26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dua Kali Hampir Mati karena Diteror Preman Pupuk

Rai Bangsawan, Konsultan Bergaji Rp70 Juta lalu Jadi Petani Kangkung dan Kopi

Semula Rai Bangsawan adalah konsultan perusahaan asing bergaji Rp70 juta per bulan. Karena prihatin dengan pertanian, dia banting setir menjadi petani kangkung, lalu menjadi petani kopi. Kini, setelah 15 tahun, dia menuai sukses. Kopi olahannya bersertifikasi internasional dan diekspor hingga ke Eropa.

RAI Bangsawan tidak pernah bisa melupakan peristiwa 15 tahun lalu ketika memutuskan untuk menjadi petani. Kala itu, beberapa temannya menyebut dia gila. Sebab, demi menjadi petani, Rai rela meninggalkan pekerjaannya sebagai konsultan sebuah perusahaan asing. Di perusahaan asing itu dia digaji Rp 70 juta per bulan.

“Saya memutuskan menjadi petani karena prihatin,” kata pria 36 tahun itu ditemui di rumahnya di kawasan Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Keprihatinan Rai tepercik ketika (15 tahun lalu) dia menyaksikan banyaknya kiriman sayur-mayur dan buah-buahan di kargo Bandara Ngurah Rai yang akan masuk ke Bali.
Yang aneh, menurut Rai kala itu, aneka sayuran dan buah-buahan tersebut justru berasal dari daerah kering seperti Flores, NTT. Tidak sedikit juga buah-buahan justru datang dari luar negeri. “Saya prihatin. Mengapa Bali yang punya alam dan lahan yang sangat mendukung untuk pertanian justru harus mendatangkan sayuran dan buah-buahan dari luar,” katanya. Sejak saat itulah, Rai memutuskan menjadi petani.

Dia lantas menyewa lahan 30 are (satuan di Bali, 1 are = 100 meter persegi) di kawasan Canggu, tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Lahan tersebut dia tanami kangkung. Dia pun serius menekuni pekerjaannya sebagai petani. Perencanaan dia lakukan secara matang. Meski banyak mendapat cibiran, Rai bergeming dengan keyakinannya itu.
Saat menanam kangkung, ayah tiga anak itu membagi 30 are tanah yang dia sewa menjadi 30 petak. Tiap hari dia menanami satu petak. Dengan begitu, selama 30 hari dia bisa menanam 30 petak kangkung. Dalam bercocok tanam, Rai menggunakan metode organik, yakni tanpa pestisida maupun pupuk kimia.

Sebelum pada hari ke-30 (kira-kira hari ke-25, Red), Rai sudah memanen kangkung petak pertama. Kala itu, dari satu petak kangkung tersebut, Rai bisa mendapatkan hasil Rp1 juta. “Saya jual satu ikat Rp1.000 di warung-warung. Kalau lebih, saya bawa ke pasar,” terangnya.

Hal itu berlanjut terus setiap hari. Hingga dia memperoleh penghasilan sekitar Rp25 juta sebulan dengan biaya sewa lahan Rp5 juta setahun. “Bisnis ini jelas!” tegasnya.

Keberhasilannya menjadi petani kangkung tidak hanya dia nikmati sendiri. Melihat problematika urbanisasi yang tidak terkendali, dia pun menyediakan pemecahan masalah. Dia mengajak 15 orang pemulung di sekitar tempat tinggalnya yang berasal dari Jawa untuk ikut menanam kangkung.

Harapannya, setelah itu, mereka sadar akan potensi pertanian di daerahnya. “Setiap hari mereka hanya datang dua jam, setelah itu baru mulung,” terangnya.

Rai ingin meyakinkan mereka bahwa sesungguhnya menjadi petani itu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pemulung. Dan, 15 orang petani yang diajak Rai bertani tersebut semua pulang ke Jawa untuk kembali menjadi petani.

Sesungguhnya, kata dia, menjadi petani, khususnya di Bali, adalah hal yang sangat menguntungkan. Namun, banyak orang yang belum menyadari potensinya. Selama ini banyak orang di Bali yang lebih suka pergi ke kota dan meninggalkan tanah di desanya sehingga banyak lahan pertanian terbengkalai.

