkat kaki dari rumah ini!” Kata nenek pada suaminya.

Sepanjang malam itu, kakak dan nenek Wangsit bercerita tentang masa perjuangan melawan penjajah, masa merdeka, masa mengisi kemerdekaan, sampai masa tua renta mereka. Wangsit yang tidak bisa tidur mendengarkan cerita kakek dan neneknya dari balik kamar yang saling bersebelahan.

Hari ke empat setelah pemberian surat itu datanglah kembali orang yang memberi surat. Ia memberi peringatan kembali pada kakek dan nenek Wangsit agar segera angkat kaki dan mengosongkan perkakas rumah sebelum tanggal yang ditentukan. Tepat tiga hari, rumahnya akan diratakan dengan tanah.
“Kita harus tetap bertahan di sini Mak!” Kata kakek pada istrinya. Nenek mengangguk dalam.
Tiga hari batas waktu, sebelum itu kakek dan nenek Lonjor harus sudah angkat kaki.

Saat Wangsit pulang sekolah, kakek dan neneknya duduk di bangku goyang di teras depan rumah mereka. Wangsit menyalami tangan ke duanya. Dingin terasa tangan kakek dan neneknya. Masih ada sisa-sisa keringat yang baru saja dilap. Nafas kakek dan neneknya juga masih terasa tersenggal-senggal.
Malam harinya, Wangsit mendengar suara tanah yang sedang digali dengan cangkol dari dalam kamar kakek dan neneknya. Wangsit melengketkan telinganya ke dinding kamar kakek dan neneknya. Suara galian tanah itu terus terdengar jika malam hari.

Sehari sebelum rumah diratakan dengan tanah, kakek, nenek dan Wangsit pergi dari rumah itu. Wangsit merasa bahagia, karena jarang kakek dan neneknya membawanya pergi jalan-jalan meninggalkan rumah.

Wangsit benar-benar tidak tahu di mana kakek dan nenek membawanya. Mereka memasuki halaman yang luas, rumah yang cukup besar tetapi tak megah. Di dalam rumah itu banyak anak-anak yang sebaya dengan Wangsit.

Saat mereka memasuki rumah itu. Mereka disambut oleh seorang lelaki dan seorang perempuan setengah baya. Kakek dan nenek berbincang-bincang dengan ke dua orang itu. Salah satu dari ke dua orang itu memanggil dua orang anak laki-laki sebaya dengan Wangsit. Anak laki-laki itu datang, dan mengajak Wangsit bermain dengan mereka.

Di tengah keasyikan bermain, Wangsit teringat dengan kakek dan neneknya. Wangsit berlari kembali kearah teras rumah. Tetapi tiada siapa-siapa di sana. Seketika Wangsit menangis. Dua teman sebayanya menyusulnya, memegang bahunya, kemudian menuntunnya pada sebuah kamar. Di dalam kamar itu banyak terdapat tempat tidur bertingkat.

Hari pertama tinggal di rumah itu, Wangsit selalu menangis dan selalu murung di dalam kamar sendirian. Ia sedih karena kakek dan neneknya meninggalkannya di rumah besar itu. Tetapi seiring waktu ia bisa melupakan kakek dan neneknya, karena di rumah itu Wangsit merasa sangat senang dan bahagia karena banyak anak yang sebaya dengannya.

Tibalah hari pemerataan rumah dengan tanah. Alat berat buldoser didatangkan. Beramai-ramai orang menyaksikan pemeretaan rumah itu. Mereka tak tahu bahwa kakek dan nenek Wangsit masih berada di rumah itu, di dalam lobang di dalam kamar yang mereka gali pada setiap waktu.
Mulailah alat berat meratakan rumah. Hanya dengan hitungan menit rumah itu mulai rata dengan tanah. Hitungan jam rumah hanya tinggal puing-puing yang rata dengan tanah.

