Sambungan dari 400-600 Orang Melintas Setiap Hari Pekan, Kantor Imigrasi Merangkap Money Changer
Oleh: Valdesz Junianto, Skouw-Wutung
Tak ada sesuatu yang menegangkan di pintu perbatasan ini. Sebuah motor bebek berwarna hitam yang ditumpangi pasangan suami-istri Papua Nugini berhenti menyentuh pagar teritori dua negara. Garis batas Indonesia-Papua Nugini memang tak seperti perbatasan yang dibentengi ketat dengan pagar kawat berduri dengan zona demiliterisasi.
SAAT bersamaan Sumut Pos berkunjung ke tapal batas Indonesia-Papua Nugini, tak lama tiba Komandan Korem (Danrem) 172/Cendrawasih Kolonel Herman Asaribab. Perwira putera asli Papua ini didampingi Komandan Batalyon Infanteri (Danyonif) 642/Kapuas Letkol (Inf) Saut Edward Tampubolon dengan kawalan sejumlah prajurit dari Kodam Mulawarman Kalimantan Selatan.
Sejak awal Februari hingga enam bulan ke depan, pasukan Yonif 642/Kapuas bertugas sebagai satuan tugas (satgas) penjaga perbatasan Indonesia-Papua Nugini di Desa Skouw, Distrik Muara Tami.
Pada Kamis (20/2) pagi itu, kedua perwira menengah itu melakukan tugas rutin meninjau perbatasan Desa Skouw sekaligus masuk ke Wutung Village yang merupakan wilayah teritorial Papua Nugini. Setelah berkenalan sejenak, Kolonel Herman Asaribab mengatakan kunjungannya hari itu sekadar memantau situasi di tapal batas Indonesia-Papua Nugini.
‘’Garis perbatasan ini sensitif, rawan konflik, jadi harus dijaga terus,’’ katanya. Kolonel Herman memberikan perhatian besar pada bangunan yang tengah dikerjakan di seberang garis demarkasi. Tadinya dari balik pagar zona demarkasi (wilayah netral Indonesia-Papua Nugini, Red) itu membentang sekitar 2 hektare lahan kosong sebelum terputus oleh sungai. Namun langkah pemerintah Papua Nugini membangun kantor imigrasi yang baru dan pos penjagaan militer di lahan tersebut cukup memancing perhatiannya.
‘’Tanah yang kita pijak ini zona internasional. Jadi siapa saja boleh membangun di sini. Kita pun kalau membangun seperti mereka ya, boleh-boleh saja,’’ dia menegaskan.
Menurut Kolonel Herman, panjang garis perbatasan Indonesia-Papua Nugini mencapai kurang lebih 817 kilometer. Dimulai dari Skouw di bagian utara hingga berakhir di muara Sungai Bensbach, Merauke di bagian selatan.
Di lokasi tertentu sepanjang garis perbatasan ditempatkan pos-pos penjaga perbatasan yang sudah disepakati berdasarkan tingkat aktivitas pelintas batas yang dilakukan warga setempat. Pos-pos tersebut diantaranya terletak di wilayah Skouw, Wembi, Waris, dan Senggi.
‘’Dari ujung utara sampai selatan Papua terdapat 114 pos yang menjaga garis perbatasan,’’ tukasnya.
Letkol Tampubolon menambahkan, di kawasan dekat Sungai Muara Tami, sekitar 1 kilometer dari perbatasan ada pos jaga Ring 2 yang dibangun sedikit ke atas agar leluasa mengawasi pergerakan di muara sungai. ‘’Dulu di hutan dekat sungai itu terkenal sebagai basis pasukan OPM (Organisasi Papua Merdeka, Red). Tapi sekarang relatif aman,’’ ujarnya.
Saat Sumut Pos melintas masuk ke Wutung Village tak terlihat perbedaan yang mencolok, terutama kondisi alam kedua negara. Wilayah ini dikelilingi bukit dan hutan yang hijau. Namun dari sisi infrastruktur, wilayah di sisi bagian Indonesia relatif lebih lengkap karena selain ada pos penjagaan polisi, imigrasi, menara pemantau, ada juga pasar yang menjadi penopang masyarakat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Di wilayah Papua Nugini ini ada sejumlah produk Indonesia yang juga ikut dijual, diantaranya mie instan dan air mineral. Satu botol air mineral merek Aqua ukuran sedang dijual seharga 6 Kina (mata uang Papua Nugini, Red) atau sekitar Rp27 ribu (dengan kurs 1 Kina Rp4.500). Uniknya, merek mie instan terkenal di Indonesia ini ditambah embel-embel makanan khas setempat, sehingga menjadi ‘Indomie Karuyuk’. Karuyuk adalah makanan khas Papua Nugini berbahan dasar ayam.
