29 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Meninggalkan Gedung dan Bising Jalanan*

Oleh: Ramadhan Batubara

Sekarang semua tlah kutinggalkan
Gedung-gedung dan bising jalanan
Di hatiku kugenggam kerinduan
Pada bukit pedesaan.

Kumpulan kalimat di atas tak lain sebuah lirik lagu. Ya, ‘Pada Bukit dan Pedesaan’ karya Franky Sahilatua. Perhatikan bait itu, Franky memang telah meninggalkan gedung dan bising jalanan, mungkin dia pun sudah sampai ‘Pada bukit Pedesaan’.

Sayang, ini bukan tentang lelaki yang setia di jalur balada itu, juga bukan tentang Rosihan Anwar yang telah berlalu. Semacam dahsyatnya sajak karya Rama Prabu untuk Rosihan: gelatik itu terbang pagi ketika fajar membuka terali membawa kabar dari senja putaran katakata // ada kicau yang dulu jadi cerita tentang sejarah kecil orangorang tepi tentang mereka yang mengobarkan api revolusi menuntun jalan menegakan negeri (Sajak Sejarah Kecil untuk Rosihan Anwar;2011)

Lantun kali ini hanya sekadar menyapa seorang polisi yang mendadak top. Hm, siapa lagi kalau bukan Briptu Norman Kamaru. Maksud hati bukan untuk menjadikan Norman lebih hebat dari Franky dan Rosihan, kisah si brimob ini memang lumayan menarik untuk dibahas. Begini, kita lihat lagi lirik laku karya Franky yang berujud ‘Pada Bukti dan Pedesaan’ tadi:

Bukit.. lama sudah kita tak pernah jumpa
Hari-hari pun tenggelam di sela-sela bis kota
Jiwaku beku gelisah

Kerinduan. Ya, seperti kerinduan Franky terhadap bukit pedesaan, lirik ini cukup pas untuk Norman. Dia yang dikenal karena youtube tersebut juga merindukan kampungnya setelah sekian waktu ‘diperkosa’ kota. Dia pulang ke Gorontalo dan langsung tumbang!
Jujur, menyaksikan Norman yang terus dipajang televisi hingga satu pekan lebih tanpa henti, ada sebuah rasa curiga menyergap kepala saya. Begitu rindukah negeri ini dengan sosok yang bisa menyegarkan kepala? Ayolah, Norman adalah seorang polisi dan selama ini instansi tersebut memiliki warna yang cenderung tetap; ketat, serius, tegang, dan banyak cakap di televisi; contohnya kasus-kasus teroris, cicak dan buaya, dan sebagainya yang membuat polisi berulang cakap di layar kaca.

Ya, selama ini adalah sesuatu yang lucu melihat polisi melucu bukan? Sosok polisi adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap main-main, hingga seorang ibu pun menyebut kata ‘polisi’ agar anaknya mau makan. Lalu, sekian kampanye mengubah imej polisi yang seram tak kunjung berhasil. Nah, tiba-tiba muncullah seorang brimob menari ala India yang membuat penonton gemas, lucu, hingga tergoda.

Terus terang, saya ingin mencari sudut pandang lain, misalnya bakat Normanlah yang membuat dia tambah top. Ya, sepengakuannya sejak kecil memang gemar dan berprestasi di bidang seni vokal dan tari. Sayangnya, pikiran itu harus saya bantah. Setahu saya, dalam kehidupan polisi soal nyanyi dan menari bukanlah barang baru. Bahkan, sampai ada istilah tari komando di kalangan mereka. Nah, menyanyi dan menari ala Norman, seharusnya tidak seheboh ini kan?

Tapi, bukankah ini pengaruh youtube? Baiklah, fenomena fasilitas di dunia maya ini memang sangat gila. Norman bukanlah orang pertama yang hebat gara-gara itu, sudah cukup banyak. Masalahnya, tidak semua orang yang muncul di youtube bisa setenar Norman bukan? Yang terbaru, lihat saja Udin se-Dunia, Sinta Jojo, dan sebagainya. Untuk Norman, yang terlihat cenderung ada semacam gerakan untuk mengangkat Norman ke permukaan sedemikian rupa. Bayangkan, Kapolri memanggilnya khusus! Dia pun diserahkan tugas untuk tampil di televisi –di semua chanel—dan setiap tampil pakai baju dinas, komandannya pun tak pernah lepas.

