Tidak banyak paket wisata yang menawarkan destinasi di kawasan barat daya Tiongkok. Padahal, di sana terdapat objek wisata yang eksotis. Salah satunya di Kota Kunming. Berikut catatan wartawan Jawa Pos (grup Sumut Pos), Gunawan Sutanto yang baru pulang dari ibu kota Provinsi Yunnan tersebut.
UDARA dingin menerobos jaket tebal khusus hiking bikinan Fran”ois Salomon yang siang itu saya gunakan sesaat setelah keluar Bandara Changsui International Airport, Kunming, Sabtu (7/12). Meski dingin, langit di bandara baru tersebut tampak cerah.
Bersama 15 wartawan dari Malaysia dan Indonesia, saya mendapat undangan dari maskapai penerbangan AirAsia dan Kunming Municipal Tourism Bureau untuk mengunjungi tujuh objek wisata menarik di sana.
“Di sini setiap hari musim semi,” ujar Wang Jun, deputi direktur umum Kunming Municipal Tourism Bureua, dalam bahasa Mandarin yang diterjemahkan guide muda berdarah Italia, Yoyo Yang.
Wang menyatakan, alam Kunming selalu tampak seperti musim semi. Bunga-bunga mekar sepanjang tahun dan tidak pernah terjadi perubahan cuaca yang ekstrem. “Karena itu, silakan datang kapan saja untuk menikmati wisata di Kunming,” tuturnya.
Kami mengawali perjalanan wisata Kota Kunming dengan mendatangi hutan batu. Yakni, Jiuxiang Karst Cave di Yilian dan Stone Forest di Shilin Yi. Pertama, kami menuju Jiuxiang Karst Cave, sekitar satu jam perjalanan darat dari pusat kota.
Seperti Jakarta atau Surabaya, lalu lintas di Kunming juga ruwet. Padahal, infrastruktur jalan di kota itu sangat memadai. Jalan layang di mana-mana, bahkan sampai tiga tingkat. Tapi, banyak pengendara, terutama pengendara sepeda motor, yang tidak menghiraukan rambu-rambu lalu lintas. Akibatnya, kemacetan pun terjadi.
“Kondisi itulah yang membuat perjalanan kita akan sedikit lama. Apalagi sekarang hari kerja,” kata Yoyo di dalam bus.
Sejam kemudian, kami sampai di objek wisata gua bebatuan itu. Kami langsung digiring ke sebuah sightseeing lift. Lift tersebut mengarah ke jurang berkedalaman 48 meter. Ada dua lift yang disediakan untuk wisatawan menyusuri jurang. Setelah keluar lift, kami langsung disambut suara gemericik Sungai Yangtze yang bening dipadu kicauan burung hutan yang nyaring.
Kami lalu menyusuri jalan setapak di tepi jurang menuju gua. Menurut pemandu, total luas kawasan konservasi itu mencapai 167,14 km persegi, sedangkan luas objek wisata Jiuxiang sekitar 20 km persegi. Terdiri atas beberapa spot. Yakni, Gua Sanjiao, Dashang, Diehong, dan Dasha Dam. Di sepanjang perjalanan, kami menyaksikan stalaktit-stalaktit menawan di langit-langit gua.
“Lihat, cahaya yang masuk ke lorong itu seperti anak kunci. Karena itu, titik ini sering disebut lorong kunci karena menjadi awal penelusuran gua,” ujar pemandu yang hanya bisa berbahasa Mandarin tersebut.
Stalaktit di dalam gua makin elok karena pancaran sinar lampu warna-warni yang ditata artistik. Pemandangannya seperti di dalam ruang diskotek. Apalagi ditambah suara dentuman musik disko dari Grand Lion Hall. Di gua itu memang terdapat hall seluas 1,5 hektare. Pada saat-saat tertentu, hall itu digunakan untuk tempat pertunjukan.
Mengapa disebut Grand Lion Hall” Lagi-lagi namanya dipaskan dengan pemandangan di sekitarnya.
“Di sana ada stalaktit yang bentuknya mirip lion besar,” ujar Yoyo.
Ya, batu besar tersebut memang tampak seperti singa duduk yang mengintai mangsa. Di Grand Lion Hall itu juga dipajang sejumlah temuan dan sejarah terbentuknya gua tersebut, termasuk cerita soal nenek moyang suku bangsa Yi. Ada pula dua akuarium besar berisi ikan dengan nama Blind Gold.
Tempat wisata Gua Jiuxiang juga beberapa kali digunakan untuk syuting film Mandarin. Antara lain, The Twins Effect 2 (2004), The Myth (2005), dan Little Big Soldier (2010). Nama film terakhir dibintangi Jackie Chan.
Selain stalaktit singa, ada tempat yang diberi nama Crocodile Area. Nama itu diberikan karena ada stalaktit yang berbentuk mirip moncong buaya. Ada juga spot bernama Drunken Master Sleeping, pemabuk dengan perut buncit yang tertidur.
Stalaktit yang juga tidak boleh dilewatkan adalah Terraced Flowstone. Hamparan bebatuan nan luas seperti sawah terasering di Bali. Bebatuan berundak-undak itu berisi air dari dalam gua.
Kami lalu dibawa menuju dua air terjun yang diberi nama Male and Female Waterfall. “Ada legenda tentang air terjun ini. Yakni, cerita cinta yang tragis,” ujar pemandu, tetapi tidak menjelaskan legenda itu lebih lanjut.