Papua Nugini memiliki tiga bahasa utama yang digunakan untuk percakapan sehari-hari, yakni bahasa Nugini, Inggris Fiji, dan Portugis. Lantas apa bedanya bahasa Papua Nugini dengan Papua?
Seperti dituturkan Samson Kowar, seorang warga Papua Nugini yang ditemui di kantor imigrasi setempat, Papua Nugini hanya punya satu bahasa asli, sementara Papua memiliki bahasa ibu yang cukup beragam.
‘’Bahasa Inggris banyak dikuasai oleh penduduk Papua Nugini lantaran kami pernah dijajah Australia,’’ katanya dengan bahasa Inggris berlogat Fiji. Menurut Samson, harga barang-barang di negara panas bersuhu sekitar 40 derajat celsius tersebut tak jauh beda dengan di Australia, sama-sama mahal.
”Kami paling suka berbelanja di Skouw karena harga barang lebih murah. Transaksi bisa dengan Kina (mata uang Papua Nugini, Red) atau rupiah,” ujar Samson.
Di akhir perjalanan, Sumut Pos menyempatkan waktu berjalan-jalan ke Pasar Lonchin di Desa Skouw. Pada bagian tengah pasar ada kios pedagang yang berperan ganda menjadi tempat penukaran uang tak resmi. Kios itu milik Ahmad.
Orang Papua Nugini, kata Ahmad, senang sekali berbelanja kue Atari, beras Sintanola, rokok merek Marcopolo dan Gudang Garam Surya kemasan kecil, serta minuman bersoda Big Cola. Meski bermerek internasional, minuman bersoda itu ternyata tak masuk ke Papua Nugini. ‘’Mungkin tak ada importirnya,’’ kata Ahmad menebak-nebak.
Lelaki 40-an tahun ini juga menerima jasa penukaran uang Kina ke Rupiah dan sebaliknya. Tapi dia mengaku tak menangguk untung dari pertukaran itu. “Tak mungkin saya jual-beli uang, itu tidak boleh dalam keyakinan saya,” kata pria muslim asal Sulawesi Selatan itu.
Memang, tak mudah mengontrol praktek perdagangan valuta asing di tingkat bawah ini. Bagi otoritas di Indonesia, penertiban atas praktik semacam ini melahirkan dilema tersendiri. Jika sikap tegas soal pembatasan penggunaan Kina diberlakukan di perbatasan, itu bisa mengganggu stabilitas pasar dan kegiatan ekonomi di wilayah ini. Padahal inilah tempat bagi 200 lebih pedagang Indonesia menggantungkan hidupnya.
Di Desa Skouw, Distrik Muara Tami, wilayah paling ujung yang juga tapal batas Indonesia dengan Papua Nugini, adalah contoh bagaimana aktivitas ekonomi mengidentifkasi kehidupan yang saling membutuhkan. Cikal-bakal perdagangan antar-negara sejatinya sudah dijalani dua penduduk perbatasan ini sejak puluhan tahun silam.
Di dekat garis demarkasi, suku asli Papua berkewarnegaraan Indonesia berdagang sirih dan nasi kuning dengan lauk ikan laut, sedangkan di Pasar Lonchin justru pedagang asal Bugis dan Ternate yang mendominasi seluruh kios. Barang-barang rumah tangga, beras, gula, pakaian, hingga DVD film-film Hollywood terbaru adalah barang dagangan mereka.
Entah kenapa warga asli Papua malah tergeser dari aktivitas ekonomi perbatasan yang logikanya bisa membuat mereka lebih sejahtera. Sebuah potret asli bagaimana wilayah perbatasan yang penuh potensi ekonomi justru tak optimal menyejahterakan penduduk setempat.
Padahal program pemberdayaan masyarakat lokal adalah sebuah keharusan agar warga asli tak terbelenggu oleh kemiskinan struktural. Bukan tak boleh. Tapi realitasnya pemerintah lebih sibuk membangun pos-pos keamanan untuk menjaga ‘sejengkal’ tanah di perbatasan.
Baliho ‘’Welcome to Indonesia’’ di garis demarkasi dengan latar foto keluarga bahagia menyambut ramah kedatangan warga Papua Nugini, sementara persis di seberangnya, ibu-ibu berkulit legam menjajakan sirih dan sayur-mayur kering di sebuah los mirip halte dengan lilitan spanduk kain warna merah-putih bertuliskan: ‘’Membangun Pertumbuhan Ekonomi Berlandaskan Kesejahteraan Rakyat’’. (*)