28 C
Medan
Tuesday, December 3, 2024
spot_img

Kuatnya Supremasi Pendidihan Ketimbang Penyaringan

Andai saja “teknik penyaringan air” menjadi pengetahuan yang membumi di tanah air,  berapa besar anggaran dapur rumahtangga yang bisa dihemat secara nasional. Beban pengiriman air bersih untuk korban bencana alam pun tentu tidak akan seberat yang tampak selama ini.

Sejak SD para siswa sudah diperkenalkan dengan hal tersebut, termasuk praktiknya di laboratorium.  Tetapi entah kenapa, tradisi pendidihan masih mendominasi dalam menghasilkan air minum. Malah nyaris mitos. Sebutlah lima persen bahan bakar dialokasikan untuk itu. Bisa dihitunglah konsumsinya secara keseluruhan.

Kekurangan air didihan rasanya kita pahami. Tidak bisa diminum seketika. Harus didinginkan dulu. Karena panasnya, sebagiannya menguap, meskipun relatif bisa diabaikan. Kekurangan lainnya, mengandung partikel dan menimbulkan bau untuk sumber air tertentu. Meskipun, okelah kuman-kumannya terbasmi, tetap bisa menjadi ancaman bagi kesehatan.

Lihatlah dalam seharian. Masih banyak orang lebih memilih air minum hasil memasak ketimbang teknik penyaringan. Yang terakhir ini seakan-akan tidak berlegitimasi sosial. Walaupun sudah dilakukan berdasarkan metode yang tepat, namun bila disuguhkan kepada tamu, sekurang-kurangnya muncul juga rasa cemas pada mereka, apa yang terjadi pada perutnya bila diteguk. Kecuali si tuan rumah tidak menceritakannya sama sekali.

Tetapi bila dipikir-pikir, mereka tidak konsisten juga. Buktinya kalau disuguhi air mineral kemasan, tidak masalah. Padahal hasil penyaringan juga. Tidak mungkinlah semurah itu bila dimasak dulu.

Di Eropa/Amerika pun kabarnya mitos tersebut masih menyelimuti masyarakat Indonesia. Walaupun air keran sudah bisa diminum langsung, lembaganya pun memberi jaminan higienis, toh mereka tetap memasaknya lagi. Kalau untuk kopi panas, okelah.

Benarlah apa yang dikatakan beberapa tokoh pendidikan. Mengubah mitos tidaklah mudah. Memakan waktu bertahun-tahun. Perlu penyadaran intelektual yang berujung pada keyakinan.

Pakar yang terkait penyaringan air sudah banyak. Secara mendalam, pengetahuannya sudah mereka kuasai, termasuk berbagai tipsnya yang aplikatif dan praktis.  Media untuk mempublikasikannya sudah tersedia. Apalagi dengan adanya internet yang memungkinkan banyak orang bisa mengaksesnya secara gratis. Nah, andalan utama untuk menggerakannya tentu saja yang berkompetensi tinggi, seperti pemerintah. Bila perlu disertai praktik langsung, meneguk hasilnya.

Namanya juga penyaringan, menyaring ketidakmurnian dari sumbernya. Di era sekarang, inilah jawaban  terbaik untuk memperoleh air yang bersih serta sehat, skala perorangan, kolektif sampai industri. Yang terakhir ini telah menancapkan supremasinya dengan menarik keuntungan dari konsumen.  Sampai kapan? Apakah menunggu sampai harga atau persediaan bahan bakar mencapai suatu titik yang memaksa masyarakat mempunyai keterampilan menyaring air.

Mungkin untuk menyadarkannya akan lebih mencapai sasaran bila peralatannya sederhana, dikenal, serta bisa terjangkau. Lalu dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Bukannya apa-apa. Sebuah istilah, sebutlah nama zat penjernih air,  yang tidak familiar bisa dikonotasikan zat berbahaya.

Mulailah dengan pertanyaan inspiratif, “Kenapa takut minum air saringan buatan sendiri?  Air mineral yang dibeli di warung sebenarnya hasil saringan juga!”

Masyarakat harus terus dioptimiskan. Meskipun, sebutlah sumber airnya mulai keruh, malah berbau, selama kuantitasnya masih banyak, masih bisa diubah menjadi air bersih yang layak pakai, termasuk diminum langsung. Apresiasi ini saja merupakan modal yang tidak bisa dianggap enteng bagi munculnya motivasi serta berujung pada keinginan untuk mempraktekkannya.

Pendidikan merupakan sumber pengembangan tradisi. Termasuk di antaranya yang bisa menghemat anggaran belanja. Maka jadikanlah sarana menciptakan tradisi menghasilkan air minum buatan sendiri melalui penyaringan. Jangan sampai masyarakat dari generasi ke generasi dihadapkan pada status quo air minum.

Mari kita perjuangkan bagi terwujudnya peradaban tersebut melalui berbagai bentuk pencerahan, khususnya di bangku pendidikan. Sehingga pemahaman tentang air minum benar-benar berdasarkan kesadaran teknis, bukan terbawa paradigma yang sudah begitu selama ini.