Ayolah, apa yang ada di balik ketenaran Norman? Apakah hanya karena dia polisi yang menari dan menyanyi saja? Apakah karena dia dianggap berbakat? Hm, masih banyak yang seperti itu! Atau karena dia menyanyikan lagu India?
Terserahlah. Sekian banyak kepentingan jelas terlihat di balik ketenaran Norman. Tidak harus dicaci, tapi sadarilah, Norman tetap menjadi korban. Lihatlah dia terbaring setelah sepekan lebih menghirup udara Jakarta.

Seperti kata Franky: Sekarang semua tlah kutinggalkan//Gedung-gedung dan bising jalanan//Di hatiku kugenggam kerinduan//Pada bukit pedesaan.

Ah, (tiba-tiba muncul pula pikiran) mungkinkah Norman sakit gara-gara terlalu cepat kembali ke Gorontalo? Ya, bukankah nikmat dikawal oleh polisi yang pangkatnya jauh di atas. Lalu, segala kebutuhan dilayani dengan baik dan benar. Benar-benar dimanjakan, kenikmatan hadir tanpa henti. Belum lagi pundi-pundi menumpuk di saku, di rekening, dan di tempat-tempat lainnya. Ah, saya teringat lagi lagu Franky yang lain, Lelaki dan Rembulan:

Rembulan di malam hari//lelaki diam seribu kata//hanya memandang//hatinya luka hatinya luka//hatinya luka.
Hm, sudahlah, apapun itu Norman telah kembali ke kampungnya dan bersiap kembali ke Jakarta, entah untuk apa…. (*)

*Judul dikutip dari lirik lagu ‘Pada Bukit dan Pedesaan’ karya Franky Sahilatua.

22 April 2011

 

Oleh: Ramadhan Batubara

Sekarang semua tlah kutinggalkan
Gedung-gedung dan bising jalanan
Di hatiku kugenggam kerinduan
Pada bukit pedesaan.

Kumpulan kalimat di atas tak lain sebuah lirik lagu. Ya, ‘Pada Bukit dan Pedesaan’ karya Franky Sahilatua. Perhatikan bait itu, Franky memang telah meninggalkan gedung dan bising jalanan, mungkin dia pun sudah sampai ‘Pada bukit Pedesaan’.

Sayang, ini bukan tentang lelaki yang setia di jalur balada itu, juga bukan tentang Rosihan Anwar yang telah berlalu. Semacam dahsyatnya sajak karya Rama Prabu untuk Rosihan: gelatik itu terbang pagi ketika fajar membuka terali membawa kabar dari senja putaran katakata // ada kicau yang dulu jadi cerita tentang sejarah kecil orangorang tepi tentang mereka yang mengobarkan api revolusi menuntun jalan menegakan negeri (Sajak Sejarah Kecil untuk Rosihan Anwar;2011)

Lantun kali ini hanya sekadar menyapa seorang polisi yang mendadak top. Hm, siapa lagi kalau bukan Briptu Norman Kamaru. Maksud hati bukan untuk menjadikan Norman lebih hebat dari Franky dan Rosihan, kisah si brimob ini memang lumayan menarik untuk dibahas. Begini, kita lihat lagi lirik laku karya Franky yang berujud ‘Pada Bukti dan Pedesaan’ tadi:

Bukit.. lama sudah kita tak pernah jumpa
Hari-hari pun tenggelam di sela-sela bis kota
Jiwaku beku gelisah

Kerinduan. Ya, seperti kerinduan Franky terhadap bukit pedesaan, lirik ini cukup pas untuk Norman. Dia yang dikenal karena youtube tersebut juga merindukan kampungnya setelah sekian waktu ‘diperkosa’ kota. Dia pulang ke Gorontalo dan langsung tumbang!
Jujur, menyaksikan Norman yang terus dipajang televisi hingga satu pekan lebih tanpa henti, ada sebuah rasa curiga menyergap kepala saya. Begitu rindukah negeri ini dengan sosok yang bisa menyegarkan kepala? Ayolah, Norman adalah seorang polisi dan selama ini instansi tersebut memiliki warna yang cenderung tetap; ketat, serius, tegang, dan banyak cakap di televisi; contohnya kasus-kasus teroris, cicak dan buaya, dan sebagainya yang membuat polisi berulang cakap di layar kaca.

