26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

PT Sumut Salahkan PN Medan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Putusan tinggi yang dijatuhkan majelis hakim tingkat banding terhadap terdakwa Kadis PU (Pekerjaan Umum) Deliserdang Ir Faisal, menjadi peringatan bagi Pengadilan Negeri Medan Pasalnya selama ini, hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi sehingga tak membuat efek jera.

“Inikan warning juga kepada PN Medan yang kerap menjatuhkan putusan ringan. Sedangkan dihukum satu tahun atau dua tahun penjara, tetap saja banyak orang yang korupsi, bahkan sampai tingkat kelurahan. Seolah-olah perkara korupsi ini semacam kejahatan biasa saja. Padahal inikan extraordinary crime, sama hal nya dengan perkara narkotika,” kata Humas Pengadilan Tinggi Sumut, Ridwan Damanik saat ditemui Sumut Pos di ruangannya, Senin (6/2).

Menurut Ridwan, PT Sumut mulai menunjukkan gregetnya karena tidak lagi memberikan vonis ringan kepada para terdakwa korupsi. Apalagi penerapan itu juga lebih dahulu ditunjukkan Mahkamah Agung yang terkenal memberikan vonis tinggi terhadap terdakwa korupsi.

“Jadi PT harus mengikutilah. Putusan itu harus sesuai rasa keadilan di masyarakat. Kita harus perbaiki citra kita di masyarakat. Selama inikan hanya hakim Artidjo di MA saja yang menjatuhkan putusan tinggi terhadap pelaku korupsi. Jadi kita semua harus berpikiran samalah bahwa korupsi ini perkara yang benar-benar serius,” tegasnya.

Ditambahkan Ridwan, pemberian putusan tinggi terhadap para pelaku korupsi harusnya diikuti Pengadilan Tingkat Pertama. Jangan lagi menganggap perkara korupsi masalah yang sepele. Pengadilan Negeri Medan, lanjutnya, harus memiliki rasa malu karena kerap memberikan vonis ringan.

“Paling tidak, PT sudah menunjukkan. Dengan putusan 12 tahun ini, PN Medan harusnya malu memberikan putusan ringan. Paling tidak mereka tidak lagi menganggap enteng perkara korupsi ini. Hakim di PN mulai berpikir lagi lah. Mereka harus tau kalau PT mulai menunjukkan greget nya. menunjukkan agar tingkat kepercayaan masyarakat itu meningkat,” ucapnya.

Ridwan membenarkan dalam amar putusan yang dijatuhkan majelis hakim PT Sumut terhadap Faisal, tidak memerintahkan agar dilakukan penahanan terdakwa. Karena masa perpanjangan tahanan di tingkat PT Sumut, telah dipergunakan oleh Pengadilan Negeri Medan. Sehingga PT Sumut tidak punya kewenangan lagi memperpanjang penahanan dan menetapkan perintah penahanan terdakwa.

“Penahanan di Pengadilan Tinggi Sumut dan perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sumut juga sudah habis dipakai mereka (PN Medan). Jadikan sekarang status terdakwa sudah tidak ditahan. Makanya dalam amar putusan, majelis hakim PT Sumut tidak bisa memerintahkan penahanan terdakwa. Karena itu tadi, kewenangan PT Sumut sudah habis dipakai PN Medan,” ujarnya.

Dijelaskannya, PN Medan bisa menggunakan perpanjangan penahanan PT Sumut disaat terdesak karena banyaknya saksi yang dihadirkan, membuat persidangan berlarut-larut dan menyebabkan masa tahanan terdakwa habis. Dia menilai jaksa tak harus menghadirkan seluruh saksi di persidangan. Dan hakim PN Medan harusnya dapat membatasi saksi meringankan yang dihadirkan pihak terdakwa agar persidangan tidak memakan waktu yang lama.

“Kalau mereka terdesak, mereka bisa memakai penahanan PT Sumut. Jadi peluru kita sudah habis. Itu tidak menyalahi KUHAP. Tapi, di PN ini, ‘peluru’ PT Sumut pun habis dihambur-hamburkan. Ini karena terlalu banyak saksi yang dihadirkan jaksa, makanya persidangan itu berlarut-larut dan hakim juga harus bijak,” jelasnya.

Saat ini, lanjut Ridwan, kewenangan melakukan penahanan sudah menjadi hak Mahkamah Agung (MA). Karena terdakwa Faisal telah mengajukan kasasi. Namun bila terdakwa tidak mengajukan upaya hukum lagi, maka perkara itu dianggap berkekuatan hukum tetap dan jaksa harus mengeksekusi terdakwa.

