Terjun di dunia usaha pada usia muda membutuhkan keberanian dan mental baja. Setidaknya, hal itu pernah dirasakan Banyu Biru Djarot, direktur salah satu perusahaan penggarap proyek monorel Jakarta. Dia harus berjuang selama 13 tahun sebelum akhirnya bisa eksis seperti sekarang.
KESIBUKAN Banyu Biru makin bertambah pasca-Lebaran ini. Selain mesti menggebern
megaproyek monorel Jakarta yang sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya, dia mulai sibuk berkampanye dalam organisasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jaya. Banyu termasuk salah satu kandidat kuat ketua umum HIPMI Jaya.
Baru-baru ini, sebuah video mengenai rencana pencalonan dirinya diunggah ke dunia maya. Sejumlah pengusaha muda Jakarta memang mendorong Banyu untuk menduduki posisi penting itu. Karirnya yang meroket membuat Banyu dinilai memiliki kapasitas untuk memimpin organisasi pengusaha muda tersebut.
Senin (12/8) dia berdiskusi di sebuah channel televisi berbayar soal perusahaannya dan pembangunan Jakarta. Menurut pandangan dia, pembangunan transportasi Jakarta sudah tertinggal jauh jika dibanding ibu kota negara-negara lain. Karena itu, sudah saatnya Jakarta memiliki sistem transportasi masal yang benar-benar terintegrasi untuk memudahkan mobilitas manusia. Sistem transportasi masal terpadu tersebut kini sedang digarap proyeknya. Banyu pun menjadi salah seorang pimpinan megaproyek tersebut.
Pada usia 34 tahun, Banyu sudah dipercaya menjadi direktur pengembangan usaha PT Ortus Holdings Ltd, sebuah perusahaan yang berinvestasi di bidang energi dan infrastruktur. Perusahaan tersebut kini menjadi penyandang dana proyek monorel di Jakarta setelah mengakuisisi PT Jakarta Monorail.
“Kami me-manage asset value hampir 2 miliar dolar (USD),” tutur Banyu saat ditemui dalam sebuah acara HIPMI Jaya awal Agustus lalu.
Kepercayaan mengelola proyek besar itu didapat Banyu melalui perjuangan yang panjang. Selepas lulus kuliah di Inggris pada 2001, dia meniti karir sebagai pegawai di perusahaan Danareksa di Jakarta.
Di perusahaan tersebut, Banyu yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang international securities investment and banking dipercaya membidangi sektor perbankan serta energi. Sebenarnya karirnya moncer. Tapi, dia malah memutuskan untuk pindah ke perusahaan lain dengan bidang yang sama.
Karir Banyu di perusahaan terakhir itu tidak bertahan lama. Dia memutuskan untuk keluar dan membantu ayahnya, budayawan Erros Djarot, terjun berpolitik. Karirnya di ranah politik pun tidak lama. Dia kembali banting setir menjadi pengusaha.
“Waktu kembali menjadi pengusaha itu, modal saya cuma nekat,” lanjut pria kelahiran London tersebut mantap.
Tidak main-main, perusahaan yang dia rintis tersebut bergerak di bidang pengeboran minyak. Itu berarti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena itu, mau tidak mau, Banyu harus mempunyai dana yang cukup besar sebagai modal. Setelah dana terkumpul, dia mengakuisisi sebuah perusahaan pengeboran minyak yang “sakit” menjadi perusahaan yang bergairah kembali dalam usaha.
Masa-masa awal berusaha lagi itulah yang dirasakan susah oleh Banyu. Sebelum mengakuisisi perusahaan minyak tersebut, dia nyaris tidak memiliki modal. “Uang di ATM tinggal Rp 3,8 juta,” ucap sulung dua bersaudara itu.
Tidak disangka, Banyu ditawari seorang sahabatnya untuk mengakuisisi perusahaan minyak yang sedang kolaps. Perusahaan itu memang sedang sakit, namun dinilai punya potensi besar untuk berkembang. Hanya, Banyu harus bisa mencari dana segar setidaknya USD 7 juta. Merasa tertantang, dia pun menyanggupi tawaran temannya tersebut.
Maka, dia pun harus ke sana-kemari mencari dana pinjaman untuk “menyembuhkan” perusahaan tersebut. Dia menghubungi relasi-relasi bisnisnya maupun kenalan ayahnya. Tapi, sampai tiga bulan tidak membuahkan hasil.
Akhirnya, modal awal berhasil didapatkan. Bermodal kepercayaan, pengusaha Arifin Panigoro bersedia meminjamkan equity senilai USD 1,25 juta. “Saya masih ingat, sebelum ngadep (Arifin Panigoro), saya dan teman saya berdoa mulai siang di Masjid Al Azhar,” kenangnya.
“Itu hari saya nggak lupa. Saya pikir kami (Banyu dan sahabatnya, Red) udah gila, jadi ketawa-ketawa sendiri,” tambahnya lantas tertawa.