Setelah Wangsit beranjak dewasa, seorang lelaki setengah baya yang kini telah tua menceritakan pada Wangsit bahwa rumah tempat tinggalnya dulu bersama kakek dan neneknya diratakan dengan tanah. Kakek dan neneknya mengantarkannya ke panti asuhan ini, dan berpesan padanya agar ketika Wangsit sudah dewasa, carilah negara yang pemimpinnya mampu berlaku adil dan dapat mensejahterakan rakyat. Agar di hari tuanya tak sengsara seperti kakek dan neneknya. Mendengar cerita itu air mata Wangsit menangis, hatinya tercabik-cabik. Perih.***

Tanpa sadar air mata Wangsit menetes mengenang peristiwa yang menimpa kakek dan neneknya. Tetapi perlahan senyum mulai mengembang di bibirnya karena di depan matanya adalah sebuah negara yang selama ini yang ia cari-cari.

Sebelum langit gelap, sebelum malam tiba. Maka Wangsit melangkahkan kakinya menuruni jalanan curam menuju negara itu. Tepatlah Wangsit sampai ke negara itu saat malam. Sesampainya di sana beribu-ribu orang berbondong-bondong entah ke mana. Maka ditanyakanlah kepada salah satu orang.
“Mau ke mana orang-orang berbondong-bondong, wahai saudara?”

“Tidak kah kau tahu! Saat ini di istana, Kepala Negara dan menteri-menterinya lagi mengadakan konser musik!” Seseorang itu sambil berlalu dan terburu-buru menyusul yang lainnya.

Rasa penasaran Wangsit pun membuncah ingin melihat Kepala Negara yang bijaksana di istana negara. Wangsit pun ikut bersama beribu-ribu orang yang berdesak-desakan di depan istana. Lamat dilihatnyalah Kepala Negara sedang memegang mik dan menyanyikan sebuah lagu. Suaranya pun begitu merdu. Beribu-ribu orang berjoged ria mendengar dendangan musik yang khas. Joged yang juga khas dengan dua jari jempol tangan yang dijentikkan. Berputar-putar.

Ingin rasanya Wangsit ikut borjoged ria bersama ribuan orang lainnya. Tetapi ia masih merasa canggung untuk ikut bergoyang. Hanya satu kakinya lah yang dihentak-hentakkannya ke tanah. Dari kejauhan Wangsit hanya memperhatikan Kepala Negara yang terus bernyanyi beratus-ratus lagu yang bergantian dengan menteri-menterinya. Tanpa terasa pagi pun menjelang. Beribu-ribu orang, satu-persatu mulai meninggalkan halaman istana negara dengan keadaan letih. Mereka sempoyongan dihantam joged ria satu malaman.

Saat orang berhamburan pulang, Wangsit menerobos masuk ke dalam istana negara menemui Kepala Negara. Ia ingin memastikan apakah Kepala Negara yang tadi menyanyi itu adalah benar dijuluki Dewa Kesenangan.

Diikutinyalah Kepala Negara sampai masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan itu berkumpulah Kepala Negara dan para menteri. Di dinding ruangan itu, tepat di atas meja kerja Kepala Negara, terpajang gambar Kepala Negara berukuran dua meter yang sedang memegang gitar kepala buntung. Di gambar itu Kepala Negara mengenakan pakaian putih dengan syal yang tersampir di bahu. Tanpa menunggu waktu Wangsit kontan bertanya pada Kepala Negara.

“Apakah benar Kepala Negara yang dijuluki Dewa Kesenangan?”

Kontan seisi ruangan terdiam. Sebentar. Kemudian tawa pecah terbahak-bahak. Kekeh. Mereka memegangi perut. Tak tahan.
“Dewa Kesenangan? Hahaha. Bukan. Bukan. Akulah Kepala Negara yang dijuluki Raja Dangdut! Sungguh terlalu!”
Seketika tawa kembali meledak.

Wangsit diam mematung memandangi poto Kepala Negara yang terpajang di dinding di atas meja kerja. Benarkah dengan cara bernayanyi dan berjoged rakyat akan bahagia? Gumamnya. Bumi terus berputar entah sampai kapan. Dan masih banyak “Wangsit-Wangsit” lainnya menunggu Kepala Negara yang berpihak kepada rakyat.

Tanjung Pasir,  Kualuh Selatan,  11 Januari 2013

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/