26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kesulitan Regenerasi, Promosi Lewat Hotel

Awa Odori, Tarian Tradisional Jepang yang Makin Tergerus Zaman

Mengunjungi Prefektur Tokushima, Pulau Shikoku, Jepang, tidak lengkap rasanya bila belum menyaksikan Awa Odori. Tarian tradisional tersebut menjadi puncak dari serangkaian festival rakyat yang menandai telah berakhirnya musim panas.

Jari-jari lentik empat bocah cilik bergerak lincah. Meski tidak seluwes para penari dewasa, tiga bocah perempuan dan seorang bocah lelaki itu terlihat amat bersemangat menggerakkan tangan dan kaki mereka mengikuti irama musik yang rancak.

Sesekali mereka terlihat saling lempar senyum dan mengangguk. Saat bocah lelaki melakukan kesalahan, berderailah tawa dari bibir tiga bocah perempuan tersebut.

“Awa Odori memang tarian rakyat. Siapapun boleh ikut menarikannya, seperti empat bocah kecil itu. Tidak perlu takut salah,” tutur Henki, pegawai Renaissance Naruto Resort Tokushima, kepada Jawa dua pekan lalu.
Saat itu, tepatnya pada 19 April lalu, hotel mewah di jantung Kota Tokushima (ibu kota Prefektur Tokushima) itu menyuguhkan Awa Odori. Menurut Henki, hotel tempatnya bekerja itu memang rutin menyajikan tarian khas tersebut kepada tamu.

Selain gerak tangan dan kaki yang relatif mudah, daya tarik dari tarian asli Tokushima tersebut adalah kostum para penarinya. Berwarna-warni dan sangat cerah. Kontras dengan warna kulit penduduk Negeri Sakura itu yang putih dan pucat. Perempuan dewasa yang memainkan tarian pemanggil roh tersebut itu juga memakai topi khas, seperti topi petani (caping) yang dilipat pada dua sisinya. Jadi, bentuknya lebih runcing dan ramping.

Sebagai rangkaian dari pesta rakyat, Awa Odori hanya dapat disaksikan setiap Agustus. Berbeda dengan penyajian di hotel, dalam festival tersebut, Awa Odori ditarikan oleh lebih banyak orang. Para penonton yang berjajar di pinggir jalan pun bisa ikut menari bersama.
“Gerakannya sangat simpel. Hanya tangan dan kaki yang aktif bergerak. Semua orang pasti bisa menarikannya,” kata pimpinan sanggar tari Uzuhio Ren.

Beberapa tahun terakhir, Uzushio Ren menjadi penghibur tetap hotel berarsitektur Romawi tersebut. Sanggar tari yang terdiri atas 100 orang itu memang cukup tersohor di Tokushima. Maklum, dari sekitar 800 ribu penduduk di sana, hanya 1-10 persen yang bisa menarikan Awa Odori. Uzushio Ren pun tidak pernah absen untuk meramaikan festival tahunan di prefektur yang dulunya dikenal sebagai Prefektur Awa tersebut.
“Tidak mudah mempertahankan tarian turun-temurun warisan dari nenek moyang ini. Apalagi, tidak banyak lagi generasi muda yang melirik Awa Odori,” ungkap pria paro baya yang didapuk sebagai pimpinan sanggar itu.

Buktinya, hanya ada empat bocah yang bergabung dengan sanggar tari tertua di Tokushima tersebut. Itu pun karena orang tua mereka sudah lebih dulu menjadi anggota Uzushio Ren.
Dari 100 orang yang menjadi anggota sanggar tari tersebut, tidak semuanya sebagai penari. Sekitar 10 orang berperan sebagai pemusik.

“Musik pengiring Awa Odori juga khas. Tidak seperti tarian lain pada umumnya,” kata Henki yang mendampingi rombongan Indonesia menyaksikan tarian tradisional tersebut. Musiknya sangat enerjik seperti gamelan pengiring kuda lumping di Jawa Tengah.

Alat musik yang ditabuh untuk mengiringi tarian unik tersebut pun tidak sembarangan. Semuanya adalah alat musik tradisional Jepang. Sebagian besar adalah alat musik yang dibunyikan dengan cara dipukul. Diantaranya odaiko, taiko, shimedaiko dan tsutsumi. Ukuran empat alat musik pukul itu beragam. Yang paling besar adalah taiko. Bentuknya mirip tifa dari Maluku. Tapi, ukurannya jauh lebih besar dan ditabuhkan dengan sepasang kayu.

Selain empat alat musik pukul tersebut, Uzushio Ren juga melengkapi iringannya dengan cika atau take. Meski cara membunyikannya juga dengan cara dipukul, materi pembuatan cika atau take itu berbeda dengan empat alat musik lain. Cika atau take terbuat dari bambu sepanjang 1-1,5 meter. Bentuk bambu itu dibiarkan seperti aslinya. Tapi, dengan desain khusus, bambu utuh itu mampu menghasilkan suara menarik.
Untuk melengkapi iringan musik yang rancak itu, Uzushio Ren juga menyelipkan kane. “Orang Jepang biasa menyebutnya lonceng kane,” kata seorang pria tua yang bertugas untuk memukul alat musik itu. Meski hanya terdapat satu kane, suaranya cukup dominan dalam rangkaian musik pengiring Awa Odori. Maklum, kane terbuat dari logam. Apalagi, kane sering dibunyikan selama tarian berlangsung.

