BANDUNG, SUMUTPOS.CO – Sejumlah narapidana kasus korupsi mendapatkan diskon masa tahanan pada HUT RI Ke-69. Mereka adalah Gayus Halomoan Tambunan, DL Sitorus, Mochtar Muhammad, Agusrin Najamudin, Haposan Hutagalung, Bahasyim Assifie, serta Anggodo Widjojo. Mereka mendapatkan remisi lantaran divonis sebelum pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang pengetatan pemberian remisi yang diberlakukan pada 2012.
Kepala Penjara Sukamiskin, Bandung, Giri Purbadi mengatakan dari total 342 tahanan tindak pidana korupsi di Lapas Sukamiskin sebanyak 39 orang mendapatkan remisi umum 17 Agustus. Sisanya, 154 narapidana belum mendapat remisi. “134 orang masih menunggu SK remisi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan HAM) dan 15 orang tak berhak memperoleh remisi lantaran menjalani pidana subsider,” kata Giri.
Di hari kemerdekaan itu, pelaku rasuah seperti Gayus Tambunan misalnya, mendapat potongan hukuman 5 bulan. Pelaku korupsi lain yang mendapat pemotongan masa tahanan adalah D.L. Sitorus, koruptor kehutanan dan suap hakim itu diganjar korting hukuman 4 bulan. Urip Tri Gunawan, mantan jaksa terpidana kasus suap itu mendapat potongan 6 bulan pada Senin (18/8). Kemudian koruptor APBD eks Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin mendapat remisi 3 bulan. Bekas kuasa hukum Gayus, Haposan Hutagalung, mendapat potongan 4 bulan. Juga koruptor perpajakan, Bahasyim Assifie, mendapat diskon 4 bulan, Anggodo Widjojo 5 bulan, sedangkan mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad 4 bulan.
Sedangkan pelaku rasuah lain, seperti M. Nazaruddin, mantan Bupati Subang Eep Hidayat, dan mantan Gubernur Sumatera Utara Samsul Arifin sedang menunggu giliran mendapat potongan masa tahanan. “Surat Keputusan Remisi Nazaruddin, Eep Hidayat, dan banyak lagi belum keluar, masih diproses di Kementerian Hukum dan HAM,” kata Kepala Seksi Registrasi Sukamiskin Toni Kurniawan.
Ketua KPK Abraham Samad menyesalkan adanya koruptor yang mendapatkan pengurangan masa tahanan (remisi) pada Hari Kemerdekaan Indonesia ke-69.
“Sebaiknya pemberian remisi tidak diberikan kepada narapidana koruptor,” kata Abraham dalam pesan singkat kepada wartawan, Senin (18/8).
Abraham berpendapat, remisi itu sebaiknya diberikan kepada koruptor yang telah membantu membongkar kasus korupsi. “Kecuali napi tersebut turut bekerja sama membantu membongkar kasus korupsi tersebut,” tegas dia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana enggan membocorkan jumlah narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi di hari kemerdekaan tahun ini. Denny hanya memastikan syarat pemberian remisi akan lebih ketat.
“Semua sudah dipertimbangkan, kan ada aturannya, termasuk PP 99/2012 yang berikan syarat lebih ketat bagi tindak pidana khusus seperti korupsi. Tetap ketat,” ujar Denny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8).
Banyak syarat yang harus dipenuhi narapidana sebelum mendapatkan remisi. Denny menuturkan narapidana kasus korupsi biasanya tidak memenuhi syarat sehingga tidak mendapat remisi.
“Kalau penuhi syarat, dapat. Tapi sepanjang yang saya tahu, PP 99 itu tidak ada yang memenuhi syarat,” ujarnya.
Baru-baru ini, Lembaga pemantau korupsi atau Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini merilis penelitian tren korupsi. Hasil riset menyebutkan dampak kasus korupsi selama paruh pertama tahun ini, Indonesia mengalami kerugian negara sebesar Rp3,7 triliun.
Modus korupsi yang paling banyak dipakai selama 2014 yaitu penyalahgunaan anggaran, dengan 71 kasus (23,05 persen), penggelapan dengan 71 kasus (23,05 persen), dan laporan fiktif sekitar 66 kasus (21,42 persen).
Sementara itu, modus lainnya antara lain, mark up (penggelembungan) pendanaan, penyalahgunaan wewenang, pemotongan anggaran, kegiatan proyek fiktif, suap atau gratifikasi, pungutan liar dan anggaran ganda.
Selain soal modus korupsi, menurut Ketua Divisi Investigasi ICW, Tama S Langkun, Minggu 17 Agustus 2014, ICW menemukan 6 jabatan yang sering melakukan korupsi. Jabatan teratas yang tersangkut kasus korupsi yaitu pejabat negara kemudian diikuti kelompok swasta.
“Pertama, pejabat atau pegawai pemda/kementerian (42,6 persen). Kedua, direktur/komisaris/konsultan/pegawai swasta (18,9 persen), ketiga, kepala dinas (8,6 persen). Keempat, anggota DPR atau DPRD (7,5 persen), kelima, direktur/komisaris/pejabat pegawai BUMN atau BUMD (5,1 persen), dan terakhir kepala daerah (3,7 persen),” beber Tama ditemui wartawan di kantor ICW, Kalibata, Jakarta.
Penelitian ICW ini menggunakan metodologi penelitian kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber. Teknik pengolahan data yakni editing, coding, entering, dan cleaning. (bbs/val)