Usaha dan kerja keras Banyu serta kawannya membuahkan hasil. Perusahaan pengeboran minyak tersebut makin berkembang. Namun, dengan satu alasan, Banyu kemudian memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu dan mencari partner bisnis baru. Bersama partner barunya itulah karir Banyu sebagai pengusaha makin melesat hingga akhirnya berada di posisinya saat ini.
Menurut Banyu, tidak ada kesuksesan yang instan. Dia butuh waktu hampir 13 tahun untuk bisa berada di posisinya saat ini. Sudah 13 perusahaan yang dia dirikan. Jatuh bangun pun sudah dialami berkali-kali.
Dia menegaskan, kunci keberhasilan dirinya adalah kenekatan yang terkalkulasi. Jadi, tidak asal nekat berusaha, namun sudah dihitung benar sebelum memulai. “Jangan takut rugi. Gagal itu hampir pasti. Hahaha””
Selain itu, kata Banyu, jangan pernah berhenti belajar. Dia menjadikan sejumlah pengusaha senior sebagai gurunya. Mereka tidak pernah pelit berbagi ilmu untuk anak-anak muda yang bersungguh-sungguh.
Mengapa Banyu tidak tertarik terjun ke bidang yang sama dengan sang ayah” Dia mengungkapkan, pengusaha dan seniman sebenarnya sama saja. Namun, pengusaha merupakan seniman yang menggunakan angka, data, dana, dan kalkulasi dalam berkarya.
Banyu merasa bersyukur hidup di keluarga yang toleran. Sang ayah tidak pernah memaksa dirinya untuk mengikuti jejak sebagai politikus dan budayawan. Itu terbukti juga pada sang adik yang akhirnya menjadi banker. Sementara itu, sang bunda merupakan guru besar di bidang hukum internasional.
Bagi Banyu, perbedaan itu justru membuat keluarganya menjadi dinamis. Keluarga yang dinamis dan harmonis sangat berpengaruh terhadap kesuksesan anak-anak di dalamnya.
Saat ditanya adakah keinginannya yang belum terwujud, Banyu mengembalikan kepada Tuhan yang baginya merupakan Sang Maha Pemberi.
“Dalam doa, saya hanya minta dijadikan manusia yang lebih baik dari kemarin sesuai kehendak-Nya,” tambah pria yang mengaku masih melajang itu. (*/c5/ari/jpnn)
Tidak Punya Uang Tapi Dipercaya Orang
Terjun di dunia usaha pada usia muda membutuhkan keberanian dan mental baja. Setidaknya, hal itu pernah dirasakan Banyu Biru Djarot, direktur salah satu perusahaan penggarap proyek monorel Jakarta. Dia harus berjuang selama 13 tahun sebelum akhirnya bisa eksis seperti sekarang.
KESIBUKAN Banyu Biru makin bertambah pasca-Lebaran ini. Selain mesti menggebern
megaproyek monorel Jakarta yang sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya, dia mulai sibuk berkampanye dalam organisasi Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jaya. Banyu termasuk salah satu kandidat kuat ketua umum HIPMI Jaya.
Baru-baru ini, sebuah video mengenai rencana pencalonan dirinya diunggah ke dunia maya. Sejumlah pengusaha muda Jakarta memang mendorong Banyu untuk menduduki posisi penting itu. Karirnya yang meroket membuat Banyu dinilai memiliki kapasitas untuk memimpin organisasi pengusaha muda tersebut.
Senin (12/8) dia berdiskusi di sebuah channel televisi berbayar soal perusahaannya dan pembangunan Jakarta. Menurut pandangan dia, pembangunan transportasi Jakarta sudah tertinggal jauh jika dibanding ibu kota negara-negara lain. Karena itu, sudah saatnya Jakarta memiliki sistem transportasi masal yang benar-benar terintegrasi untuk memudahkan mobilitas manusia. Sistem transportasi masal terpadu tersebut kini sedang digarap proyeknya. Banyu pun menjadi salah seorang pimpinan megaproyek tersebut.
Pada usia 34 tahun, Banyu sudah dipercaya menjadi direktur pengembangan usaha PT Ortus Holdings Ltd, sebuah perusahaan yang berinvestasi di bidang energi dan infrastruktur. Perusahaan tersebut kini menjadi penyandang dana proyek monorel di Jakarta setelah mengakuisisi PT Jakarta Monorail.
“Kami me-manage asset value hampir 2 miliar dolar (USD),” tutur Banyu saat ditemui dalam sebuah acara HIPMI Jaya awal Agustus lalu.
Kepercayaan mengelola proyek besar itu didapat Banyu melalui perjuangan yang panjang. Selepas lulus kuliah di Inggris pada 2001, dia meniti karir sebagai pegawai di perusahaan Danareksa di Jakarta.