Selain alat musik pukul, Uzushio Ren melengkapi keragaman musiknya dengan alat tiup. “Ini namanya yokobue,” kata seorang pemusik perempuan yang bertugas meniup seruling khas Jepang itu. Karena suaranya lirih, peniup yokobue selalu berdiri di depan alat pengeras suara. Dengan demikian, suara khasnya tidak tenggelam dalam alunan musik yang cenderung keras itu.

Regenerasi pemusik Awa Odori, kabarnya, sesulit mencari para penarinya. Dari sekitar 10 orang yang berperan sebagai pemusik, hanya ada seorang bocah lelaki yang ikut memainkan alat musik. “Namanya Shuugo. Usianya baru tujuh tahun,” ujar pemusik yang memainkan kane. Meskipun bersanding dengan rekan-rekan pemusik lain yang lebih senior, Shuugo tetap antusias memainkan odaiko yang melekat pada badannya seperti tambur.

Di akhir pementasan Awa Odori malam itu, Shuugo tiba-tiba menjadi populer. Itu karena alunan musik pengiring memainkan pertunjukan ekstra sekitar 15 menit. Setelah semua penari meninggalkan arena, para pemusik giliran memamerkan kemahiran mereka. Irama rancak dan penuh semangat membuat seluruh tamu hotel tetap bersemangat menirukan gerakan para penari Awa Odori sambil bergoyang.

Begitu musik berhenti, seorang nenek berkimono menyelipkan lembaran-lembaran yen ke balik baju Shuugo. Pipi bocah berambut cepak itu pun langsung memerah. Tidak mau kalah dengan nenek berambut ikal itu, beberapa tamu usia lanjut ikut menyawer Shuugo. Senyum bocah itu makin lebar. Malam itu, Shuugo pun panen yen.

Di era internet seperti kini, melestarikan budaya warisan leluhur memang bukan perkara mudah. Alat musik tradisional dan kostum berwarna-warni harus bersaing dengan senandung musik Barat dan pakaian ala Eropa yang lebih popular di kalangan generasi muda. Tetapi, upaya penggiat pariwisata Tokushima menampilkan Awa Odori di hotel-hotel populer patut diapresiasi. (hep/dwi/jpnn)

Awa Odori, Tarian Tradisional Jepang yang Makin Tergerus Zaman

Mengunjungi Prefektur Tokushima, Pulau Shikoku, Jepang, tidak lengkap rasanya bila belum menyaksikan Awa Odori. Tarian tradisional tersebut menjadi puncak dari serangkaian festival rakyat yang menandai telah berakhirnya musim panas.

Jari-jari lentik empat bocah cilik bergerak lincah. Meski tidak seluwes para penari dewasa, tiga bocah perempuan dan seorang bocah lelaki itu terlihat amat bersemangat menggerakkan tangan dan kaki mereka mengikuti irama musik yang rancak.

Sesekali mereka terlihat saling lempar senyum dan mengangguk. Saat bocah lelaki melakukan kesalahan, berderailah tawa dari bibir tiga bocah perempuan tersebut.

“Awa Odori memang tarian rakyat. Siapapun boleh ikut menarikannya, seperti empat bocah kecil itu. Tidak perlu takut salah,” tutur Henki, pegawai Renaissance Naruto Resort Tokushima, kepada Jawa dua pekan lalu.
Saat itu, tepatnya pada 19 April lalu, hotel mewah di jantung Kota Tokushima (ibu kota Prefektur Tokushima) itu menyuguhkan Awa Odori. Menurut Henki, hotel tempatnya bekerja itu memang rutin menyajikan tarian khas tersebut kepada tamu.

Selain gerak tangan dan kaki yang relatif mudah, daya tarik dari tarian asli Tokushima tersebut adalah kostum para penarinya. Berwarna-warni dan sangat cerah. Kontras dengan warna kulit penduduk Negeri Sakura itu yang putih dan pucat. Perempuan dewasa yang memainkan tarian pemanggil roh tersebut itu juga memakai topi khas, seperti topi petani (caping) yang dilipat pada dua sisinya. Jadi, bentuknya lebih runcing dan ramping.

Sebagai rangkaian dari pesta rakyat, Awa Odori hanya dapat disaksikan setiap Agustus. Berbeda dengan penyajian di hotel, dalam festival tersebut, Awa Odori ditarikan oleh lebih banyak orang. Para penonton yang berjajar di pinggir jalan pun bisa ikut menari bersama.
“Gerakannya sangat simpel. Hanya tangan dan kaki yang aktif bergerak. Semua orang pasti bisa menarikannya,” kata pimpinan sanggar tari Uzuhio Ren.