Bagi pengunjung yang tidak kuat berjalan menyusuri Jiuxiang Karst Cave, pengelola menyewakan tandu. Pengunjung akan dibawa seperti Jenderal Soedirman saat bergerilya. Chief Editor New Strait Times, Malaysia, Tan Bee Hong mencoba naik tandu tersebut. Dia dikenai biaya 60 yuan (Rp 120.000 dengan kurs 1 yuan = Rp 2.000).
Untuk keluar Jiuxiang Karst Cave, disediakan kereta gantung. Lagi, pengunjung mendapat pemandangan yang eksotis dari atas kereta gantung.
Jika belum puas dengan melihat gua, pengunjung bisa menikmati spot-spot menarik lainnya. Misalnya, menyusuri sungai yang membelah jurang Yincui. Atau, melihat pemandangan sungai yang berbentuk seperti tapal kuda yang dikelilingi pepohonan yang terus bersemi.
“Sehari Anda tidak akan puas menikmati pemandangan di Jiuxiang,” ujar pemandu cantik yang mengantarkan kami ke pintu keluar area wisata.
Wisata lain yang hampir sama dengan Jiuxiang adalah Stone Forest di daerah otonomi Shilin Yi. Wisata bebatuan itu terletak sekitar 78 km tenggara pusat Kota Kunming. Dari Jiuxiang Karst Cave berjarak 22 km.
Keindahan lokasi wisata yang masuk daftar cagar budaya alam UNESCO itu sudah terlihat dari jauh. Bebatuan besar menjulang berjajar di berbagai sudut. Untuk menjelajahi tempat wisata seluas 350 km persegi tersebut, disediakan bus khusus bagi pengunjung yang akan mengantar ke spot-spot yang diinginkan. Pengelola mengelompokkan empat rute perjalanan untuk memaksimalkan kunjungan. Masing-masing rute membutuhkan waktu 3″4 jam.
Saat kami datang ke tempat itu, pengelola lebih dulu memamerkan museum geologi yang diklaim terlengkap dan terbesar di Tiongkok. Namanya Stone Forest Karst Geological. Berbagai jenis bebatuan disimpan di museum tersebut.
Perjalanan kami ke Stone Forest dipandu guide dari warga Sani, bagian dari Suku Yi. Pria yang mengaku memiliki nama Latin Scots itu jago berbahasa Inggris.
“Saya akan mengajak Anda berfantasi melihat hutan batu ini. Silakan berfantasi tentang batu yang Anda lihat. Asal, jangan berfantasi yang tidak-tidak,” kelakar Scots yang siang itu menggunakan pakaian adat sukunya.
Bebatuan di objek wisata tersebut diduga merupakan hasil evolusi alam yang terjadi 270 juta tahun silam. Bebatuan tersebut mirip pahatan patung. Tak salah jika objek wisata itu biasa disebut Museum Patung Alami. Scots mengajak rombongan masuk ke area Greater Stone Forest.
Di area itu, dia menceritakan berbagai bebatuan yang ada. Dia menunjukkan bagaimana ajaibnya batu yang diberi nama Tumbledown Rock atau Bebatuan Reyot.
“Batu ini reyot, tapi tidak jatuh sehingga seperti orang sedang berpelukan. Ini disebut Dangerous Gate,” ujarnya.
Ada pula bebatuan yang disebut Sword Pond. Bebatuan yang kalau dilihat dari atas berbentuk menyerupai pedang. Sword Pond dikelilingi kolam alami sehingga keindahan bebatuan itu tampak dari refleksi di kolam. Saat menjelajah area Greater Stone Forest, udara sedikit lebih hangat. Sebab, angin dingin yang berembus terhalang bebatuan.
Penamaan bebatuan berdasar ilmu “gothak-gathuk” (dipas-paskan) lainnya juga ditemui di Elephant Crouching on Rock (Gajah Duduk di Atas Batu), Fighting Tiger and Leopard, Pinguin Peak, dan sebagainya. Ada juga batu yang dijuluki Ashima. Nama itu merupakan sebutan untuk perempuan dari Sani.
“Kalau panggilan untuk saya, Ahei. Tapi, kalau perempuan, dipanggil Ashima,” ungkapnya.
Disebut batu Ashima karena bentuknya seperti perempuan yang membawa keranjang khas Suku Sani. Di spot batu Ashima, beberapa warga menjajakan jasa foto. Dengan membayar 5 yuan, pengunjung bisa berfoto dengan pakaian khas Ashima atau Ahei seperti yang digunakan Scots.
Dia menyatakan, biasanya wisatawan yang datang tidak hanya sehari mengunjungi Stone Forest. “Mereka sering ingin mencoba semua rute perjalanan untuk melanjutkan fantasinya,” ucap Scots.
Setelah mengelilingi dua wisata bebatuan, rombongan menikmati jamuan makan dengan menu masakan lokal. Salah satunya roti tipis seperti martabak manis yang cara makannya harus dicocolkan ke madu yang disediakan.
Jamuan tambah asyik karena pengunjung dihibur grup musik lokal yang beranggota para penyanyi perempuan dan laki-laki yang berpakain adat. Mereka mengajak tamunya untuk bernyanyi sambil toast dengan minuman khas daerah itu: susu kacang.
“Untuk kebahagiaan kita bersama,” teriak para Ashima yang cantik-cantik itu sambil menyorongkan gelas minumnya. (*)