Rabu malam 30 Mei 1979 pukul 20.14 waktu Munchen, Jerman. 57 ribu penonton terpaku sunyi menanti wasit Erich Linemayr asal Austria meniup peluit tanda kick off final Piala Champions di Olympia Stadium, Munchen. Duel teratas itu mempertemukan Nottingham Forest versus Malmo FF.
Satu menit kemudian, gemuruh mengisi Olympia Stadion. Duel tak diharapkan terjadi. Tapi tiket untuk final tetap laris manis. Dua klub yang awalnya entah siapa membuktikan mereka ternyata ada. Nottingham Forest menyandang status juara liga musim sebelumnya di bawah asuhan manajer lantam, Brian Clough. Lawan satunya adalah Malmo Fotbollforening, juara Swedia. Kedua tim sama-sama baru perdana main di puncak kompetisi elit Eropa.
Gemuruh stadion baru bergema lagi dengan luar biasa di menit 45 ketika pemain termahal Inggris di masanya, Trevor Francis menjebol gawang Malmo jelang turun minum. Tak ada lagi gol yang terjadi. Malmo bukannya tak menyerang. Betapa gelombang serangan tersebut selalu mentok di tangan kiper legendaris Inggris, Peter Shilton. Usai laga, skuad Nottingham Forest berpesta. Mereka mengangkat manajer Brian Clough dan membuangnya ke udara untuk kemudian ditangkap lagi.
Satu tahun kurang dua hari kemudian, Nottingham Forest datang lagi ke puncak Piala Champions. Kali ini mereka datang sebagai runner up liga Inggris. Tetapi di balik kemudi taktik, masih bercokol nama Brian Clough. Pun mayoritas skuad masih sama.
Tepatnya 28 Mei 1980 pukul 17.00 waktu Madrid, Spanyol. Bertempat di kandang Real Madrid, Estadio Santiago Bernabéu, partai puncak digelar. Sang rival adalah raksasa Jerman saat itu, Hamburger SV yang dibesut Branko Zebec. Skuadnya pun tak kalah mentereng. Nama-nama ini tercatat masuk line up di partai final: Manni Kaltz, Horst Hrubesch, Felix Magath dan Kevin Keegan.
Kali ini butuh waktu lebih cepat untuk mencetak gol dibanding musim sebelumnya. Menit 20, John Robertson menggetarkan gawang Hamburg SV. Tak ada lagi gol yang tercipta walau serangan dari berbagai sudut datang, Peter Shilton sigap menghadang. Peluit akhir ditiup wasit asal Portugal, Antonio José Garrido Da Silva. Jadilah Forest juara Eropa kali kedua. Lalu Brian Clough kembali diangkat ke udara, dipuja dan dicatat sejarah.
Mari kilas balik sedikit. Dibuang Leeds United, Brian Howard Clough justru mencatat sejarah ketika membesut Nottingham Forest. Sebelumnya manajer nyentrik yang tak sungkan lantam di depan pers itu punya kisah titik balik yang pilu. Memulai karir di Hartlepools United, Clough akhirnya menemukan sepuhan emas ketika direkrut Derby County. Dia lalu mengajak Peter Taylor sebagai asistennya. Taylor termasuk sosok yang berjasa dalam perjalanan karirnya. Mereka juga bersama-sama ketika dipinang Brighton & Hove Albion. Titik balik karir cemerlangnya yang menukik ke jurang pemecatan terjadi ketika Clough disunting sang juara, Leeds United. Di Leeds, Clough hanya bertahan 44 hari dengan catatan memainkan tujuh laga dan hanya sekali menang.
Hanya berselang beberapa bulan, Clough menemukan jodohnya: Nottingham Forest. Sejak 6 Januari 1975, Clough bertahan di klub asal West Bridgford, Nottingham itu hingga 8 Mei 1993. Bersama klub yang bermarkas di City Stadium itu, Clough memainkan 907 laga dan memenangi 411 pertandingan. Jika ditotal seluruh laga di semua klub yang dibelanya, Clough memainkan 1.319 laga dan menang sebanyak 594 kali.
Well, itulah sekelumit kisah Clough yang fenomenal dan Nottingham Forest yang juga fenomenal. Kisah nyatanya semasa menukangi Derby County dan Leeds United bahkan difilmkan dengan judul Damned United yang rilis 2009 lalu.
Cerita ini hanya pengantar sederhana dari saya menatap laga semifinal leg kedua Liga Champions musim ini. Dunia juga terhenyak ketika dua raksasa Spanyol: Barcelona dan Real Madrid dibikin malu oleh dua raksasa Jerman, Bayern Munchen dan Borusia Dortmund. Skornya tak usah saya ulang di sini, karena toh para pembaca yang budiman sudah pada tahu.
Apa korelasinya dengan Brian Clough dan Nottingham Forest? Bisa saja dicari dari segala sisi. Tapi yang saya tangkap, sejarah mungkin saja bakal terjadi medio pekan ini. Apakah akan lahir juara dari golongan underdog yang dalam hal ini diwakili Borusia Dortmund. Atau bakal terjadi comeback yang nyaris tak mungkin di Camp Nou. Selama bola itu bundar, mari kita memprediksi tapi tak usah memvonis. Lebih baik duduk manis di depan televisi sambil berharap jadi saksi sejarah. Simpel kan. (*)