Beberapa tahun terakhir, Uzushio Ren menjadi penghibur tetap hotel berarsitektur Romawi tersebut. Sanggar tari yang terdiri atas 100 orang itu memang cukup tersohor di Tokushima. Maklum, dari sekitar 800 ribu penduduk di sana, hanya 1-10 persen yang bisa menarikan Awa Odori. Uzushio Ren pun tidak pernah absen untuk meramaikan festival tahunan di prefektur yang dulunya dikenal sebagai Prefektur Awa tersebut.
“Tidak mudah mempertahankan tarian turun-temurun warisan dari nenek moyang ini. Apalagi, tidak banyak lagi generasi muda yang melirik Awa Odori,” ungkap pria paro baya yang didapuk sebagai pimpinan sanggar itu.

Buktinya, hanya ada empat bocah yang bergabung dengan sanggar tari tertua di Tokushima tersebut. Itu pun karena orang tua mereka sudah lebih dulu menjadi anggota Uzushio Ren.
Dari 100 orang yang menjadi anggota sanggar tari tersebut, tidak semuanya sebagai penari. Sekitar 10 orang berperan sebagai pemusik.

“Musik pengiring Awa Odori juga khas. Tidak seperti tarian lain pada umumnya,” kata Henki yang mendampingi rombongan Indonesia menyaksikan tarian tradisional tersebut. Musiknya sangat enerjik seperti gamelan pengiring kuda lumping di Jawa Tengah.

Alat musik yang ditabuh untuk mengiringi tarian unik tersebut pun tidak sembarangan. Semuanya adalah alat musik tradisional Jepang. Sebagian besar adalah alat musik yang dibunyikan dengan cara dipukul. Diantaranya odaiko, taiko, shimedaiko dan tsutsumi. Ukuran empat alat musik pukul itu beragam. Yang paling besar adalah taiko. Bentuknya mirip tifa dari Maluku. Tapi, ukurannya jauh lebih besar dan ditabuhkan dengan sepasang kayu.

Selain empat alat musik pukul tersebut, Uzushio Ren juga melengkapi iringannya dengan cika atau take. Meski cara membunyikannya juga dengan cara dipukul, materi pembuatan cika atau take itu berbeda dengan empat alat musik lain. Cika atau take terbuat dari bambu sepanjang 1-1,5 meter. Bentuk bambu itu dibiarkan seperti aslinya. Tapi, dengan desain khusus, bambu utuh itu mampu menghasilkan suara menarik.
Untuk melengkapi iringan musik yang rancak itu, Uzushio Ren juga menyelipkan kane. “Orang Jepang biasa menyebutnya lonceng kane,” kata seorang pria tua yang bertugas untuk memukul alat musik itu. Meski hanya terdapat satu kane, suaranya cukup dominan dalam rangkaian musik pengiring Awa Odori. Maklum, kane terbuat dari logam. Apalagi, kane sering dibunyikan selama tarian berlangsung.

Selain alat musik pukul, Uzushio Ren melengkapi keragaman musiknya dengan alat tiup. “Ini namanya yokobue,” kata seorang pemusik perempuan yang bertugas meniup seruling khas Jepang itu. Karena suaranya lirih, peniup yokobue selalu berdiri di depan alat pengeras suara. Dengan demikian, suara khasnya tidak tenggelam dalam alunan musik yang cenderung keras itu.

Regenerasi pemusik Awa Odori, kabarnya, sesulit mencari para penarinya. Dari sekitar 10 orang yang berperan sebagai pemusik, hanya ada seorang bocah lelaki yang ikut memainkan alat musik. “Namanya Shuugo. Usianya baru tujuh tahun,” ujar pemusik yang memainkan kane. Meskipun bersanding dengan rekan-rekan pemusik lain yang lebih senior, Shuugo tetap antusias memainkan odaiko yang melekat pada badannya seperti tambur.

Di akhir pementasan Awa Odori malam itu, Shuugo tiba-tiba menjadi populer. Itu karena alunan musik pengiring memainkan pertunjukan ekstra sekitar 15 menit. Setelah semua penari meninggalkan arena, para pemusik giliran memamerkan kemahiran mereka. Irama rancak dan penuh semangat membuat seluruh tamu hotel tetap bersemangat menirukan gerakan para penari Awa Odori sambil bergoyang.

Begitu musik berhenti, seorang nenek berkimono menyelipkan lembaran-lembaran yen ke balik baju Shuugo. Pipi bocah berambut cepak itu pun langsung memerah. Tidak mau kalah dengan nenek berambut ikal itu, beberapa tamu usia lanjut ikut menyawer Shuugo. Senyum bocah itu makin lebar. Malam itu, Shuugo pun panen yen.

Di era internet seperti kini, melestarikan budaya warisan leluhur memang bukan perkara mudah. Alat musik tradisional dan kostum berwarna-warni harus bersaing dengan senandung musik Barat dan pakaian ala Eropa yang lebih popular di kalangan generasi muda. Tetapi, upaya penggiat pariwisata Tokushima menampilkan Awa Odori di hotel-hotel populer patut diapresiasi. (hep/dwi/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/