Kota Medan, Sumatera Utara, memiliki banyak tempat wisata bersejarah. Salah satunya Tip Top Restaurant and Lunch Room, restoran bernuansa jadul (jaman dulu) di kawasan pecinan Kesawan. Restoran yang berdiri sejak 1934 itu mampu menjaga orisinalitas bangunan maupun menu masakannya.
GUNAWAN SUTANTO, Medan
LIVE music dengan lagu-lagu nostalgia menyambut para pengunjung yang datang ke Tip Top Restaurant and Lunch Room siang itu. Foto-foto hitam putih yang menghiasi dinding-dindingnya semakin menegaskan bahwa Tip Top adalah rumah makan yang berusaha mempertahankan nilai-nilai kesejarahannya. Tampak di antaranya foto tentara sekutu yang sedang berbaris dengan latar belakang bangunan restoran di Jalan Kesawan (kini Jalan Ahmad Yani) tersebut. Konon, foto itu dijepret pada 1947.
“Bangunan ini masih orisinal semuanya. Hampir tidak ada yang berubah meskipun pernah direnovasi beberapa kali,” ujar Dridikus Kelana, generasi ketiga pemilik Tip Top, ketika ditemui Jawa Pos (Induk JPNN) Sabtu siang (18/1).
Dridikus lalu mengajak koran ini menikmati cuilan-cuilan sejarah Medan masa lalu yang berkaitan dengan restoran tua itu. Wisata sejarah tersebut dimulai dari foto-foto kuno yang dipajang sebagai hiasan interior restoran.
“Coba lihat foto ini dan bedakan dengan yang sekarang. Nyaris tidak ada yang berubah, bukan?”kata Dridikus sambil menunjuk foto bangunan Tip Top pada 1940-an dan objek yang sama yang difoto pada era sekarang.
Ada juga foto suasana kawasan Kesawan pada era penjajahan Belanda yang terkenal sebagai pusat perniagaan. Menurut Dridikus, pada awal pendiriannya, Tip Top tidak dimaksudkan untuk rumah makan. Tapi berbentuk toko roti dengan nama Jang Kie di Jalan Pandu, Medan.
“Nama toko roti itu diambil dari nama kakek buyut saya, Jang Kie,” terang Dridikus sembari menunjukkan foto perintis restorannya tersebut.
Baru pada 1934 Jang Kie memutuskan untuk memindahkan toko rotinya ke kawasan Kesawan, tak jauh dari Jalan Pandu. Penyebabnya, Kesawan adalah pusat perniagaan di Medan yang ramai kala itu. Kongsi-kongsi dagang Belanda dan Tionghoa banyak bermarkas di kawasan yang mirip dengan Kembang Jepun di Surabaya tersebut.
Saat pindah ke Jalan Kesawan itulah, Jang Kie mengubah nama toko rotinya menjadi Tip Top. Pengubahan nama tersebut dimaksudkan untuk menyasar pasar yang lebih luas. Bukan hanya warga Tionghoa, melainkan juga menir-menir Belanda. Dalam bahasa Belanda, tiptop berarti sesuatu yang sempurna.
Menu-menu di restoran itu memang menunjukkan bagaimana Jang Kie berupaya memikat selera makan orang-orang Belanda. Misalnya beefsteak, bitterballen, kue markoop, speculaas, saucijs brood, horen, dan aneka jenis es krim berbahasa Belanda. “Ini whipped cream yang kami buat sendiri, tidak menggunakan whipped cream spray seperti yang dijual di toko-toko,” ujar pria 44 tahun itu.
Dridikus kemudian mengajak Jawa Pos ke dapur. Di tempat masak tersebut terdapat alat pembuat whipped cream, namanya slagroom. Alat bikinan Belanda itu berusia lebih tua daripada keberadaan Tip Top. “Kami sempat risau karena sulit sekali mencari alat ini untuk cadangan. Saya sudah keliling Indonesia, bahkan ke luar negeri, tapi tidak menemukan alat yang sama,” paparnya.
Tip Top membutuhkan alat cadangan itu sebagai antisipasi jika alat yang lama rusak. Sampai sekarang slagroom cadangan dengan bentuk yang sama belum ditemukan Dridikus dan karyawannya. Pernah alat tersebut bermasalah karena komponennya rusak. Untung, teman
Dridikus mampu membetulkan untuk membuat komponen yang sama. “Untung, alat buatan sendiri itu cocok sehingga berfungsi kembali,” ungkapnya.
Pemilihan sejarah sebagai diferensiasi restoran tersebut rupanya tak salah. Selama ini, terang Dridikus, tamu yang datang ke restorannya kebanyakan ingin bernostalgia. Meski begitu, banyak juga generasi sekarang yang menjadi pelanggan rumah makan jadul tersebut. “Banyak pula turis asing yang mampir. Kebanyakan sudah tua-tua,” ujar lulusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan Bandung itu.
Dridikus bercerita, pernah suatu ketika datang sejumlah wisatawan dari Belanda. Seorang di antara mereka sudah sangat tua. Ternyata, tamu istimewa itu pelaku sejarah yang pernah makan di restoran tersebut pada 1940-an. “Turis itu dulu bekerja di Medan dan sering datang ke restoran ini. Dia masih ingat betul di mana tempat duduk favoritnya,”kenang Dridikus. Menurut turis tersebut, dulu, setiap Sabtu dan Minggu, Tip Top sering di-booking untuk acara-acara pesta orang Belanda.
Sampai soal tempat duduk, Tip Top berusaha mempertahankan keasliannya. Semua kursi yang digunakan restoran itu terbuat dari rotan. Untuk kenyamanan pengunjung, kekuatan kursi rotan-rotan tersebut selalu diperhatikan. Bahkan, Dridikus secara khusus memiliki staf yang bertugas memperbaiki kursi rotan yang rusak.
Keaslian alat masak juga masih dipertahankan karena pengaruhnya pada rasa makanan. Alat masak itu masih berbentuk tungku kayu bakar. Alat khusus untuk membuat kue tersebut berada di bagian belakang restoran. Keaslian tungku itu masih dipertahankan, termasuk keberadaan bata tahan apinya yang sudah gosong.
Menurut Dridikus, cita rasa kue yang dimasak dengan tungku kayu dan gas berbeda. Itu yang membuat dia berupaya mati-matian mempertahankan tungku dengan kayu mahoni tersebut. Sebagian pekerja di restoran itu merupakan generasi lama. “Terutama kokinya, kebanyakan generasi ketiga dari chef yang direkrut pendahulu-pendahulu saya,” katanya.
Dridikus sendiri merupakan generasi ketiga. Dia mendapat mandat untuk meneruskan restoran tersebut dari ayahnya, Freddy Kelana, yang pensiun pada 2007. Sebelumnya bapak dua anak tersebut menekuni bisnis pertanian. “Tugas saya berat. Sebab, saya harus bisa mempertahankan orisinalitas restoran ini,” tandasnya. (*/c9/ari)