“Pada saat terdakwa mengajukan kasasi ke MA, maka saat itu juga, hakim MA lah yang memiliki kewenangan apakah menetapkan penahanan atau tidak. Namun, bila terdakwa tidak mengajukan upaya kasasi, putusan majelis hakim di tingkat banding menjadi keputusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Dengan sendirinya, terdakwa wajib di eksekusi jaksa dan tentunya terdakwa harus menjalani hukuman penjara 12 tahun itu dikurangi masa penahanan yang sudah dijalaninya,” bebernya.

Dalam perkara ini, Majelis Hakim Tinggi yang diketuai TH Pudjiwahono serta hakim anggota Saut Pasaribu, Mangasa M, dan Rosmalina Sitorus memberatkan hukuman Faisal menjadi 12 tahun penjara, denda sebesar Rp500 dan subsider 6 bulan. Tak hanya kurungan badan, TH Pudjiwahono yang juga menjabat Ketua PT Sumut menjatuhkan pidana tambahan kepada Insinyur Faisal berupa pembayaran Uang Pengganti (UP) sebesar Rp98 miliar lebih serta subsider 5 tahun penjara.

Tak hanya Faisal, terdakwa lain dalam perkara ini yakni Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang Elvian divonis 8 tahun penjara, denda Rp200 juta serta subsider 6 bulan. Oleh majelis hakim tingkat banding. Dia juga diwajibkan membayar Uang Pengganti sebesar Rp7,731 miliar serta subsider 1 tahun penjara. Sementara itu, Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Deliserdang Agus Sumantri dijatuhi hukuman 4 tahun penjara denda Rp200 juta serta subsider 6 bulan. Tetapi dirinya tidak diwajibkan membayar UP.

Dalam dakwaan jaksa, menyebutkan Faisal melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Elvian dan Agus Sumantri. Jaksa menyebutkan, terdakwa Faisal selaku Kadis PU atas inisiatif sendiri mengalihkan kegiatan-kegiatan yang terdaftar dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas PU Deliserdang dari kegiatan bersifat tender (lelang) menjadi kegiatan swakelola dari 2007-2010 sehingga negara dirugikan sebesar Rp105,83 miliar. (far/rbb)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Putusan tinggi yang dijatuhkan majelis hakim tingkat banding terhadap terdakwa Kadis PU (Pekerjaan Umum) Deliserdang Ir Faisal, menjadi peringatan bagi Pengadilan Negeri Medan Pasalnya selama ini, hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi sehingga tak membuat efek jera.

“Inikan warning juga kepada PN Medan yang kerap menjatuhkan putusan ringan. Sedangkan dihukum satu tahun atau dua tahun penjara, tetap saja banyak orang yang korupsi, bahkan sampai tingkat kelurahan. Seolah-olah perkara korupsi ini semacam kejahatan biasa saja. Padahal inikan extraordinary crime, sama hal nya dengan perkara narkotika,” kata Humas Pengadilan Tinggi Sumut, Ridwan Damanik saat ditemui Sumut Pos di ruangannya, Senin (6/2).

Menurut Ridwan, PT Sumut mulai menunjukkan gregetnya karena tidak lagi memberikan vonis ringan kepada para terdakwa korupsi. Apalagi penerapan itu juga lebih dahulu ditunjukkan Mahkamah Agung yang terkenal memberikan vonis tinggi terhadap terdakwa korupsi.

“Jadi PT harus mengikutilah. Putusan itu harus sesuai rasa keadilan di masyarakat. Kita harus perbaiki citra kita di masyarakat. Selama inikan hanya hakim Artidjo di MA saja yang menjatuhkan putusan tinggi terhadap pelaku korupsi. Jadi kita semua harus berpikiran samalah bahwa korupsi ini perkara yang benar-benar serius,” tegasnya.

Ditambahkan Ridwan, pemberian putusan tinggi terhadap para pelaku korupsi harusnya diikuti Pengadilan Tingkat Pertama. Jangan lagi menganggap perkara korupsi masalah yang sepele. Pengadilan Negeri Medan, lanjutnya, harus memiliki rasa malu karena kerap memberikan vonis ringan.

“Paling tidak, PT sudah menunjukkan. Dengan putusan 12 tahun ini, PN Medan harusnya malu memberikan putusan ringan. Paling tidak mereka tidak lagi menganggap enteng perkara korupsi ini. Hakim di PN mulai berpikir lagi lah. Mereka harus tau kalau PT mulai menunjukkan greget nya. menunjukkan agar tingkat kepercayaan masyarakat itu meningkat,” ucapnya.