Rai mengatakan, banyak potensi yang belum tergarap yang harus dilihat oleh orang Bali. “Karena banyak lahan pertanian terbengkalai, dan kalau pun ada, nggak digarap secara serius, Bali harus mendatangkan sayuran dan buah-buahan dari luar,” paparnya.

Menurut dia, untuk menjadi petani yang berhasil, selain ketekunan, dibutukan tiga hal. Yakni, pelatihan, manajerial, dan ada orang yang mempromosikan. “Petani itu seperti petinju. Harus ada pelatih, manajer, dan promotonya,” tegasnya. Tanpa semua itu, sulit menjadi petani yang memiliki produk bermutu baik dan nilai tawar yang tinggi.
Rai juga melihat, pertanian organik saat ini hanya dikonsumsi orang-orang yang berduit. Padahal, biaya bertani organik sesungguhnya lebih kecil daripada pertanian konvensional.

Setelah berjalan sekitar sepuluh tahun, Rai Bangsawan mencoba bertani di bidang lain. Dia pun mencoba kopi. Dia menanam kopi di daerah Punjungan Tamblingan, Buleleng. Dia menaman kopi organik bersama dengan warga sekitar. Dengan semakin banyaknya orang yang menanam organik, katanya, kian bertambah petani yang akan sejahtera. Sebab, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dan kualitas kopi organik lebih unggul membuat petani mendapatkan harga yang pantas bagi pertaniannya.

Hingga kini, dia telah berhasil mengajak warga di 30 desa di Tamblingan untuk kembali ke pertanian organik. Rai membutuhkan kerja keras untuk mengajak para petani dari 30 desa di sekitar danau Tamblingan. Sebab, saat dia mengajak para petani untuk tidak menggunakan pertisida dan pupuk sintetis serta menjadi petani organik, Rai harus menghadapi teror dari para preman dari perusahaan pupuk.

Selama itu pula Rai pernah hampir mati dua kali karena keinginannya ini. “Saya hampir mati dua kali ya gara-gara ini (menganjurkan bertani organik, Red),” kenangnya.

Merasa sulit mengendalikan Rai, pihak manajemen dari perusahaan pupuk menawari Rai sebagai regional manajemen. Namun, Rai menolak karena merasa harus membangun kembali pertanian Bali.

Hijrahnya Rai dari kangkung ke kopi berawal dari keprihatinannya terhadap proses produksi kopi yang salah kaprah. Dia melihat, selama ini petani setelah memanen kopi membiarkan penenannya itu menjadi hitam. Itu disebabkan fermentasi jamur. Akibatnya, rasa kopi yang sebenarnya menjadi berkurang dan berkualitas rendah.

Untuk itu, Rai memperbaiki proses produksi tersebut. Yakni, segera mengupas dan menjemur kopi setelah dipanen. Dengan begitu, kopi yang yang dihasilkan itu berkualitas premium. “Kami melakukan sistem wash processing,” tambah pria lulusan Fakultas Ekomoni Universitas Warmadewa itu. Dengan proses tersebut, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas nomor satu.

Kopi olahan Rai lantas diberi nama merek: Bali Exotic Beans. Melalui merek itu, Rai berhasil meraih sertifikasi dari 4C Association, yakni lembaga sertifikasi kopi internasional dari Jerman. “Selama ini saya belum pernah melihat produk lain berlebel  4C Association di supermarket,” ungkapnya.

Dengan sertifikat tersebut, kopi Rai dapat bersaing dengan produk internasional lainnya. Terutama di pasaran Eropa. Bahkan, dengan bendera Bali Exotic Beans, kopinya sudah diekspor ke Australia dan beberapa negara Eropa seperti Belanda dan Jerman.