Di perusahaan tersebut, Banyu yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang international securities investment and banking dipercaya membidangi sektor perbankan serta energi. Sebenarnya karirnya moncer. Tapi, dia malah memutuskan untuk pindah ke perusahaan lain dengan bidang yang sama.
Karir Banyu di perusahaan terakhir itu tidak bertahan lama. Dia memutuskan untuk keluar dan membantu ayahnya, budayawan Erros Djarot, terjun berpolitik. Karirnya di ranah politik pun tidak lama. Dia kembali banting setir menjadi pengusaha.
“Waktu kembali menjadi pengusaha itu, modal saya cuma nekat,” lanjut pria kelahiran London tersebut mantap.
Tidak main-main, perusahaan yang dia rintis tersebut bergerak di bidang pengeboran minyak. Itu berarti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena itu, mau tidak mau, Banyu harus mempunyai dana yang cukup besar sebagai modal. Setelah dana terkumpul, dia mengakuisisi sebuah perusahaan pengeboran minyak yang “sakit” menjadi perusahaan yang bergairah kembali dalam usaha.
Masa-masa awal berusaha lagi itulah yang dirasakan susah oleh Banyu. Sebelum mengakuisisi perusahaan minyak tersebut, dia nyaris tidak memiliki modal. “Uang di ATM tinggal Rp 3,8 juta,” ucap sulung dua bersaudara itu.
Tidak disangka, Banyu ditawari seorang sahabatnya untuk mengakuisisi perusahaan minyak yang sedang kolaps. Perusahaan itu memang sedang sakit, namun dinilai punya potensi besar untuk berkembang. Hanya, Banyu harus bisa mencari dana segar setidaknya USD 7 juta. Merasa tertantang, dia pun menyanggupi tawaran temannya tersebut.
Maka, dia pun harus ke sana-kemari mencari dana pinjaman untuk “menyembuhkan” perusahaan tersebut. Dia menghubungi relasi-relasi bisnisnya maupun kenalan ayahnya. Tapi, sampai tiga bulan tidak membuahkan hasil.
Akhirnya, modal awal berhasil didapatkan. Bermodal kepercayaan, pengusaha Arifin Panigoro bersedia meminjamkan equity senilai USD 1,25 juta. “Saya masih ingat, sebelum ngadep (Arifin Panigoro), saya dan teman saya berdoa mulai siang di Masjid Al Azhar,” kenangnya.
“Itu hari saya nggak lupa. Saya pikir kami (Banyu dan sahabatnya, Red) udah gila, jadi ketawa-ketawa sendiri,” tambahnya lantas tertawa.
Usaha dan kerja keras Banyu serta kawannya membuahkan hasil. Perusahaan pengeboran minyak tersebut makin berkembang. Namun, dengan satu alasan, Banyu kemudian memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu dan mencari partner bisnis baru. Bersama partner barunya itulah karir Banyu sebagai pengusaha makin melesat hingga akhirnya berada di posisinya saat ini.
Menurut Banyu, tidak ada kesuksesan yang instan. Dia butuh waktu hampir 13 tahun untuk bisa berada di posisinya saat ini. Sudah 13 perusahaan yang dia dirikan. Jatuh bangun pun sudah dialami berkali-kali.
Dia menegaskan, kunci keberhasilan dirinya adalah kenekatan yang terkalkulasi. Jadi, tidak asal nekat berusaha, namun sudah dihitung benar sebelum memulai. “Jangan takut rugi. Gagal itu hampir pasti. Hahaha””
Selain itu, kata Banyu, jangan pernah berhenti belajar. Dia menjadikan sejumlah pengusaha senior sebagai gurunya. Mereka tidak pernah pelit berbagi ilmu untuk anak-anak muda yang bersungguh-sungguh.
Mengapa Banyu tidak tertarik terjun ke bidang yang sama dengan sang ayah” Dia mengungkapkan, pengusaha dan seniman sebenarnya sama saja. Namun, pengusaha merupakan seniman yang menggunakan angka, data, dana, dan kalkulasi dalam berkarya.
Banyu merasa bersyukur hidup di keluarga yang toleran. Sang ayah tidak pernah memaksa dirinya untuk mengikuti jejak sebagai politikus dan budayawan. Itu terbukti juga pada sang adik yang akhirnya menjadi banker. Sementara itu, sang bunda merupakan guru besar di bidang hukum internasional.
Bagi Banyu, perbedaan itu justru membuat keluarganya menjadi dinamis. Keluarga yang dinamis dan harmonis sangat berpengaruh terhadap kesuksesan anak-anak di dalamnya.
Saat ditanya adakah keinginannya yang belum terwujud, Banyu mengembalikan kepada Tuhan yang baginya merupakan Sang Maha Pemberi.
“Dalam doa, saya hanya minta dijadikan manusia yang lebih baik dari kemarin sesuai kehendak-Nya,” tambah pria yang mengaku masih melajang itu. (*/c5/ari/jpnn)