Ridwan membenarkan dalam amar putusan yang dijatuhkan majelis hakim PT Sumut terhadap Faisal, tidak memerintahkan agar dilakukan penahanan terdakwa. Karena masa perpanjangan tahanan di tingkat PT Sumut, telah dipergunakan oleh Pengadilan Negeri Medan. Sehingga PT Sumut tidak punya kewenangan lagi memperpanjang penahanan dan menetapkan perintah penahanan terdakwa.

“Penahanan di Pengadilan Tinggi Sumut dan perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sumut juga sudah habis dipakai mereka (PN Medan). Jadikan sekarang status terdakwa sudah tidak ditahan. Makanya dalam amar putusan, majelis hakim PT Sumut tidak bisa memerintahkan penahanan terdakwa. Karena itu tadi, kewenangan PT Sumut sudah habis dipakai PN Medan,” ujarnya.

Dijelaskannya, PN Medan bisa menggunakan perpanjangan penahanan PT Sumut disaat terdesak karena banyaknya saksi yang dihadirkan, membuat persidangan berlarut-larut dan menyebabkan masa tahanan terdakwa habis. Dia menilai jaksa tak harus menghadirkan seluruh saksi di persidangan. Dan hakim PN Medan harusnya dapat membatasi saksi meringankan yang dihadirkan pihak terdakwa agar persidangan tidak memakan waktu yang lama.

“Kalau mereka terdesak, mereka bisa memakai penahanan PT Sumut. Jadi peluru kita sudah habis. Itu tidak menyalahi KUHAP. Tapi, di PN ini, ‘peluru’ PT Sumut pun habis dihambur-hamburkan. Ini karena terlalu banyak saksi yang dihadirkan jaksa, makanya persidangan itu berlarut-larut dan hakim juga harus bijak,” jelasnya.

Saat ini, lanjut Ridwan, kewenangan melakukan penahanan sudah menjadi hak Mahkamah Agung (MA). Karena terdakwa Faisal telah mengajukan kasasi. Namun bila terdakwa tidak mengajukan upaya hukum lagi, maka perkara itu dianggap berkekuatan hukum tetap dan jaksa harus mengeksekusi terdakwa.

“Pada saat terdakwa mengajukan kasasi ke MA, maka saat itu juga, hakim MA lah yang memiliki kewenangan apakah menetapkan penahanan atau tidak. Namun, bila terdakwa tidak mengajukan upaya kasasi, putusan majelis hakim di tingkat banding menjadi keputusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Dengan sendirinya, terdakwa wajib di eksekusi jaksa dan tentunya terdakwa harus menjalani hukuman penjara 12 tahun itu dikurangi masa penahanan yang sudah dijalaninya,” bebernya.

Dalam perkara ini, Majelis Hakim Tinggi yang diketuai TH Pudjiwahono serta hakim anggota Saut Pasaribu, Mangasa M, dan Rosmalina Sitorus memberatkan hukuman Faisal menjadi 12 tahun penjara, denda sebesar Rp500 dan subsider 6 bulan. Tak hanya kurungan badan, TH Pudjiwahono yang juga menjabat Ketua PT Sumut menjatuhkan pidana tambahan kepada Insinyur Faisal berupa pembayaran Uang Pengganti (UP) sebesar Rp98 miliar lebih serta subsider 5 tahun penjara.

Tak hanya Faisal, terdakwa lain dalam perkara ini yakni Bendahara Pengeluaran Dinas PU Deliserdang Elvian divonis 8 tahun penjara, denda Rp200 juta serta subsider 6 bulan. Oleh majelis hakim tingkat banding. Dia juga diwajibkan membayar Uang Pengganti sebesar Rp7,731 miliar serta subsider 1 tahun penjara. Sementara itu, Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Deliserdang Agus Sumantri dijatuhi hukuman 4 tahun penjara denda Rp200 juta serta subsider 6 bulan. Tetapi dirinya tidak diwajibkan membayar UP.

Dalam dakwaan jaksa, menyebutkan Faisal melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Elvian dan Agus Sumantri. Jaksa menyebutkan, terdakwa Faisal selaku Kadis PU atas inisiatif sendiri mengalihkan kegiatan-kegiatan yang terdaftar dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Dinas PU Deliserdang dari kegiatan bersifat tender (lelang) menjadi kegiatan swakelola dari 2007-2010 sehingga negara dirugikan sebesar Rp105,83 miliar. (far/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/