MEDAN- Terbukti pesta sabu, Odi Dodi Prasetyo, mantan Camat Medan Polonia dan dua pegawai negeri sipil (PNS) Pemko Medan, masing-masing Hendra dan Ari Cuma diwajibkan menjalani rehabilitasi. Setelah dikembalikan Pemko Medan, rencananya hari ini atau lusa, ketiganya akan dikirim Badan Narkotika Provinsi (BNP) Sumut ke Jakarta. “Saya baru terima surat dari Plt Walikota Medan, besok (hari ini-red) atau lusa ketiganya akan dikirim untuk rehabilitasi. Rujukan kita di jawa sana,” ungkap Kepala BNP Sumut, Kombes Pol.Rudi Tranggo saat dikonfirmasi, Senin (21/10) siang.
Dikatakan Rudi, beberapa waktu lalu Odi dan kedua PNS pencandu narkoba itu telah mereka serahkan ke Pemko Medan. “Sudah kita serahkan ke Pemko Medan, mereka mengembalikan lagi untuk rehabilitasi. Karena itu, dia PNS,” kata Rudi. Meski begitu, BNP Sumut mengaku akan tetap memproses kasus ini sesuai UU Narkotika Tahun 2009. “Semuanya kita lakukan rehabilitas dibawah kontrol kita. Kalau ketahuan mereka tak menjalani rehabilitasi, akan saya bawa paksa kembali dan saya tahan di BNN. Begitupun, proses penyidikan tetap jalan,” tegasnya.
Lebih lanjut, perwira melati tiga di pundak itu menjelaskan, khusus untuk Odi dan kedua PNS tersebut, BNP rekomendasi untuk dilakukan rehabilitasi di Jakarta. “Untuk ketiga PNS ini kita rekomendasi rehabilitasi di Jakarta, agar mudah kita kontrol kembali. Kita juga sudah memberikan rekomendasinya ke Pemko Medan,” jelasnya. Rehabilitasi juga diwajibkan untuk ke delapan pecandu lainnya. Hanya saja mereka direkomendasi melakukan direhabilitas di Medan Plus dan Caritas.” Sebelumnya mereka sudah kita serahkan pada orangtua dan keluarganya masing-masing. Jika tak menjalani rehabilitas, mereka akan kembali saya tangkap paksa dan tahan,” tegasnya.
Sementara untuk seorang wanita berinsial CKN yang dipulangkan karena urine-nya tak terbukti mengandung zat narkoba, tetap dikenakan wajib lapor untuk pemeriksaan dan penyidikan atas keberadaannya saat digerebek BNP Sumut di room 5 Karaoke Station, Jl. KL.Sugino/ Wajir Medan, Selasa (8/10) lalu. Begitu juga, Doly Indra Marodona Nasution, diserahkan BNP Sumut ke Unit Jahtanras Subdit III/ Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Sumut, untuk diperiksa atas kepemilikan Air Soft Gun. Rudi membantah meng-krimininalisasikan kasus ini, karena keseluruhan orang yang diamankan pihaknya masih berstatus terperiksa.
“Kita tak melakukan kriminalisasi, kita hanya memberikan proses hukum yang ada,”sebutnya. Dalam kasus ini, pihaknya ingin memberi edukasi atas bahaya narkotika. Untuk itu, Rudi mengajak dan mengimbau untuk bersama memberantas dan memerangi narkotika yang beredar di tengah masyarakat. “Saya ingin memberikan edukasi, semua pelaku narkotika yang mana kita bisa lakukan rehabilitas, akan kita lakukan. Kemudian yang terlibat baik pengedar dan bandar pun, kita lakukan proses hukum, jadi tak meski kita vonis, kalau bisa kita sadarkan mereka akan bahaya narkotika saat ini,” tandasnya.
>> Odi & 2 PNS Didesak Pecat
Kasus tertangkapnya Camat Medan Polonia Odi Dodi Prasetyo saat menggelar pesta sabu beberapa waktu lalu membuat kawatir masyarakat akan rusaknya mental bangsa akibat tindakan seorang pejabat negara. Kekawatiran ini sangat beralasan, mengingat bagaimana seorang seperti Odi melibatkan warga lain yang tak menutup kemungkinan adalah warganya sendiri. Kejadian ini mengundang kontroversi di tengah masyarakat terkait adanya rencana pemerintah melaksanakan uji atau tes narkoba melalui urine atau air seni bagi seluruh pegawai negeri sipil. Namun menurut seorang pengamat Politik dan Pemerintahan, Drs Achmad Riza Siregar MSi saat ditemui Minggu (21/10) siang mengatakan jika memang terbukti seorang pejabat atau PNS terlibat narkoba, maka sanksi tegas harus dijatuhkan kepadanya.
“Dasarnya bukan hanya karena dia terlibat narkoba dan tertangkap, akan tetapi dampak psikologi masyarakat yang mengetahui bahwa seorang yang harusnya jadi teladan memberikan contoh baik pada masyarakat, justru mengarah pada menjerumuskan dirinya dan orang lain ke arah yang tidak baik. Maka hukuman pemecatan harusnya menjadi putusan terbaik bagi pejabat atau pegawai negara itu, bukan sekedar menurunkan atau mencopot jabatannya,” tegas Achmad. Ia juga mengkritik pola penegakan aturan di Indonesia yang cenderung mengarah kepada masyarakat kalangan menengah ke bawah. Artinya seorang pejabat berani mengonsumsi narkoba karena merasa bisa lepas dari jeratan hukum dan itu jadi pertanyaan besar.
“Persoalannya adalah begitu gencarnya program pemerintah dan kepolisian memberantas narkoba, namun kenapa masih banyak pejabat yang terlibat? Itu kan jadi pertanyaan besar. Berarti pemberantasan narkoba yang selama ini dibesar-besarkan hanya berlaku pada masyarakat kecil saja. Seharusnya aturan dan penegakan narkoba itu lebih dulu diperuntukkan bagi pejabat atau PNS, karena mereka hidup dari pajak yang dibayar rakyat,” terangnya. Kesan yang muncul adalah, pemerintah dan aparat diduga sengaja membiarkan ini terjadi. Padahal, sudah menjadi rahasia umum kalau banyak oknum aparat terlibat narkoba. “Sejatinya pemeriksaan narkoba untuk seluruh PNS rutin dilakukan agar kesannya penyelenggara negara benar-benar jadi contoh baik bagi rakyat. Program ini sudah harus diterapkan pemerintah untuk mencegah penggunaan narkoba di tingkat pejabat negara dan PNS,” pungkasnya. (smg/deo)