Seribu tahun kemudian, setelah orang-orang kehilangan rasa rindu, kini mereka kembali merasakan rindu dan dapat menyaksikannya di segelas tuak. Betapa orang-orang kini telah candu untuk merasakan rindu di setiap waktu.
Oleh: Muftirom Fauzi Aruan
BERMULA di seribu tahun yang lalu, saat orang- orang sedikit demi sedikit mulai merasakan kehilangan rasa rindu di dalam hatinya, di dalam perasaannya. Kikismengikis hingga habis. Hingga tak lagi pernah merasakan rindu.
Inilah sebuah kisah yang menceritakan penyebab mengapa rindu dapat hilang dan tiada selama seribu tahun.
Adalah seorang pemuda, yang selalu menunggu kekasihnya untuk mereka dapat bertemu. Memadu kasih, memadu cinta. Tetapi kekasihnya tetap tak kunjung datang, dan juga kekasihnya tak pernah memberi kabar kepadanya. Betapa merindunya dia. Seperti hatinya sedang dililit rantai besi. Sesak.
Beratus-ratus tahun lamanya si pemuda itu tetap menunggu perempuan, kekasihnya itu.
“Sudah cari saja penggantinya!” “Tidak! Aku tetap menunggunya.
Pasti dia akan datang! Aku yakin!” “Sampai kapan kau tetap menunggu?” “Sampai tiada lagi rasa rindu!” “Bila kau tetap merindu?” “Aku tetap menunggu!” “Bila kekasihmu tak juga datang, tetapi kau tetap merindu dan terus menunggu, apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan membunuh rindu! Agar tiada satu orang pun merasakan rindu. Betapa semua orang tak tahan menahan derita rindu!” Ketika orang-orang telah entah berapa kali berganti pasangan. Pemuda itu tetap saja menunggu kekasihnya itu. Begitu setianya dia dan begitu merindunya dia. Padahal tiada kabar yang pasti, apakah telah mati?! Atau juga perempuannya itu, tidak mencintainya lagi! Sungguh tiada kepastian itu sungguh menyakitkan.
Memang tiada pernah lagi terdengar kabar, setelah peristiwa itu.
Peristiwa yang sungguh tak masuk di akal itu. Bagaimana tidak?! Perempuan itu kehilangan sesuatu dari dalam hatinya, bukan kehilangan, lebih tepatnya tertinggal entah di mana.
“Apa yang tertinggal?” Tanya pemuda itu pada kekasihnya.
“Cintaku tertinggal!” “Di mana?” “Entah! Aku kira ada yang mengambilnya!” “Siapa?” “Aku kira, pemuda yang lewat di hadapan kita tadi! Ketika kita di taman.” “Lalu bagaimana?” “Aku akan mengambilnya kembali!” “Bila tak kau temukan pemuda itu! Selanjutnya bagaimana?” “Aku pasti menemukan pemuda itu! Sabarlah menungguku!” Demikianlah pemuda itu terus menunggu kekasihnya di setiap waktu. Barangkali juga perempuan itu kini terus mencari pemuda yang telah mengambil cintanya dan untuk meminta cintanya kembali, namun pemuda itu tak pernah diketemukan.
Atau mungkin saja, malah mereka tukar-menukar cinta. Tentang ini, tiada satu orang pun yang tahu.
Hingga tujuh ratus tahun lamanya, kekasih pemuda itu tak kunjung kembali. Maka dari itu, dia, pemuda itu bersumpah akan membunuh rindu dengan sebilah belati beracun.
Di depan ribuan orang, di atas batu besar, di tanah lapangan kota, pemuda itu menggenggam sebilah belati, dan kemudian dia berdeklarasi.
“Saudara-saudari, aku bersumpah! Aku akan membunuh rindu di dalam hatiku ini! Aku sungguh menderita dibuatnya!” kata pemuda itu.
“Jangan!” larang salah seorang lelaki dari kerumunan.
“Bila kau membunuh rindu, kita tak akan pernah lagi merasakan rindu! Walaupun rindu membuat derita, di situlah titik kenikmatannya.” Lelaki itu melanjutkan.
“Tidak! Aku tetap akan membunuh rindu! Rindu di dalam hatiku ini telah bersemayam selama tujuh ratus tahun! Aku teramat menderita dibuatnya.” Tanpa menunggu waktu pemuda itu menghujamkan sebilah belati tepat di hatinya. Namun ketika sepersekian detik belati itu akan mendarat di hatinya. Rindu terbang melayang pergi. Pemuda itu terkejut. Tak jadi menghujamkan belati ke hatinya. Dia berlari-lari mengejar rindu yang pergi. Rindu tak mau mati dibunuh.
Pemuda itu terus belari mengejar rindu yang terbang melayang menuju entah ke mana. Pada akhirnya pemuda itu kelelahan, bulir-bulir keringat meretas kulitnya dan kemudian dia berpikir akan membunuh rindu di hati orang- orang di kotanya. Maka bila dia berhadapan dengan orang-orang, dia akan segera menghujamkan sebilah belati tepat di hati orang- orang. Namun kecepatan tangan yang memegang belati untuk dihujamkan ke hati tak lebih cepat dari pada rindu yang terbang melayang pergi meninggalkan hati.