Melihat potensi pertanian yang sangat besar, Rai mendorong orang Bali kembali bertani organik. Dengan begitu, untuk kebutuhan konsumsi, Bali tidak perlu mendatangkan dari luar. “Bila kita dapat mengoptimalkan pertanian, kita tidak perlu mengimpor dari luar Bali,” tegasnya. (jpnn)

Rai Bangsawan, Konsultan Bergaji Rp70 Juta lalu Jadi Petani Kangkung dan Kopi

Semula Rai Bangsawan adalah konsultan perusahaan asing bergaji Rp70 juta per bulan. Karena prihatin dengan pertanian, dia banting setir menjadi petani kangkung, lalu menjadi petani kopi. Kini, setelah 15 tahun, dia menuai sukses. Kopi olahannya bersertifikasi internasional dan diekspor hingga ke Eropa.

RAI Bangsawan tidak pernah bisa melupakan peristiwa 15 tahun lalu ketika memutuskan untuk menjadi petani. Kala itu, beberapa temannya menyebut dia gila. Sebab, demi menjadi petani, Rai rela meninggalkan pekerjaannya sebagai konsultan sebuah perusahaan asing. Di perusahaan asing itu dia digaji Rp 70 juta per bulan.

“Saya memutuskan menjadi petani karena prihatin,” kata pria 36 tahun itu ditemui di rumahnya di kawasan Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Keprihatinan Rai tepercik ketika (15 tahun lalu) dia menyaksikan banyaknya kiriman sayur-mayur dan buah-buahan di kargo Bandara Ngurah Rai yang akan masuk ke Bali.
Yang aneh, menurut Rai kala itu, aneka sayuran dan buah-buahan tersebut justru berasal dari daerah kering seperti Flores, NTT. Tidak sedikit juga buah-buahan justru datang dari luar negeri. “Saya prihatin. Mengapa Bali yang punya alam dan lahan yang sangat mendukung untuk pertanian justru harus mendatangkan sayuran dan buah-buahan dari luar,” katanya. Sejak saat itulah, Rai memutuskan menjadi petani.

Dia lantas menyewa lahan 30 are (satuan di Bali, 1 are = 100 meter persegi) di kawasan Canggu, tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Lahan tersebut dia tanami kangkung. Dia pun serius menekuni pekerjaannya sebagai petani. Perencanaan dia lakukan secara matang. Meski banyak mendapat cibiran, Rai bergeming dengan keyakinannya itu.
Saat menanam kangkung, ayah tiga anak itu membagi 30 are tanah yang dia sewa menjadi 30 petak. Tiap hari dia menanami satu petak. Dengan begitu, selama 30 hari dia bisa menanam 30 petak kangkung. Dalam bercocok tanam, Rai menggunakan metode organik, yakni tanpa pestisida maupun pupuk kimia.

Sebelum pada hari ke-30 (kira-kira hari ke-25, Red), Rai sudah memanen kangkung petak pertama. Kala itu, dari satu petak kangkung tersebut, Rai bisa mendapatkan hasil Rp1 juta. “Saya jual satu ikat Rp1.000 di warung-warung. Kalau lebih, saya bawa ke pasar,” terangnya.

Hal itu berlanjut terus setiap hari. Hingga dia memperoleh penghasilan sekitar Rp25 juta sebulan dengan biaya sewa lahan Rp5 juta setahun. “Bisnis ini jelas!” tegasnya.

Keberhasilannya menjadi petani kangkung tidak hanya dia nikmati sendiri. Melihat problematika urbanisasi yang tidak terkendali, dia pun menyediakan pemecahan masalah. Dia mengajak 15 orang pemulung di sekitar tempat tinggalnya yang berasal dari Jawa untuk ikut menanam kangkung.

Harapannya, setelah itu, mereka sadar akan potensi pertanian di daerahnya. “Setiap hari mereka hanya datang dua jam, setelah itu baru mulung,” terangnya.

Rai ingin meyakinkan mereka bahwa sesungguhnya menjadi petani itu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pemulung. Dan, 15 orang petani yang diajak Rai bertani tersebut semua pulang ke Jawa untuk kembali menjadi petani.

Sesungguhnya, kata dia, menjadi petani, khususnya di Bali, adalah hal yang sangat menguntungkan. Namun, banyak orang yang belum menyadari potensinya. Selama ini banyak orang di Bali yang lebih suka pergi ke kota dan meninggalkan tanah di desanya sehingga banyak lahan pertanian terbengkalai.