Ya, selama ini adalah sesuatu yang lucu melihat polisi melucu bukan? Sosok polisi adalah sesuatu yang tidak bisa dianggap main-main, hingga seorang ibu pun menyebut kata ‘polisi’ agar anaknya mau makan. Lalu, sekian kampanye mengubah imej polisi yang seram tak kunjung berhasil. Nah, tiba-tiba muncullah seorang brimob menari ala India yang membuat penonton gemas, lucu, hingga tergoda.

Terus terang, saya ingin mencari sudut pandang lain, misalnya bakat Normanlah yang membuat dia tambah top. Ya, sepengakuannya sejak kecil memang gemar dan berprestasi di bidang seni vokal dan tari. Sayangnya, pikiran itu harus saya bantah. Setahu saya, dalam kehidupan polisi soal nyanyi dan menari bukanlah barang baru. Bahkan, sampai ada istilah tari komando di kalangan mereka. Nah, menyanyi dan menari ala Norman, seharusnya tidak seheboh ini kan?

Tapi, bukankah ini pengaruh youtube? Baiklah, fenomena fasilitas di dunia maya ini memang sangat gila. Norman bukanlah orang pertama yang hebat gara-gara itu, sudah cukup banyak. Masalahnya, tidak semua orang yang muncul di youtube bisa setenar Norman bukan? Yang terbaru, lihat saja Udin se-Dunia, Sinta Jojo, dan sebagainya. Untuk Norman, yang terlihat cenderung ada semacam gerakan untuk mengangkat Norman ke permukaan sedemikian rupa. Bayangkan, Kapolri memanggilnya khusus! Dia pun diserahkan tugas untuk tampil di televisi –di semua chanel—dan setiap tampil pakai baju dinas, komandannya pun tak pernah lepas.

Ayolah, apa yang ada di balik ketenaran Norman? Apakah hanya karena dia polisi yang menari dan menyanyi saja? Apakah karena dia dianggap berbakat? Hm, masih banyak yang seperti itu! Atau karena dia menyanyikan lagu India?
Terserahlah. Sekian banyak kepentingan jelas terlihat di balik ketenaran Norman. Tidak harus dicaci, tapi sadarilah, Norman tetap menjadi korban. Lihatlah dia terbaring setelah sepekan lebih menghirup udara Jakarta.

Seperti kata Franky: Sekarang semua tlah kutinggalkan//Gedung-gedung dan bising jalanan//Di hatiku kugenggam kerinduan//Pada bukit pedesaan.

Ah, (tiba-tiba muncul pula pikiran) mungkinkah Norman sakit gara-gara terlalu cepat kembali ke Gorontalo? Ya, bukankah nikmat dikawal oleh polisi yang pangkatnya jauh di atas. Lalu, segala kebutuhan dilayani dengan baik dan benar. Benar-benar dimanjakan, kenikmatan hadir tanpa henti. Belum lagi pundi-pundi menumpuk di saku, di rekening, dan di tempat-tempat lainnya. Ah, saya teringat lagi lagu Franky yang lain, Lelaki dan Rembulan:

Rembulan di malam hari//lelaki diam seribu kata//hanya memandang//hatinya luka hatinya luka//hatinya luka.
Hm, sudahlah, apapun itu Norman telah kembali ke kampungnya dan bersiap kembali ke Jakarta, entah untuk apa…. (*)

*Judul dikutip dari lirik lagu ‘Pada Bukit dan Pedesaan’ karya Franky Sahilatua.

22 April 2011

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/