Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan di tanah air akrab dengan istilah ‘KTSP’. Akronim ini aslinya merupakan singkatan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Namun di lapangan kadang-kadang justru diplesetkan.
Satu di antaranya yakni seperti tertera pada judul tulisan. (Biasalah, orang Indonesia adalah jagonya kalau soal pleset-memlesetkan).
Tak jelas siapa pencetus plesetan di atas. Tapi setidaknya hal tersebut memang menarik untuk kembali dilirik. Masih pantas menjadi sesuatu yang perlu dibahas.
Jika dipikir-pikir, sesuai namanya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan semestinya menyerupai sistem kredit semester (SKS) di perguruan tinggi. Artinya, para peserta didik pada tiap satuan pendidikan (SMP & SMA) seharusnya tidak lagi dikelompokkan berdasarkan tingkatan-tingkatan kelas, semisal: kelas VII, VIII, IX dan seterusnya.
Otomatis, tak ada pula kategori naik atau tinggal kelas yang biasanya dicantumkan untuk menutup tahun pelajaran (tahun akademik bagi mahasiswa). Sebagai gantinya ialah meraih predikat ‘lulus’ atau ‘tidak lulus’ per mata pelajaran, semester demi semester.
Sekadar ilustrasi, kira-kira begini. Misalkan pada semester pertama seorang siswa mengikuti mata pelajaran Matematika I, Bahasa Inggris I, IPA I dan sebagainya. Dari sejumlah mata pelajaran itu barangkali ia akan lulus semua.
Tetapi tidak tertutup kemungkinan ada pula beberapa mata pelajaran yang tidak lulus. Demikian juga untuk semester-semester berikutnya.
Nah, jika setelah tiga tahun (6 semester) ternyata masih ada mata pelajaran yang belum lulus maka siswa tadi harus mengulang atau mengikuti kembali mata pelajaran-mata pelajaran yang dimaksud sampai ia dinyatakan lulus seluruhnya. Dengan kata lain, seharusnya dalam KTSP tidak mengenal adanya Ulangan Umum (apalagi Ujian Nasional), kecuali untuk keperluan ‘pemetaan mutu’ semata.
Karena KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) telah dipatok sejak awal dengan berbagai perhitungan dan pertimbangan.
Jadi, siswa-siswa yang masuk SMP atau SMA pada tahun yang sama belum tentu tamat pada tahun atau bahkan semester yangsama pula. Tetapi tergantung kepada prestasi yang mereka peroleh.
Namun tentu saja hal semacam itu sangat sulit dijalankan. Kita masih memerlukan sejumlah tahapan untuk mengarah ke sana. Sementara kurikulum yang dulu acapkali bergonta-ganti wajah dan penampilan sudah cukup merepotkan dan memberatkan banyak kalangan, terutama para guru selaku ujung tombak dunia pendidikan.
Umumnya para praktisi pendidikan kita (terutama bapak dan ibu guru) masih salah dalam mengartikan kurikulum yang diluncurkan sejak tahun 2006 lalu itu.
Sebagian besar terkesan kurang mampu memahaminya secara utuh, terlebih untuk menyusun dan mengimplementasikannya dalam proses belajar-mengajar yang dilakukan.
Singkat kata, belum dapat beradaptasi dengan format asli KTSP tadi. Padahal KTSP diberlakukan adalah dalam rangka melimpahkan wewenang yang cukup besar bagi setiap satuan pendidikan (sekolah) dan para guru untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa-siswi mereka.
Artinya, jika sebelumnya aktivitas para guru hanyalah sebatas melaksanakan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah (depdiknas) maka sekarang fungsi dan peran para pendidik itu meluas menjadi penyusun dan pengembang kurikulum, sekaligus sebagai pelaksananya.
Dengan demikian berarti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sejatinya merupakan penerapan otonomi sekolah. Jadi, setiap satuan pendidikan (sekolah) sesungguhnya berhak dan bahkan dituntut untuk membuat dan memiliki kurikulum sendiri (khusus) sesuai situasi dan kondisi di lokasi masing-masing. Sedangkan pemerintah hanyalah berperan memberikan acuan, yakni berupa ‘Standar Isi’ yang terdiri dari beberapa ‘Standar Kompetensi’ dan ‘Kompetensi Dasar’saja. Selebihnya adalah terserah kepada pihak sekolah untuk menyusun, mengembangkan dan melaksanakannya di lapangan.
Akan tetapi apa yang terjadi selama ini? Benarkah bapak dan ibu guru bisa berkreasi, berinovasi dan berimprovisasi? Jauh panggang dari api. Malah semakin banyak intervensi yang datang dari sana-sini. Biasanya berasal dari oknum-oknum yang menjadikan bisnis sebagai orientasi. Akibatnya, kebanyakan guru justru terpaku (dipaksa mengacu) kepada LKS dan buku-buku yang sebetulnya tergolong tak bermutu.
Sangat boleh jadi merupakan hasil kerja yang dicetak/diterbitkan dengan sistem ‘kejar tayang’ alias terburu-buru.
Apabila hal itu masih terus berlangsung maka sesungguhnya para guru malah semakin bingung. KTSP takkan dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Nyaris serupa saja dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Hanya sekadar bertukar nama. Hegemoni pemerintah (terutama dinas-dinas pendidikan di daerah) tetap mendominasi wajah dunia pendidikan kita. Maka tak perlu heran kalau sebenarnya KTSP hingga saat ini belum dapat menyumbangkan nilai tambah apa-apa kepada para lulusan SMP maupun SMA, disebabkan tidak ada relevansinya terhadap lingkungan sekitar mereka.
Oleh karena itu, tiada cara lain kecuali kembali ke konsep asli. Memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada setiap sekolah (terutama para guru) untuk aktif berkreasi dan berinovasi merancang kurikulum dan perangkat-perangkat pembelajaran yang diperlukan.
Singkirkan intevensi, enyahkan campurtangan. Dari siapapun, dari pihak manapun. Kecuali sebatas memberi acuan sebagaimana telah disebutkan. Dengan begini barulah
KTSP benar-benar menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bukan Kurikulum yang Tak Sesuai Penamaan.(*)
Oleh : Drs Halim Mansyur Siregar
Guru SMPN-2 Pegajahan Serdang Bedagai