Rai mengatakan, banyak potensi yang belum tergarap yang harus dilihat oleh orang Bali. “Karena banyak lahan pertanian terbengkalai, dan kalau pun ada, nggak digarap secara serius, Bali harus mendatangkan sayuran dan buah-buahan dari luar,” paparnya.

Menurut dia, untuk menjadi petani yang berhasil, selain ketekunan, dibutukan tiga hal. Yakni, pelatihan, manajerial, dan ada orang yang mempromosikan. “Petani itu seperti petinju. Harus ada pelatih, manajer, dan promotonya,” tegasnya. Tanpa semua itu, sulit menjadi petani yang memiliki produk bermutu baik dan nilai tawar yang tinggi.
Rai juga melihat, pertanian organik saat ini hanya dikonsumsi orang-orang yang berduit. Padahal, biaya bertani organik sesungguhnya lebih kecil daripada pertanian konvensional.

Setelah berjalan sekitar sepuluh tahun, Rai Bangsawan mencoba bertani di bidang lain. Dia pun mencoba kopi. Dia menanam kopi di daerah Punjungan Tamblingan, Buleleng. Dia menaman kopi organik bersama dengan warga sekitar. Dengan semakin banyaknya orang yang menanam organik, katanya, kian bertambah petani yang akan sejahtera. Sebab, biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dan kualitas kopi organik lebih unggul membuat petani mendapatkan harga yang pantas bagi pertaniannya.

Hingga kini, dia telah berhasil mengajak warga di 30 desa di Tamblingan untuk kembali ke pertanian organik. Rai membutuhkan kerja keras untuk mengajak para petani dari 30 desa di sekitar danau Tamblingan. Sebab, saat dia mengajak para petani untuk tidak menggunakan pertisida dan pupuk sintetis serta menjadi petani organik, Rai harus menghadapi teror dari para preman dari perusahaan pupuk.

Selama itu pula Rai pernah hampir mati dua kali karena keinginannya ini. “Saya hampir mati dua kali ya gara-gara ini (menganjurkan bertani organik, Red),” kenangnya.

Merasa sulit mengendalikan Rai, pihak manajemen dari perusahaan pupuk menawari Rai sebagai regional manajemen. Namun, Rai menolak karena merasa harus membangun kembali pertanian Bali.

Hijrahnya Rai dari kangkung ke kopi berawal dari keprihatinannya terhadap proses produksi kopi yang salah kaprah. Dia melihat, selama ini petani setelah memanen kopi membiarkan penenannya itu menjadi hitam. Itu disebabkan fermentasi jamur. Akibatnya, rasa kopi yang sebenarnya menjadi berkurang dan berkualitas rendah.

Untuk itu, Rai memperbaiki proses produksi tersebut. Yakni, segera mengupas dan menjemur kopi setelah dipanen. Dengan begitu, kopi yang yang dihasilkan itu berkualitas premium. “Kami melakukan sistem wash processing,” tambah pria lulusan Fakultas Ekomoni Universitas Warmadewa itu. Dengan proses tersebut, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas nomor satu.

Kopi olahan Rai lantas diberi nama merek: Bali Exotic Beans. Melalui merek itu, Rai berhasil meraih sertifikasi dari 4C Association, yakni lembaga sertifikasi kopi internasional dari Jerman. “Selama ini saya belum pernah melihat produk lain berlebel  4C Association di supermarket,” ungkapnya.

Dengan sertifikat tersebut, kopi Rai dapat bersaing dengan produk internasional lainnya. Terutama di pasaran Eropa. Bahkan, dengan bendera Bali Exotic Beans, kopinya sudah diekspor ke Australia dan beberapa negara Eropa seperti Belanda dan Jerman.

Melihat potensi pertanian yang sangat besar, Rai mendorong orang Bali kembali bertani organik. Dengan begitu, untuk kebutuhan konsumsi, Bali tidak perlu mendatangkan dari luar. “Bila kita dapat mengoptimalkan pertanian, kita tidak perlu mengimpor dari luar Bali,” tegasnya. (jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/