Dan pada akhirnya, pemuda itu tak jadi menghujamkan sebilah belati ke hati orang-orang. Karena setiap orang, di dalam hatinya, rindu telah pergi terbang. Takut dibunuh oleh si pemuda. Dari itu orang-orang tak lagi memiliki rindu di hatinya.
Dengan begitupun setiap bayi yang terlahir tak membawa rindu ke alam dunia. Takut dibunuh.
Jadilah orang-orang tak pernah merasakan rindu di hati mereka, karena ulah dari si pemuda itu.
Pemuda itu, meskipun kini umurnya telah dua ribu tahun sekian, namun dia tetaplah pemuda.
Karena dia tidak pernah menikah.
Dan karena memang setelah rindu hilang, orang-orang tak dapat berubah menjadi tua. Bukankah karena menahan rindu yang begitu teramat sangat membuat derita, yang menjadikan orang-orang cepat menjadi tua? Kemudian seiring waktu berlalu, pemuda itu menyepi bersembunyi entah ke mana, tanpa seorang pun yang tahu keberdaannya. Diamdiam pemuda itu masih tetap berpegang teguh dengan sumpahnya: tetap akan membunuh rindu.
*** Di kota dan di sudut-sudut kota, orang-orang kini menikmati rindu di segelas tuak. Mereka terbuai, mereka mabuk, mereka tak sadarkan diri, karena menikmati rindu di segelas tuak yang tak akan pernah habis digerus dahaga.
Sambil menikmati rindu di segelas tuak, orang-orang berada di warung, bercakap-cakap.
“Bagaimana pendapatmu tentang rindu yang berbentuk segelas tuak ini?” “Inilah dua kenikmatan yang bersatu, tuak dengan rindu. Dengan tuak aku bisa tak sadarkan diri dan dengan rindu pula, aku bisa tak sadarkan diri. Sungguh kenikmatan yang berlipat-lipat, dan aku akan bertahan lama dengan tidak kesadaranku.” “Kalau begitu, kita akan terus menerus menikmati rindu di segelas tuak ini.” “Tapi…” “Tapi…kenapa, ha?” “Bagaimana dengan pemuda yang bersumpah akan membunuh rindu dengan sebilah belati beracun, apakah dia tetap akan membunuh rasa rindu?” “Iya. Aku pun menjadi khawatir.
Bagaimana kalau dia telah mendengar kabar, tentang datangnya kembali rindu berbentuk segelas tuak ini? Dia pasti akan membunuhnya!” “Lalu bagaimana?” “Bila benar dia akan membunuh rindu, kita yang akan membunuhnya terlebih dulu! Bagaimana menurutmu?” “Setuju!” Demikian benarlah apa yang dikhawatirkan mereka.
Pemuda itu telah mendengar kabar tentang kembalinya rindu yang berwujud segelas tuak.
Dari itu, pemuda itu keluar dari persembunyiannya selama ini. Dia akan membunuh rindu dengan sebilah belati beracun.
Ketika malam telah larut. Orang-orang masih menikmati rindu. Pemuda itu datang dengan sebilah belati beracun.
Orang-orang yang sedang menikmati rindu segelas tuak tergeragap dan bangkit dari duduknya ketika melihat kedatangan pemuda itu.
“Lihat! Dia datang!” “Bagaimana ini?” “Kita bunuh saja dia!” “Tapi dia memegang belati beracun.
Aku takut!” “Bodoh! Kenapa harus takut?! Lebih baik melawan dari pada kita tak pernah lagi merasakan rindu.” Pemuda itu terus berjalan semakin mendekat. Demikian dekat.
Sehingga mereka benar-benar berhadapan.
“Biarkan aku membunuh rindu itu!” kata pemuda itu.
“Tidak! Kami tetap ingin merasakan rindu!” “Kalian tidak pernah merasakan betapa rindu menyiksa hatiku! Aku tak ingin lagi merasakan rindu! Biarkan aku membunuhnya!” “Tidak!” “Aku akan membunuhnya! Jangan menghalangi aku!” “Tidak! Kami tidak akan mengizinkan kau membunuh rindu!” Sedikit demi sedikit rindu segelas tuak meretak. Rindu menggeliat akan terbang meninggalkan segelas tuak. Segelas tuak itu pun pecah. Demikian keras suara pecah segelas tuak. Rindu meninggalkan segelas tuak. Terbang. Rindu tak mau dibunuh oleh pemuda itu.
Pecahnya segelas tuak yang telah ditinggalkan rindu, mengalihkan pemuda dan orang-orang yang sedang berseteru.
“Rindu telah pergi.” Kata pemuda itu.
“Aku tak mau bila tidak memiliki rasa rindu. Meskipun rindu terkadang membuat derita. Namun di situlah kenikmatannya!” kata seseorang yang baru saja menikmati rindu.
Salah satu dari orang-orang yang baru saja merasakan rindu, diamdiam merampas belati beracun dari tangan pemuda itu, dan menghujamkannya ke jantung si pemuda.
“Betapa rindu membuat derita berkepanjangan.” Kata pemuda itu lirih, sebelum tubuhnya jatuh merebah ke tanah.
* Kec. Medan Barat, 8 April 2013