JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Meski tahun ini tidak ada kenaikan tarif cukai rokok, realisasi cukai terus mengepul. Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan, sepanjang 1 Januari-30 April 2014, realisasi penerimaan cukai sudah tembus Rp 37,49 triliun. ‘Itu naik 14,91 persen daripada penerimaan periode sama 2013,’ ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (6/5).
Data Ditjen Bea Cukai menunjukkan, dari total penerimaan Rp 37,49 triliun tersebut, sebanyak 95,99 persen atau Rp 36 triliun di antaranya berasal dari cukai rokok. Adapun 4 persen atau Rp 1,49 triliun lainnya berasal dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan etil alkohol (EA).
Menurut Susiwijono, tahun ini Ditjen Bea Cukai harus bekerja lebih keras untuk mencapai target penerimaan cukai yang dalam APBN 2014 dipatok Rp 116,28 triliun. Apalagi tahun ini pemerintah tidak menaikkan cukai rokok seiring berlakunya UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Regulasi itu memberi kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak rokok per 1 Januari 2014. ‘Jadi kami di (pemerintah) pusat fokus pada intensifikasi,’ katanya.
Dia menyebut, salah satu strategi yang dijalankan adalah optimalisasi penerimaan cukai melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 131/2013 tentang hubungan keterkaitan produsen rokok. Melalui aturan ini, pabrik-pabrik rokok yang dimiliki oleh orang yang sama atau masih memiliki hubungan keluarga, diklasifikasikan sebagai satu entitas. Karena itu, dengna jumlah produksi yang lebih besar, maka pabrik rokok naik kelas ke golongan lebih tinggi. ‘Jika kelasnya naik, secara otomatis tarif cukainya ikut naik,’ ucapnya.
Sejauh ini, strategi tersebut cukup berhasil menambah setoran cukai. Misalnya periode Januari-Februari 2014, ada tambahan tagihan Rp 170 miliar dari beberapa perusahaan besar yang selama ini memiliki anak usaha pabrik-pabrik rokok kecil. ‘Verifikasi terus berjalan, jadi hasilnya akan terus bertambah,’ ujarnya.
Naik kelasnya pabrik rokok kecil itu terlihat dari data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat peningkatan produksi pada industri rokok besar dan sedang (menengah). Adapun pada industri rokok kecil dan mikro terjadi penurunan tajam. Data BPS menunjukkan, sepanjang triwulan I 2014, produksi industri rokok atau pengolahan tembakau skala besar dan sedang menunjukkan kenaikan 8,42 persen dibanding periode sama 2013 (year on year).
Namun produksi industri rokok mikro dan kecil tercatat anjlok 33,05 persen. Ini merupakan penurunan terbesar di antara 23 jenis industri lainnya. ‘Karena naik kelas, produksi rokok pabrik kecil kini dihitung masuk kategori pabrik sedang atau besar,’ jelasnya. (owi/oki)