26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Anggota Dewan Ngaku Rame-rame Kembalikan Uang

Foto: Bayu/PM Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).
Foto: Bayu/PM
Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus penyelewengan anggaran perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat tahun 2012 yang merugikan negara Rp665,9 juta, dengan dua terdakwa yakni Sekretaris Dewan (Sekwan) H. Salman dan mantan Sekwan DPRD Langkat, H. Supono, kembali disidangkan di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Medan, Kamis (14/8) pagi.

Dalam sidang beragendakan keterangan saksi tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arif Kadarman dan Dani menghadirkan saksi dari 5 orang anggota DPRD Langkat yakni Hasan Basri, Reza, Andri Munafman, Antoni dan Sriwana. Dalam agenda sidang tersebut terungkap kalau seluruh anggota DPRD Langkat membayar selisih harga tiket yang dipermasalahkan BPK dalam Laporan Hasil Pertanggungjawaban (LHP) karena kesadaran moral.

“Karena berdasarkan hasil pemeriksaan BPK adanya kerugian negara karena selisih harga tiket. Dan kami secara moral bersama-sama mengembalikannya,” jelas Sriwana.

Sebelum memperoleh kesepakatan pengembalian uang harga selisih, keseluruhan anggota DPRD menggelar rapat untuk membicarakannya. “Kan semua kawan-kawan diperiksa BPK, katanya adanya selisih harga tiket dari perjalanan dinas. Jadi kami rapat dan sepakat membayarkan uang selisih tersebut,” jelasnya.

Dalam pengembalian uang tersebut pun bervariasi dari masing-masing anggota DPRD Langkat. “Saya kemarin mengembalikan uang selisih itu sebesar Rp 8,5 juta,” jelas Hasan Basri.

“Kalau saya, Rp 9 juta,” sambung Reza

“Dan seingat saya, kemarin saya mengembalikan sekitar Rp 11 juta lebih gitu,” terang Antoni.

Saksi Anthoni menambahkan keputusan rapat fraksi bahwa penanggung jawab perjalanan dinas ini adalah sekretaris dewan. Walaupun tidak melakukan konfirmasi persetujuan mereka untuk mengelola tiket. “Karena sudah kebiasaannya begitu, siapa Sekwan maka dia yang akan menanggungjawabi tiket,” tambahnya.

Pernyataan berbeda diungkapkan terdakwa H. Supono yang menuturkan tiap anggota memiliki tanggung jawab untuk melaporkan dokumen perjalanan dinas. Hal itu sesuai dengan peraturan gubernur. Namun seluruh saksi menjawab tidak pernah melakukannya karena merasa tanggung jawab itu adalah tanggung jawab Sekwan.

Sementara penasehat hukum menanyakan apakah Anggota DPRD Langkat mengenal Zulhendra Purnama alias Hendra sebagai penjual tiket pulang-pergi perjalanan dinas para anggota DPRD.

Beberapa saksi mengaku mengenal tapi tidak pernah berhubungan langsung untuk memesan atau mengambil tiket dari Hendra. “Saya tidak tahu siapa yang memesan tiket karena saya tidak pernah melihat tiket pesawat selama saya melakukan perjalanan dinas, tapi saya pernah dengar kalau pemesanan tiket dilakukan dengan Hendra Purnama,” kata Anthoni.

Untuk kesekian kali agenda mendengarkan saksi digelar, 173 tiket yang menjadi dasar bukti tuduhan penyelewengan anggaran perjalanan dinas kembali diminta penasihat hukum terdakwa untuk dihadirkan di persidangan.

Kelima saksi tampak kompak menjawab tidak tahu adanya perbedaan atau selisih harga dari kuitansi yang mereka tandatangani dengan harga tiket sebenarnya. Mereka juga saling menyepakati bahkwa tidak tahu menahu soal siapa yang berwenang dan menaikkan harga tersebut. “Saya tidak tahu apa, yang saya tahu hanya mendatangani kuitansi kosong,” ungkap Anthoni kembali dan disepakati oleh saksi lainnya.

Sementara itu, kedua terdakwa membantah penyataan saksi yang menuturkan adanya kuitansi kosong. “Sepengetahuan kami, tidak ada kuitansi kosong. Mana mungkin dalam kesekretaritan memberikan kuitansi kosong,” ujar Sekretaris Dewan (Sekwan) H. Salman dan mantan Sekwan DPRD Langkat, H. Supono.

Usai mendengarkan keterangan saksi-saksi, majelis hakim yang diketuai oleh Parlindungan Sinaga, SH, ini menunda persidangan hingga, Selasa (14/8) dengan agenda keterangan saksi lainnya.

Sebelumnya, Dalam dakwaan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Stabat mengatakan, pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.

Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp80 ribu per tiket.

“Terdakwa menaikkan harga tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air sebanyak 173 tiket,” kata jaksa.

Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat. Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan.

Akibat perbuatan kedua terdakwa tersebut, kata jaksa, negara dirugikan Rp665,9 juta. “Dari Juli-Desember 2012, kerugian negara sebesar Rp330,4 juta,” ujar jaksa.