Oleh: Nasrullah Idris
Bidang Studi Reformasi Sains Matematika Teknologi

Andai saja “teknik penyaringan air” menjadi pengetahuan yang membumi di tanah air,  berapa besar anggaran dapur rumahtangga yang bisa dihemat secara nasional. Beban pengiriman air bersih untuk korban bencana alam pun tentu tidak akan seberat yang tampak selama ini.

Sejak SD para siswa sudah diperkenalkan dengan hal tersebut, termasuk praktiknya di laboratorium.  Tetapi entah kenapa, tradisi pendidihan masih mendominasi dalam menghasilkan air minum. Malah nyaris mitos. Sebutlah lima persen bahan bakar dialokasikan untuk itu. Bisa dihitunglah konsumsinya secara keseluruhan.

Kekurangan air didihan rasanya kita pahami. Tidak bisa diminum seketika. Harus didinginkan dulu. Karena panasnya, sebagiannya menguap, meskipun relatif bisa diabaikan. Kekurangan lainnya, mengandung partikel dan menimbulkan bau untuk sumber air tertentu. Meskipun, okelah kuman-kumannya terbasmi, tetap bisa menjadi ancaman bagi kesehatan.

Lihatlah dalam seharian. Masih banyak orang lebih memilih air minum hasil memasak ketimbang teknik penyaringan. Yang terakhir ini seakan-akan tidak berlegitimasi sosial. Walaupun sudah dilakukan berdasarkan metode yang tepat, namun bila disuguhkan kepada tamu, sekurang-kurangnya muncul juga rasa cemas pada mereka, apa yang terjadi pada perutnya bila diteguk. Kecuali si tuan rumah tidak menceritakannya sama sekali.

Tetapi bila dipikir-pikir, mereka tidak konsisten juga. Buktinya kalau disuguhi air mineral kemasan, tidak masalah. Padahal hasil penyaringan juga. Tidak mungkinlah semurah itu bila dimasak dulu.

Di Eropa/Amerika pun kabarnya mitos tersebut masih menyelimuti masyarakat Indonesia. Walaupun air keran sudah bisa diminum langsung, lembaganya pun memberi jaminan higienis, toh mereka tetap memasaknya lagi. Kalau untuk kopi panas, okelah.

Benarlah apa yang dikatakan beberapa tokoh pendidikan. Mengubah mitos tidaklah mudah. Memakan waktu bertahun-tahun. Perlu penyadaran intelektual yang berujung pada keyakinan.

Pakar yang terkait penyaringan air sudah banyak. Secara mendalam, pengetahuannya sudah mereka kuasai, termasuk berbagai tipsnya yang aplikatif dan praktis.  Media untuk mempublikasikannya sudah tersedia. Apalagi dengan adanya internet yang memungkinkan banyak orang bisa mengaksesnya secara gratis. Nah, andalan utama untuk menggerakannya tentu saja yang berkompetensi tinggi, seperti pemerintah. Bila perlu disertai praktik langsung, meneguk hasilnya.

Namanya juga penyaringan, menyaring ketidakmurnian dari sumbernya. Di era sekarang, inilah jawaban  terbaik untuk memperoleh air yang bersih serta sehat, skala perorangan, kolektif sampai industri. Yang terakhir ini telah menancapkan supremasinya dengan menarik keuntungan dari konsumen.  Sampai kapan? Apakah menunggu sampai harga atau persediaan bahan bakar mencapai suatu titik yang memaksa masyarakat mempunyai keterampilan menyaring air.

Mungkin untuk menyadarkannya akan lebih mencapai sasaran bila peralatannya sederhana, dikenal, serta bisa terjangkau. Lalu dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Bukannya apa-apa. Sebuah istilah, sebutlah nama zat penjernih air,  yang tidak familiar bisa dikonotasikan zat berbahaya.

Mulailah dengan pertanyaan inspiratif, “Kenapa takut minum air saringan buatan sendiri?  Air mineral yang dibeli di warung sebenarnya hasil saringan juga!”

Masyarakat harus terus dioptimiskan. Meskipun, sebutlah sumber airnya mulai keruh, malah berbau, selama kuantitasnya masih banyak, masih bisa diubah menjadi air bersih yang layak pakai, termasuk diminum langsung. Apresiasi ini saja merupakan modal yang tidak bisa dianggap enteng bagi munculnya motivasi serta berujung pada keinginan untuk mempraktekkannya.

Pendidikan merupakan sumber pengembangan tradisi. Termasuk di antaranya yang bisa menghemat anggaran belanja. Maka jadikanlah sarana menciptakan tradisi menghasilkan air minum buatan sendiri melalui penyaringan. Jangan sampai masyarakat dari generasi ke generasi dihadapkan pada status quo air minum.

Mari kita perjuangkan bagi terwujudnya peradaban tersebut melalui berbagai bentuk pencerahan, khususnya di bangku pendidikan. Sehingga pemahaman tentang air minum benar-benar berdasarkan kesadaran teknis, bukan terbawa paradigma yang sudah begitu selama ini.

Oleh: Nasrullah Idris
Bidang Studi Reformasi Sains Matematika Teknologi

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/