Drs H Fahmi Ahmad
Pengalaman berkeliling dunia menjadi motivasi bagi Drs Fadlin MA (50) untuk bergelut di dunia kesenian khususnya seni tradisional. Meskipun kerap disambut sepi, pemikirannya pun siap disumbangkan untuk kemajuan daerah kelahiran.
BEGITULAH, di usia yang setengah abad masih terpancar semangat berkesenian yang tak pernah padam. Seperti saat ditemui Sumut Pos di Kantor Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Rabu (18/5). Dengan menggebu, pengalaman selama tampil di luar negeri diceritakan sebagai buah dari eksistensi di dunia kesenian tradisi yang dilakoninya hingga saat ini.
“Sejak 1983 saya bersama teman-teman di Lembaga Kesenian (LK) USU berangkat ke Australia dengan konsep yang didominasi kesenian tradisional Melayu. Seperti Teater Makyong, Serampang Dua Belas, dan beberapa kesenian etnis lainnya. Artinya saya itu ke luar negeri dari seni tradisional ini,” ucap Fadlin.
Tak lama setelah itu, pada 1985 kegiatan di seni tradisional kembali membawa suami Nazliana ini ke Eropa. Perjalanan yang dimulai di Inggris dan berakhir di Jerman Barat itu pun dikabarkan mendapat antusias yang tinggi di tiap negara yang disinggahi. Sementara untuk negara-negara Asia, sudah tidak terhitung lagi perjalanan yang digelar seperti Malaysia, Thailand, China, dan lain sebagainya.
Tidak cukup hanya menjadi pengisi kegiatan, Fadlin pun menggagas kegiatan budaya yang diberi nama Pesta Gendang Nusantara di Malaka-Malaysia 1995 silam. Kegiatan yang tiga tahun kemudian mendapat perhatian dari dunia internasional ini pun menjadi agenda peringatan HUT Malaka. Begitu juga dengan Pesta Pantun Nusantara yang digagas 2010 lalu.
“Pihak kerajaan sangat mendukung kegiatan kebudayaan seperti itu. Pesta Gendang Nusantara itu bahkan bertambah dengan jemputan antar bangsa dimana China menjadi undangan pertama 1998 silam. Kegiatan ini sudah kali XIV dilaksanakan. Pesta Pantun Nusantara yang dibuat di atas kapal juga menyedot perhatian dunia. Ini membuktikan bagaimana budaya tradisional yang dikemas dengan baik dapat mendatangkan pemasukan dari bidang pariwisata,” beber penerima Anugerah Pewaris Aktivis Seni Budaya Melayu Serumpun dari Perdana Menteri Malaysia kala dijabat Ahmad Badawi 2007 lalu.
Bagi Fadlin keberagaman yang ada di Sumut merupakan potensi yang besar untuk dunia pariwisata. Apalagi sebagai ibu kota, Medan memiliki ruang yang cukup untuk melaksanakannya. Dirinya mengaku prihatin Pekan Budaya Melayu yang tak lagi pernah digelar. “Padahal setiap kita ke luar negeri, banyak yang bertanya kapan Kota Medan jadi tuan rumah,” ketusnya.
Keterlibatan Fadlin dengan kesenian justru terjadi saat menjadi mahasiswa di Jurusan Etnomusikologi USU. Dimulai dari musik, ayah dari Bagaz Albar, Chairanda Savero, dan Nasywa Kamila ini memilih gendang dengan bimbingan Tengku Danil yang merupakan putra dari Tengku Perdana. “Sebagai keturunan Melayu sebenarnya saya sudah kenal dengan budaya tapi cuek. Sejak di Etnomusikologi saya mulai serius,” kenangnya.
Tidak hanya kesenian Melayu, kekayaan budaya di masing-masing etnis yang ada di Sumut pun menggelitiknya untuk mempelajari. Ditambah lagi keterlibatan di LK USU menuntut penguasaan tidak hanya dalam bermusik juga bernyanyi dan menari. Dirinya bahkan menjadi salah satu andalan untuk vokal tradisional bersama Basir Tarigan. Fadlin juga menguasai unsur-unsur pada tari daerah Dairi, Taktak Garo-garo yang semakin langka ini.
Ketika dipercaya memimpin LK USU Fadlin pun menawarkan konsep marger sehingga memberi kesempatan yang luas bagi aktivis seni tradisional di dalamnya. Perjuangan dalam pelestarian budaya tradisional tadi membawa jebolan University of Malaysia ini bergabung dengan Alm Tengku Lukman Sinar sebelum mendirikan sanggar Anugerah Seni Medan. Dirinya juga pernah dipercaya menjadi Ketua Seni dan Budaya MABMI periode 2000-2003. (jul)
Terjun di Dunia Seni Harus Kuat Keuangan
Eksistensi dalam berkesenian tradisional diikuti pula dengan sudut pandang yang realistis. Beberapa usaha dibuka untuk menunjang aktivitasnya mengembangkan seni tradisi Sumatera Utara.
“Berkesenian itu untuk dinikmati jadi harus juga kuat di keuangan,” ucap pria yang murah tersenyum ini.
Untuk itu di sela-sela kesibukannya, Fadlin bersama sang istri Nazliana membuka usaha kuliner di kediamannya seputar Jalan Kapten Muchtar Basri No110 Glugur Darat-Medan sejak 1997 silam. Tanpa ada pengetahuan tentang usaha dan keahlian tentang membuat kue, keduanya mencari referensi dari buku dan media cetak bagaimana cara membuat kue yang baik dan benar. Akhirnya kami sepakat dengan membuat donat. Modal awal, keahlian, pengetahuan, peralatan semua serba apa adanya.
Dari proses pencaharian yang tak pernah lelah, usaha itu berhasil menemukan kekhasannya. Sebagai produsen oleh-oleh khas Kota Medan “Nazwa” memiliki ‘bolu pisang’ sebagai andalan di samping seratusan jenis kue lainnya. yang dapat dinikmati mulai Rp50.000 hingga Rp150.000 untuk lapis legit spesial. Ada juga aneka bubur yang pantas untuk dicicipi. Setelah sukses di usaha pembuatan roti, Fadlin mengembangkan usaha itu dengan membuka cafe dan usaha katering.
Perkembangan di dicapai juga turut dirasakan masyarakat. Saat ini Nazwa Aneka Kue memiliki team kerja 26 orang untuk produksi kue dan masak. Team ini terdiri dari sebagian anggota keluarga dan anak anak daerah yang dibimbing mulai dari dasar.
“Usaha kuliner sangat menjanjikan untuk berkembang. Yang penting kita bisa menampilkan sesuatu yang beda dari kebanyakan. Kalau punya cita rasa tersendiri pasti dikejar orang,” bebernya. (jul)