29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Hasil Pemilu Rawan Digelembungkan

MEDAN- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) mengisyaratkan kemungkinan kecurangan sistemik dilakukan jajaran penyelenggara Pemilu bisa terjadi. Sebab dengan adanya aturan diperbolehkannya calon pemilih mendaftar di hari pemungutan suara 9 April mendatang dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), maka peluang tersebut semakin terbuka.

Pemilu
Pemilu

Komisioner KPU Sumut Benget Silitonga mengakui dengan berbagai perubahan aturan ini, kemungkinan perubahan data pemilih yang semula hanya berpedoman pada daftar pemilih tetap (DPT) menjadi bertambah. Namun ini dianggapnya sebagai bagian dari upaya meningkatkan angka partisipasi pemilih hingga 75 persen. Oleh karena itu, dibuka peluang bagi calon pemilih melalui daftar pemilih tambahan (DPTb), daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).

Sistem data online yang selama ini dianggap akurasinya baik, ternyata tidak didukung dengan validasi data oleh petugas di lapangan yang mendata secara manual. Ini terbukti dari masih banyaknya warga yang belum dan tidak terdaftar di DPT. Akibatnya pendataan pemilih terkesan carut marut dan rentan kecurangan.

“Kelemahannya dengan sistem informasi dan data pemilih (Sidalih) ini, mengandaikan bahwa semua petugas pendata, sudah bekerja secara profesional. Nyatanya pendataan masih juga kecolongan. Sehingga yang terdaftar belum maksimal,” katanya kepada wartawan, Sabtu (29/3).

Ia juga mengkhawatirkan kemungkinan mobilisasi ini bisa menyebabkan kurangnya jumlah logistik yang telah disediakan KPU berdasarkan data yang ada ditambah 2 persen dari total sata, sebagai cadangan bilamana ada penambahan pemilih.

“Kita khawatir surat suara kurang dengan kemungkinan adanya upaya mobilisasi pemilih yang terkonsentrasi di satu daerah (kelurahan/desa). Karena siapa saja nanti yang mau memilih di hari H, bisa mendaftarkan diri ke TPS setempat. Maka KPU harus mempertimbangkan pengadaan logistiknya,” tambahnya.

Sementara itu menurut pengamat politik Juson Jusri Simbolon, dengan sumber data yang cenderung berubah ini, kemungkinan Pemilu bakal menjadi kacau. Penggelembungan suara adalah fenomena yang logis terjadi saat pemilu. Ini pula yang menjadi pemicu timbulnya konflik horizontal antar pendukung caleg.

“Harusnya DPT dijadikan sebagai basis penghitungan suara. Tetapi bagaimana jadinya kalau hari H bisa mendaftar, berarti DPT bukan indikator utama. Sistem seperti ini akan membuka peluang kecurangan lebih besar. Ini lebih rentan dan kacau,” katanya kepada Sumut Pos, Minggu (30/3).

Selain itu, dengan prinsip kepercayaan kepada petugas dan lembaga pemerintah hingg tingkat desa/kelurahan, kecurangan sistemik bisa saja dilakukan. Mengingat banyaknya pihak yang berkepentingan untuk dapat memperoleh suara maksimal agar bisa duduk di kursi parlemen. (mag-2/ndi)

MEDAN- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) mengisyaratkan kemungkinan kecurangan sistemik dilakukan jajaran penyelenggara Pemilu bisa terjadi. Sebab dengan adanya aturan diperbolehkannya calon pemilih mendaftar di hari pemungutan suara 9 April mendatang dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), maka peluang tersebut semakin terbuka.

Pemilu
Pemilu

Komisioner KPU Sumut Benget Silitonga mengakui dengan berbagai perubahan aturan ini, kemungkinan perubahan data pemilih yang semula hanya berpedoman pada daftar pemilih tetap (DPT) menjadi bertambah. Namun ini dianggapnya sebagai bagian dari upaya meningkatkan angka partisipasi pemilih hingga 75 persen. Oleh karena itu, dibuka peluang bagi calon pemilih melalui daftar pemilih tambahan (DPTb), daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).

Sistem data online yang selama ini dianggap akurasinya baik, ternyata tidak didukung dengan validasi data oleh petugas di lapangan yang mendata secara manual. Ini terbukti dari masih banyaknya warga yang belum dan tidak terdaftar di DPT. Akibatnya pendataan pemilih terkesan carut marut dan rentan kecurangan.

“Kelemahannya dengan sistem informasi dan data pemilih (Sidalih) ini, mengandaikan bahwa semua petugas pendata, sudah bekerja secara profesional. Nyatanya pendataan masih juga kecolongan. Sehingga yang terdaftar belum maksimal,” katanya kepada wartawan, Sabtu (29/3).

Ia juga mengkhawatirkan kemungkinan mobilisasi ini bisa menyebabkan kurangnya jumlah logistik yang telah disediakan KPU berdasarkan data yang ada ditambah 2 persen dari total sata, sebagai cadangan bilamana ada penambahan pemilih.

“Kita khawatir surat suara kurang dengan kemungkinan adanya upaya mobilisasi pemilih yang terkonsentrasi di satu daerah (kelurahan/desa). Karena siapa saja nanti yang mau memilih di hari H, bisa mendaftarkan diri ke TPS setempat. Maka KPU harus mempertimbangkan pengadaan logistiknya,” tambahnya.

Sementara itu menurut pengamat politik Juson Jusri Simbolon, dengan sumber data yang cenderung berubah ini, kemungkinan Pemilu bakal menjadi kacau. Penggelembungan suara adalah fenomena yang logis terjadi saat pemilu. Ini pula yang menjadi pemicu timbulnya konflik horizontal antar pendukung caleg.

“Harusnya DPT dijadikan sebagai basis penghitungan suara. Tetapi bagaimana jadinya kalau hari H bisa mendaftar, berarti DPT bukan indikator utama. Sistem seperti ini akan membuka peluang kecurangan lebih besar. Ini lebih rentan dan kacau,” katanya kepada Sumut Pos, Minggu (30/3).

Selain itu, dengan prinsip kepercayaan kepada petugas dan lembaga pemerintah hingg tingkat desa/kelurahan, kecurangan sistemik bisa saja dilakukan. Mengingat banyaknya pihak yang berkepentingan untuk dapat memperoleh suara maksimal agar bisa duduk di kursi parlemen. (mag-2/ndi)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/