Perbuatan kedua terdakwa itu diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. (bay/bd)

Foto: Bayu/PM Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).
Foto: Bayu/PM
Sidang kasus markup biaya perjalanan dinas anggota DPRD Langkat, di PN Stabat, Kamis (14/8/2014).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus penyelewengan anggaran perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat tahun 2012 yang merugikan negara Rp665,9 juta, dengan dua terdakwa yakni Sekretaris Dewan (Sekwan) H. Salman dan mantan Sekwan DPRD Langkat, H. Supono, kembali disidangkan di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Medan, Kamis (14/8) pagi.

Dalam sidang beragendakan keterangan saksi tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Arif Kadarman dan Dani menghadirkan saksi dari 5 orang anggota DPRD Langkat yakni Hasan Basri, Reza, Andri Munafman, Antoni dan Sriwana. Dalam agenda sidang tersebut terungkap kalau seluruh anggota DPRD Langkat membayar selisih harga tiket yang dipermasalahkan BPK dalam Laporan Hasil Pertanggungjawaban (LHP) karena kesadaran moral.

“Karena berdasarkan hasil pemeriksaan BPK adanya kerugian negara karena selisih harga tiket. Dan kami secara moral bersama-sama mengembalikannya,” jelas Sriwana.

Sebelum memperoleh kesepakatan pengembalian uang harga selisih, keseluruhan anggota DPRD menggelar rapat untuk membicarakannya. “Kan semua kawan-kawan diperiksa BPK, katanya adanya selisih harga tiket dari perjalanan dinas. Jadi kami rapat dan sepakat membayarkan uang selisih tersebut,” jelasnya.

Dalam pengembalian uang tersebut pun bervariasi dari masing-masing anggota DPRD Langkat. “Saya kemarin mengembalikan uang selisih itu sebesar Rp 8,5 juta,” jelas Hasan Basri.

“Kalau saya, Rp 9 juta,” sambung Reza

“Dan seingat saya, kemarin saya mengembalikan sekitar Rp 11 juta lebih gitu,” terang Antoni.

Saksi Anthoni menambahkan keputusan rapat fraksi bahwa penanggung jawab perjalanan dinas ini adalah sekretaris dewan. Walaupun tidak melakukan konfirmasi persetujuan mereka untuk mengelola tiket. “Karena sudah kebiasaannya begitu, siapa Sekwan maka dia yang akan menanggungjawabi tiket,” tambahnya.

Pernyataan berbeda diungkapkan terdakwa H. Supono yang menuturkan tiap anggota memiliki tanggung jawab untuk melaporkan dokumen perjalanan dinas. Hal itu sesuai dengan peraturan gubernur. Namun seluruh saksi menjawab tidak pernah melakukannya karena merasa tanggung jawab itu adalah tanggung jawab Sekwan.

Sementara penasehat hukum menanyakan apakah Anggota DPRD Langkat mengenal Zulhendra Purnama alias Hendra sebagai penjual tiket pulang-pergi perjalanan dinas para anggota DPRD.

Beberapa saksi mengaku mengenal tapi tidak pernah berhubungan langsung untuk memesan atau mengambil tiket dari Hendra. “Saya tidak tahu siapa yang memesan tiket karena saya tidak pernah melihat tiket pesawat selama saya melakukan perjalanan dinas, tapi saya pernah dengar kalau pemesanan tiket dilakukan dengan Hendra Purnama,” kata Anthoni.

Untuk kesekian kali agenda mendengarkan saksi digelar, 173 tiket yang menjadi dasar bukti tuduhan penyelewengan anggaran perjalanan dinas kembali diminta penasihat hukum terdakwa untuk dihadirkan di persidangan.

Kelima saksi tampak kompak menjawab tidak tahu adanya perbedaan atau selisih harga dari kuitansi yang mereka tandatangani dengan harga tiket sebenarnya. Mereka juga saling menyepakati bahkwa tidak tahu menahu soal siapa yang berwenang dan menaikkan harga tersebut. “Saya tidak tahu apa, yang saya tahu hanya mendatangani kuitansi kosong,” ungkap Anthoni kembali dan disepakati oleh saksi lainnya.

Sementara itu, kedua terdakwa membantah penyataan saksi yang menuturkan adanya kuitansi kosong. “Sepengetahuan kami, tidak ada kuitansi kosong. Mana mungkin dalam kesekretaritan memberikan kuitansi kosong,” ujar Sekretaris Dewan (Sekwan) H. Salman dan mantan Sekwan DPRD Langkat, H. Supono.

Usai mendengarkan keterangan saksi-saksi, majelis hakim yang diketuai oleh Parlindungan Sinaga, SH, ini menunda persidangan hingga, Selasa (14/8) dengan agenda keterangan saksi lainnya.

Sebelumnya, Dalam dakwaan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Stabat mengatakan, pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.

Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp80 ribu per tiket.

“Terdakwa menaikkan harga tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air sebanyak 173 tiket,” kata jaksa.

Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat. Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan.

Akibat perbuatan kedua terdakwa tersebut, kata jaksa, negara dirugikan Rp665,9 juta. “Dari Juli-Desember 2012, kerugian negara sebesar Rp330,4 juta,” ujar jaksa.

Perbuatan kedua terdakwa itu diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. (bay/bd)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/